DLC-DLC Kosmetik Video Game Itu Sungguhlah Menyebalkan
Pengembang game sering kali memasang tarif melalui microtransaction untuk DLC yang bersifat sekadar kosmetik. Apakah ini sepadan?
Bermain game hari ini tidak seperti dahulu. Dulu, tinggal beli kaset satu kali di awal, masukkan ke konsol, lalu habis lah 30 sampai 90 jam hidup sia-sia. Sekarang, dengan berkembangnya internet, kemungkinan pemain untuk kebobolan pundi-pundi mereka demi game pun semakin besar.
Downloadable content (DLC) adalah isitilah untuk hal-hal tersebut, perintilan game yang bisa diunduh sebagai tambahan game aslinya, baik gratis maupun berbayar. Mungkin, pemain The Sims sudah mengetahui konsep serupa sejak generasi sebelumnya dengan bejibun Expansion Pack/Stuff Pack dari serial ini. Keduanya hampir sama, hanya saja Expansion Pack biasanya dibuat langsung oleh pengembang sedangkan DLC bisa dibuat pengembang atau pihak ketiga, selain itu penggunaan keduanya tergantung kebijakan redaksi pengembang game.
Tambahan-tambahan macam ini bisa jadi sepadan dengan uang yang dikucurkan pemain, bisa jadi tidak. Di zaman The Sims 3 misalnya, Expansion Pack macam University Life, Late Night, atau World Adventure menambah fitur dalam sistem game untuk mereka yang gampang bosan dengan game aslinya yang begitu-begitu saja dan memungkinkan pemain untuk mengejar gelar sarjana, membentuk band, atau bertualang di dalam piramida Mesir Kuno. Namun, Stuff Pack macam 70s 80s 90s Stuff hanya menambahkan perihal bersifat kosmetik macam barang-barang dan baju baru bagi Sim kalian. Tapi, karena memang konsep game ini serupa Barbie dan rumah-rumahannya, keduanya lumayan sepadan untuk dibeli pemain yang menginginkan Simnya menjadi mahasiswa anak band yang nge-jam dalam piramida sambil memakai kostum senam Jane Fonda atau celana ketat heboh khas Mötley Crüe.
Game-game yang punya landasan cerita juga dapat memperpanjang umur mereka dengan DLC. Dragon Age: Origins punya Warden’s Keep, Return to Ostagar, dan The Stone Prisoner. Di dalamnya pemain bisa menemukan peta dan karakter baru, bahkan cerita yang memperjelas konteks di balik game utama. Membayar DLC macam ini mungkin hampir sama dengan membeli game baru karena konten di dalamnya pun cukup segar dan, tentunya, “bisa dimainkan”.
Namun, itu bukan DLC-DLC yang sekadar kosmetik. Beberapa pengembang game menjual tambahan-tambahan kostum atau skin yang hanya akan mempercantik karakter untuk membangkitkan jiwa-jiwa hedonis para gamer, mungkin (sangat) sedikit menambah stats karakter, selebihnya tak ada fitur baru kecuali tampilan.
Zirah kuda milik The Elder Scrolls 4: Oblivion bisa jadi contoh yang cukup legendaris. Bethesda menagih sebesar $2,5 (Rp. 37 ribu) untuk dan hanya untuk kostum kuda. Di zamannya, DLC ini dianggap konten tambahan paling buruk dalam sejarah dunia game. Microtransaction bahkan belum menjadi hal baru. Konsep menggunakan uang dunia nyata untuk membeli perintilan dalam game belum begitu populer atau bahkan belum terpikirkan di masa itu. Sekarang, membeli armor skin seharga $15 (Rp. 224 ribu) di Destiny 2 adalah hal lumrah, biarpun enam kali harga zirah kuda Oblivion.
Kehinaan zirah kuda Oblivion bisa jadi karena game tersebut utamanya dinikmati secara single player. Fitur tersebut hanya bisa dinikmati pemainnya semata untuk menjalankan misi-misi sisa yang tak butuh-butuh amat kuda hias. Di sisi lain, Destiny 2 merupakan game FPS dalam jaringan, di mana pemain bisa memarkan skin karakter mereka kepada pemain lain, serupa memakai Adidas Samba Jamaica andalan kalian ke kedai kopi yang rajin memutar lagu-lagu Rub of Rub. Belum lagi game tersebut pada dasarnya free to play.
Microtransaction untuk mendapat DLC-DLC kosmetik bisa dijelaskan lebih relevan saat membahas game-game mobile. Para pengembang game ponsel memang sedari dulu kesulitan memonetisasi game mereka karena game berbayar susah laku di platform ini. Sebagai pecinta JRPG klasik, saya sempat bertanya-tanya kenapa sulit menemukan game RPG offline yang mumpuni padahal jelas spesifikasi ponsel sekarang sudah melebihi laptop saya zaman kuliah. Asdivine dan Demon Souls bisa diperhitungkan, tapi tidak sematang game-game konsol dulu. Beberapa yang gratis (macam yang diobral Segar Forever) malah punya iklan yang mengganggu saat sekadar ingin meng-save progres. Jawabannya, bisa jadi menjual game offline dengan harga sepadan di awal tidak lebih menguntungkan dibanding menjual perintilan via microtransaction dalam game yang memungkinkan perputaran uang lebih berkepanjangan.
Square Enix bisa menjual judul-judul klasik Final Fantasy seharga ratusan ribu rupiah. Rockstar pun begitu dengan GTA. Orang mau saja membeli judul-judul tersebut atas nama nostalgia. Akan tetapi, apakah judul-judul baru bisa bersaing menjual game berbayar di ponsel dengan ribuan game yang bisa diunduh secara gratis di AppStore atau PlayStore?
Karena itu, microtransaction menjadi salah satu jalan keluar pengembang game mobile bisa bertahan. Mereka membuat game mereka bisa diunduh secara gratis lalu memungkinkan pemain untuk melakukan transaksi di dalam game. Bayangkan berapa banyak bocah yang merengek minta uang jajan tambahan kepada orang tuanya untuk membeli diamond Mobile Legends untuk lagi dibelikan skin hero favorit mereka. Tanpa jasa mereka, Moonton tidak akan sesukses sekarang.
Mengapa microtransaction hanya untuk DLC-DLC kosmetik sebenarnya beralasan. Marvel’s Avanger pernah diserang karena memungkikan pemain untuk membeli XP Boost, barang yang akan membuat pemain mendapat poin EXP lebih banyak beberapa saat untuk menaikkan level lebih cepat. Ini memungkinkan sistem pay to win, padahal sebelumnya Square Enix (sebagai pengembang bersama Crystal Dynamics) sudah berjanji microtransaction hanya untuk perihal kosmetik dan kustomisasi barang.
Pay to win adalah sistem yang berbahaya, apa lagi buat game-game dalam jaringan. Sistem ini akan menimbulkan kesenjangan antarkelas. Kompetisi antarpemain seperti bisa dicurangi. Orang yang bekerja keras grinding dan farming di dalam game, misalnya, akan kalah melawan sultan-sultan yang membayar untuk barang-barang premium atau karakter-karakter top tier. Tak perlu angkat senjata, kelas pekerja keras ini tinggal meng-uninstall game sebagai bentuk perlawanan, membuat game tersebut terkesan tidak laku.
Intinya, DLC-DLC kosmetik yang bisa dibeli lewat microtransaction akan membantu keberlangsungan pengembang game. Sebagai anak band yang sering menggembar-gemborkan untuk membeli merchandise sebagai salah satu penunjang hidup band, saya mengerti sisi ini. Namun, kadang pengembang game kelewat tak masuk akal mematok harga untuk DLC-DLC macam ini. Namco memasang tarif sekitar $160 (Rp. 2,4 juta) untuk sebundel kostum lengkap karakter Tales of Xillia. Simulasi masinis, Train Simulator, juga punya skin kereta seharga sekitar $20 (Rp. 300 ribu) perpak yang berisi dua skin dan menyediakan hampir 200 pak untuk dibeli. Hitung sendiri kalau kalian mau mengoleksi seluruh skin-nya.
Bagi saya pribadi, perintilan kosmetik macam begini tidak penting sama sekali. Akan tetapi, pendapat saya bisa valid bisa juga tidak. Sebagai catatan, saya adalah orang yang terkontaminasi zaman, biasa membeli kaset PS seharga Rp. 5000 di Borma (dan baru belakangan sadar semuanya bajakan) dan mendapatkan kebanyakan game PC lewat torrent-torrent The Pirate Bay. Saya juga bermain Mobile Legends dengan hero Khaleed dan hanya Khaleed. Dia cuma punya tiga skin, satu skin saya tak punya duanya punya itu pun dari sananya.