Zona Nyaman Selera Musik di Era Arus Referensi Tak Berujung

Apakah salah mempunyai sebuah ‘zona nyaman’ di sebuah ceruk musik tertentu ketika arus referensinya semakin tak terbatas?
Ketika menulis ini, saya baru saja datang ke kantor dan mendapati dua teman kerja saya – Sendhi dan Ilham yang juga menulis untuk Consumed – sedang berbincang kecil. “Naon nya nu baru keur ngeunah di-review? Press release nu asub asa can aya nu menarik,” celoteh salah satu dari mereka.
Sempat muncul di benak saya sebuah itikad untuk merespon celotehan itu tapi saya urungkan – saya pikir, ah, toh mereka punya keleluasaan untuk menulis apa yang mereka mau karena itu yang saya kerap kali terapkan dengan siapa pun penulis yang bekerja sama dengan saya selama ini. Jadi saya percayakan saja kepada intuisi dan keniscayaan selera musik mereka yang lebih up-to-date dibanding saya yang berkuping usang ini.
Ah berbicara soal usangnya selera musik, saya jadi teringat akan cuitan dari Arian13 (vokalis Seringai) di paruh akhir tahun lalu yang sempat menanyakan kepada para pengikutnya di platform biang tubir netizen tersebut soal titik tolak mentoknya wawasan musik seseorang. Tweet itu disambut antusias oleh banyak netizen. Banyak pihak yang menyambar pertanyaan terkesan sepele tapi ternyata memantik itu di sana – bak sebuah pasar opini yang ramai di lalu lalangi oleh berbagai orang yang ingin menjajakan perspektifnya dengan berbagai tendensinya. Saya pun menyimak sebisa dan sebanyak mungkin celotehan warganet di utas tersebut. Yaaa lumayan menarik berbagai responnya.
Tapi sebetulnya yang membuat saya menggaruk kepala dan mencoba mencari titik tengahnya itu bukanlah derasnya opini netizen soal keluhan mereka yang memang ternyata seleranya kebanyakan mentok di suatu genre atau lini masa musik tertentu – namun apakah salah mempunyai sebuah ‘zona nyaman’ di sebuah ceruk musik tertentu ketika konon arus referensinya sekarang semakin tak terbatas untuk ditelusuri?
Saya pun si kuping usang yang memang selera dan gairah musiknya mentok di ceruk punk rock dan berbagai lingkup arsirannya mulai mempertanyakan keabsahan pilihan untuk mendengarkan lebih khusyuk dan ‘konsisten’ di ruang genre tersebut. Sebelum saya memaparkan opini saya, ada beberapa temuan yang saya dapatkan dari tulisan lain yang kurang lebih membahas topik berkaitan. Izinkan saya untuk memaparkannya terlebih dahulu guna memberikan konteks dan opsi perspektif yang lebih luas dibandingkan opini saya yang dogol dan sering dianggap salah oleh beberapa polisi skena ini.
Menurut artikel dari The Music Studio, konon berfokus mendengarkan kepada musik yang memang selera individu tersebut bisa memberikan kenyamanan yang tepat untuk membuat orang tersebut lebih produktif. Sama halnya dengan essay dari buah pikiran Jeremy Larson yang dimuat di Pitchfork pada masa awal pandemi silam – Larson memaparkan bahwa keterikatan seseorang dengan selera musik spesifik terkait dengan pengalaman pribadinya menyangkut aspek nostalgia dan kebutuhan akan pancingan perasaan bahagia yang diinginkan dari musik yang ia dengarkan. Di tulisannya pun ia memaparkan sebuah temuan bahwa pada akhirnya kaitan mentoknya selera itu tetap terhubung dengan program default otak manusia yang memang akan lebih menerima input yang sudah terbiasa didapatkan dan melanjutkannya untuk menghasilkan dopamin ke dalam dirinya.
Setelah membaca artikel itu, sempat terpikir oleh saya bahwa toh memang tidak salah untuk mementokkan selera musik dengan mawas diri – karena pada akhirnya dalih ‘semua itu demi kesenangan diri sendiri’ masih ampuh dan manjur untuk mengabsahkan berbagai pilihan dalam hidup. Termasuk selera musik. So I guess it’s all okay.
Tapi nyatanya saya tetap merasa tidak tenang akan temuan perspektif di atas tadi – karena saya yang kini bekerja di bidang portal berita musik memang seringkali terganggu dengan konsep kalau ‘penulis musik harus suka dan tahu banyak genre musik’. That bothers me like hell. Harus saya akui, saya pun kerap kali terjebak di berbagai percakapan bertopik musik (kebanyakan bersama banyak orang yang umurnya jauh lebih muda dibanding saya) dan saya tak tahu apa atau siapa yang mereka bahas. Ada cubitan kecil di hati saya yang seakan mengingatkan bahwa harusnya, ha-rus-nya, HARUSNYA, saya si penulis musik yang kerap kali memaparkan opini soal musik dan juga memberikan ulasan musik seharusnya mendengarkan dan paham akan lebih banyak musik dari apa yang saya sudah pahami sekarang.
Sial, rasa percaya diri saya jadinya kembang kempis menuju kering dan mati kalau harus memikirkan hal itu. Tapi saya selalu meneguhkan hati saya bahwa bidang karir ini tetaplah yang saya inginkan dari dahulu dan masih saya perjuangkan sampai sekarang. Maka saya pun gunakan kelemahan saya akan terbatasanya selera dan referensi musik itu sebagai pemantik perspektif baru di berbagai tulisan saya. There, you have a tiny piece of my recipe now.
Karena pada akhirnya kalau pun saya harus mendengarkan banyaknya musik baru – baik secara kasual atau pun dari segi profesionalisme sebagai karyawan teks – saya akan tetap melabuhkan diri saya sepenuhnya kepada selera musik yang sudah terpatri paten di benak saya untuk memberikan energi dan semangat kembali untuk kehidupan saya.
Mungkin sempat ada waktunya ketika saya memaparkan beberapa opini akan baiknya mencari referensi musik yang lebih beragam di beberapa ulasan musik yang pernah saya tulis. Opini itu saya proyeksikan untuk kepada golongan musisi yang membuat musik. Namun untuk urusan konsumsi selera musik personal, saya tetap tak punya kapabilitas untuk urusan itu. Karena saya sendiri pun masih memasrahkan diri saya ke musik punk rock dan berbagai lingkupnya untuk dinikmati secara harian. Terdengar konyol memang, tapi memang sulit untuk menjadi sempurna dan mulia.
So in the end, it’s all about perspective and doing what you like for yourself.