X

BECK: Anime Soal Band yang Masih Relevan Hingga Kini

by Abyan Nabilio / 2 years ago / 5299 Views / 0 Comments /

Bagi pecinta musik dengan kehidupan sekolah yang biasa-biasa saja, Beck bisa jadi anime paling relatable sampai sekarang.

Bagi pecinta musik dengan kehidupan sekolah yang biasa-biasa saja, Beck:Mongolian Chop Squad bisa jadi anime paling relatable hingga saat ini biarpun sudah tayang sejak 2004. Sebelumnya, Consumed pernah merangkum beberapa anime yang dapat meningkatkan semangat ngeband dan Beck tentu masuk hitungan. Di awal tulisan tersebut, dibahas “anime punya pesona tersendiri yang bisa membuat penontonnya ingin melakukan apa yang pemeran utama di dalamnya lakukan” dan untuk masalah band-bandan, Koyuki, sang karakter utama serial ini, cukup mewakili.

Ia merupakan penggambaran sempurna seorang anak dengan kehidupan sekolah tidak menonjol dan prosesnya menemukan tujuan hidup. “The View at 14”, judul dari episode pertama, menggambarkan keadaan awal keadaan awal Koyuki sebagai remaja 14 tahun antara dilema jatuh cinta atau hanya pepelegengan akibat pubertas dan pertemuan pentingnya dengan seorang gitaris andal bernama Ryusuke yang akan membawanya ke tongkrongan abang-abangan yang lebih keras.

Pegiat ekskul macam DKM (dan ekskul-ekskul berbau konservatif lainnya) mungkin akan menganggap temannya yang macam Koyuki ini baru nakal. Dalam perkembangan psikososial, umur Koyuki ada dalam tahap konflik antara identitas dan kebingungan peran. Teman, kelompok sosial, dan budaya pop berpengaruh dalam pembentukan identitas di masa-masa ini. Itu memang terjadi pada Koyuki. Proses pembentukan identitas Koyuki tergambar dengan masuk akal, dari hanya membaca majalah bersampul Sex Pistols sembari mendengarkan album The Dying Breed (band terdahulu Ryusuke), belajar gitar dari bapak-bapak cabul, hingga harus memutuskan keluar sekolah untuk serius sebagai frontman sampingan bandnya sendiri, Beck. Untungnya, lingkungan yang didapatnya lebih banyak memberi pengaruh positif dari pada sebaliknya. Biarpun harus DO, ia punya tujuan jelas untuk jadi musikus ketimbang kebingungan akan jadi apa ia kelak. Bayangkan kalau di usia ini ia bertemu dengan komplotan Tokyo Manji, mungkin ia akan di-DO karena kenakalan genggong kelas teri.

Saya bisa bilang begini karena saya berharap kehidupan SMA saya seperti Koyuki, tapi saya berakhir jadi seperti anak-anak DKM yang mengomentari teman seangkatan baru nakal. Koyuki dekat dengan setidaknya dua perempuan sekaligus, saya tidak sama sekali. Koyuki dapat mentor gitar, saya juga tidak. Yang paling penting Koyuki bertemu dengan Ryusuke, Chiba, Taira, dan Sakurai untuk membentuk Beck, sedangkan saya baru menemukan lingkungan begini bertahun-tahun setelah lulus sekolah. Jika Koyuki sudah menemukan identitasnya sejak remaja, setelah lulus sekolah jujur saya mengalami fase kebingungan peran, masih bertanya-tanya entah jadi apa saya nanti. Kalau lingkungan sosial Koyuki dalam bandnya Beck dilepas, kehidupan sekolahnya mungkin akan persis seperti saya.

Penggambaran Beck terhadap kehidupan remaja yang realistis adalah salah satu daya tarik serial ini. Selain itu, yang realistis adalah visual tiap karakter dan dunianya. Biarpun tidak sedetail karya-karya Makoto Shinkai, gambaran dunia di Beck lumayan duniawi. Sebagai shonen, para karakter Beck bisa ada di sekitar kita tanpa harus terlalu banyak menggunakan hair spray atau kostum belibet. Gaya visualnya bahkan masih masuk dengan beberapa hasil adaptasi Madhouse lain yang masuk kategori seinen seperti Black Lagoon dan Monster. Karena hal ini mungkin versi live action-nya tidak terasa terlalu mencoba. Pun gambaran kota, pelesetan merk, hingga alat-alat yang digunakan para personel Beck.

Telecaster kuning milik Koyuki begitu ikonik sampai sampai Fender Jepang mengeluarkan versi signature-nya bersama dengan Mustang kuning yang muncul di manga. Les Paul dengan tujuh bekas tembakan milik Ryusuke yang diberi nama Lucille juga membuat gitaris yang menonton Beck ingin melubangi Epiphone sampingan mereka dengan jumlah lubang yang sama. Semua alat itu sangat mungkin ada di dunia nyata biarpun Gibson yang biasa disebut Lucille adalah sebuah gitar semihollow hitam yang digunakan B.B. King.

Beck juga satu-satunya anime di masanya (sepenemuan saya) yang mengangkat penuh musik bule tanpa nuansa J-Pop/J-Rock sama sekali. Tak ada akor-akor miring dengan progresi agresif di sana, tak ada vokal melengking, bahkan hampir semua (jika tidak semua) lagu ber-Bahasa Inggris. Nuansa musiknya serupa band rok alternatif 2000-an bercampur Inggris-Inggrisan dari masa yang sama. Seperti dibahas di awal soal pesona anime, sulit mencari anime yang membuat ingin band-bandan dengan musik yang serelevan Beck. Karena itu, hal tersebut menjadi nilai tambah.

Chorus “Hit in the USA” dari Beat Crusaders sebagai intro Beck sangat mewakili perjalanan band di dalamnya. “I was made to hit in America”. Dan betul saja Beck mendapat tawaran kontrak dari label sana. Koyuki dkk. merilis sebuah album di bawah nama Mongolian Chop Squad. Mungkin ini tidak dijelaskan dalam animenya, tapi mungkin label tersebut mengganti nama Beck karena Beck David Hansen sudah lebih dulu besar dengan nama panggung tersebut.

Pengaruh musik ini bisa jadi berasal dari sang penulis manga, Harold Sakuishi yang merupakan fan berat Red Hot Chili Peppers (RHCP). Saat Koyuki di depan, nuansa musik yang sebelumnya dibahas memang terasa dominan. Namun, saat Chiba memimpin Beck dengan mikrofonnya, ada tambahan RHCP karena betotan bas Taira akan lebih agresif dan sedikit Rage Against the Machine dari cara bernyanyi vokalis kribo ini.

Bertahun kemudian mungkin ada Sakamichi no Apollon atau Carole & Tuesday yang secara penuh memasukkan musik ke-Barat-Baratan sebagai iringan animasinya. Baru saat Shinichiro Watanabe turun tangan Beck bisa tersaingi. Watanabe memang spesialis paduan musik dan animasi, namun baru di kedua judul tadi ia fokus pada cerita soal musisi. Di judul yang disebut pertama ia berkolaborasi dengan komposer andalannya, Yoko Kanno, yang sempat membantunya di Cowboy Bebop. Musik Sakamichi no Apollon juga berisi gubahan ulang standar-standar jaz baik lagu maupun komposisi, jadi wajar kalau musiknya begitu bule dan kebanyakan liriknya ber-Bahasa Inggris. Di Carole & Tuesday, Watanabe bahkan lebih curang lagi karena mengajak musikus macam Thundercat dan Flying Lotus.


Itulah sederet alasan mengapa Beck masih menjadi anime soal band yang paling relatable. Biarpun banyak fokus pada pembentukan identitas saat remaja, masa selepas itu pun masih terasa relevan. Taira sempat jadi kuli konstruksi sebelum bandnya melihat potensi, Koyuki pun berkutat di dapur restoran. Hal tersebut juga terjadi pada banyak anak band di sini.

Tagged

#anime #mongolian chop squad #beck

Leave a Reply