Takut Mati Itu Sia-Sia dalam White Noise (2022)
Dipikir-pikir, kadang manusia terlalu mengglorifikasi kematian. Hal itu tersirat lumayan kentara di film Netflix White Noise (2022).
Kadang manusia terlalu mengglorifikasi kematian. Beberapa begitu takut kepadanya sampai-sampai rela merogoh kocek seumur hidup untuk jadi member gym atau gaya diet sehat yang lebih mahal dan lebih tidak enak, misalnya. Sebagian lain berharap kematiannya cepat datang dengan berbagai alasan. Padahal, Izrail bukan lah orang yang (bahkan bukan orang) datang jika diundang dan pergi jika diusir. Kematian datang begitu saja dengan suka-suka.
Itu lah kira-kira pesan yang bisa ditangkap dari White Noise. Kesan yang didapat setelah menonton film tersebut hampir sama dengan setelah menonton film komedi Coen bersaudara, Burn After Reading atau setelah membaca novelet karya penulis Negeri Jiran, Encik Jep, yang berjudul Din, Manap, dan Alien dari Langit. Pembaca atau penonton akan mendapat kesan, “Oh udah gitu aja,” setelah menikmati keduanya.
Film arahan Noah Baumbach ini merupakan adaptasi dari novel karya Don DeLillo dengan judul yang sama. Menilik DeLillo yang memang sering memasukkan absurdisme dalam karya-karyanya, kesan di paragraf sebelumnya dapat dimaklumi. Baumbach yang beberapa kali membantu Wes Anderson menulis dua filmnya, The Life Aquatic with Steve Zissou dan Fantastic Mr. Fox, juga bisa jadi sedikit cocok dengan dialog-dialog adaptasi novel yang kadang kikuk namun tepat guna. Karena itu, kolaborasi sang pemeran utama Jack Gladney (Adam Driver) dan rekan dosennya, Murray Siskind (Don Cheadle), dalam menjelaskan korelasi antara Hitler dan Elvis, begitu juga dengan analogi “data psikis” Murray terhadap barang-barang di supermarket, terasa masih enak dibaca jika terselip di paragraf-paragraf buku.
Dibuka dengan sebuah narasi (soal kecelakaan mobil di film Amerika) yang digambarkan khas film adaptasi novel seperti yang juga ditemukan di Trainspotting, White Noise terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, “Waves and Radiation”, memaparkan kehidupan Jack Gladney, keluarganya, serta lingkungan kerjanya di kampus (dengan pemilihan nama yang terkesan malas) College on the Hill. Di sini dijelaskan bahwa Gladney adalah seorang dosen jurusan yang ia ciptakan sendiri, Kajian Hitler, sebuah cabang kajian budaya atau media yang mempelajari sosok yang kejamnya bersejarah tersebut dengan lebih manusiawi. Rekannya, Murray yang punya spesialisasi kajian budaya populer, ingin membuat jurusan yang serupa untuk Elvis. Biarpun terdengar tidak masuk akal, kedua jurusan tersebut sangat mungkin dijadikan salah satu cabang kajian budaya lanjutan. The Beatles saja punya jurusan tingkat magisternya sendiri di University of Liverpool.
Bagian pertama tersebut juga menyelipkan beberapa petunjuk yang mungkin akan jadi sumber permasalah utama film ini, entah nantinya terbukti atau tidak. Istri Jack, Babette (Gretta Gerwig), bertingkah mencurigakan dengan diam-diam meminum obat bernama “Dylar” dan menyimpan buku soal okultisme di loteng rumah. Jack dan Babette pun dijelaskan kelewat takut akan kematian mereka sendiri. Setelah itu, bagian pertama ditutup adegan kecelakaan kereta pembawa bahan berbahaya dan truk pembawa bahan mudah terbakar yang digambarkan layaknya kecelakaan kendaraan khas film Amerika yang sudah dijelaskan oleh Murray di awal film sebagai sesuatu yang berisi “a wonderful brimming spirit of innocence and fun”.
Sejauh ini, pembaca digiring untuk percaya bahwa film ini bergenre science fiction disaster macam 2012 atau The Day After Tomorrow. Tapi percayalah konflik dalam film ini berjalan begitu saja seperti Dazed and Confused atau seri film berawalan Before milik Richard Linklater yang lain. Bagian kedua, “The Airborne Toxic Event”, menjelaskan bagaimana kecelakaan di bagian pertama berujung bencana lokal yang mengharuskan penduduk, termasuk keluarga Jack, untuk evakuasi. Mobil keluarga Jack pun sempat hampir terbawa arus sungai karena hal ini. Sedangkan bagian ketiga “Daylarama” merupakan konklusi dari konsumsi “obat penghilang rasa takut mati”, Dylar, oleh Babette yang sekonyong-konyong menjadi drama perselingkuhan lengkap dengan tembak-tembakan dan orasi dari biarawati/suster ateis.
Biarpun diwarnai banyak kejadian berbahaya, tak ada karakter yang dibuat meninggal dalam White Noise, kecuali seorang dosen saingan Murray, Cotsakis. Itu pun bukan karena menjadi korban bencana yang sebelumnya terjadi, hanyut di sungai, tertembak bandar narkoba, overdosis Dylar, atau jadi tumbal sekte, melainkan tenggelam saat sedang berselancar di Malibu ketika liburan kuliah, hal yang sama sekali tidak dibangun di plot. Kehidupan Jack dan Babette yang terobsesi akan kematian mereka pun berjalan atau setidaknya berakhir biasa saja di sebuah supermarket berisi orang-orang dengan koreografi aneh.
Ini mungkin mengapa film dan novel Don DeLillo diberi judul White Noise. White noise sendiri berarti kumpulan beragam gelombang suara yang berada pada frekuensi yang luas, sebuah kebisingan konstan yang hanya berakhir menjadi suara latar yang tidak mengganggu. Jika Anda mencari kata kunci tersebut di Youtube, maka beberapa video akan berisi suara kresek-kresek berdurasi dua atau tiga jam yang ditujukkan untuk menenangkan bayi agar bisa tidur. Hal yang sama juga digunakan karakter ayah tunggal Kevin Hart dalam Fatherhood saat dia kebingungan menghentikan tangisan anaknya.
Semua kejadian berpotensi maut yang terjadi hanya mewarnai bahkan memperkuat kehidupan berkeluarga sang pemeran utama, Jack Gladney, dari masalah yang beberapa bahkan mereka ada-ada sendiri. Bahkan ia yang terpapar asap di “The Airborne Toxic Event” pun divonis akan meninggal, namun waktunya entah kapan, sama seperti kematian kita semua. Jika cerita White Noise diteruskan, mungkin Jack akan meninggal dalam satu, dua tahun atau dua, tiga dekade. Mungkin Babette yang akan meninggal terlebih dahulu dalam kurun waktu tersebut. Atau salah satu dari anak-anak mereka mungkin. Entahlah.