¡Que viva México!, Satir Melelahkan Nyerempet Kelasis
Durasi tiga jam ¡Que viva México! sudah cukup melelahkan – belum lagi ditambah bahasan soal diskriminasi kelas.
Bagian awal ¡Que viva México! berisi bentuk-bentuk satir yang sudah biasa saya temukan di tongkrongan. Kuliah jurusan berbau sosial, memulai band di lingkungan yang semi semi underground, dan punya beberapa teman yang rajin turun ke jalan tiap 1 Mei membuat kepala saya ikut-ikutan terbiasa tengil terhadap orang-orang mapan yang kadang tidak sadar mereka berprivilese. Karena itu, selentingan macam “konservatif klimis” (menurut terjemahan Netflix) untuk mengganti istilah borjuis yang sudah dianggap ketinggalan zaman dalam film Luis Estrada ini membuat saya tersenyum tipis.
Biarpun tidak dibagi per-chapter macam beberapa film Tarantino, ¡Que viva México! rasanya terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama penuh dengan kesan di atas, bos misoginis yang sesumbar akan cancel culture dan saking serakahnya menyebut karyawannya parasit serta istri sosialita banyak mau dengan penuh komentar pedas terhadap asisten rumah tangga khas orang kaya sinetron yang, mungkin di dunia nyata, menjadi backstory koruptor-koruptor ulung. Sedang di bagian kedua, Estrada lebih mengkritik, jika tidak mendiskreditkan, masyarakat bagian pinggir Meksiko yang tertinggal.
Pancho, sang pemeran utama, merupakan titik tengah kedua kelompok sosial tersebut, juga konflik utama film ini. Di samping kehidupannya yang nyaman bersama istri dan kedua anaknya di kota dan pekerjaannya yang kebanyakan memecat orang di kantor untuk menjadi anak kesayangan bosnya, ia merupakan satu dari enam bersaudara keluarga penambang miskin di kota kecil bernama Prosperidad. Namun, konflik film ini bukan lah konflik antarkelas, bukan antara borjuis dan proletar, bukan antara kapital dan kelas pekerja, namun hal lain yang (bersama durasi yang serupa The Lord of the Rings) mungkin menjadi alasan film ini mendapat banyak ulasan buruk.
Pancho sendiri bukan protagonis konvensional baik hati. Dari kaca mata orang sini, ia bisa digolongkan anak durhaka yang mungkin sudah dikutuk ibunya jadi batu. Bayangkan saja, istrinya baru berkenalan dengan kedua orang tuanya dan keenam saudaranya setelah ia punya dua anak. Ia bahkan terlepas dari permasalahan sandwich generation karena sanggup membiarkan keluarganya hidup miskin sedang ia mudik naik mobil Mercy.
Kesenjangan adalah hal yang tergambar di bagian pertama selain cemoohan terhadap ulah orang kaya serakah. Saat memboyong keluarganya pulang kampung dengan harapan mendapat warisan kakeknya yang baru saja meninggal, istrinya mengeluh soal kamar yang menurutnya berbau seperti “orang melarat” (biarpun beralasan karena di sana ada sepasang ayam dan kaki kakeknya yang diawetkan). Bahkan saat anak-anaknya ingin buang air besar Pancho berkata, “Pilih pohon, lepas celana kalian, dan hati-hati banyak serangga.”
Kesan pertama keluarganya tersebut hampir sama dengan orang kota di sini yang baru berpergian ke daerah pinggiran. Saya teringat dengan perjalanan tur band saya terakhir di Sumatra. Kami melewati jalur darat Padang-Jambi dan berhenti di sebuah tempat makan yang biasa disinggahi supir-supir truk AKAP. Salah satu rekan saya ingin buang air besar namun urung menyalurkan keterdesakkannya karena toilet di sana tak berpintu, hanya dihalangi jalur masuk bertembok serupa labirin, sedang rekan saya yang lain bertanya kepada pelayan, “Password wifi-nya apa ya, Pak?” Si pelayan kebingungan dan kalau bisa menjawab mungkin dia akan bilang, “Pintu jamban saja kita enggak punya.” Ini menunjukkan kesenjangan kota dan daerah pinggiran Meksiko punya kesamaan dengan Indonesia.
Setelah setengah film (yang totalnya tiga jam) terlewati, suasana berubah. Wasiat kakeknya sudah dibacakan. Harta kakeknya kebanyakan diwariskan ke Pancho sebagai cucu kesayangan (yang membuat almarhum menjadi kepala rumah tangga tidak masuk akal) sedang seluruh keluarganya mendapat hal-hal receh mulai dari uang (secara harfiah) receh, kalkun, keledai, sekop, gerobak, buku risalah moral, hingga rasa terima kasih. Giliran keluarga Pancho yang berulah.
Dengan durasinya yang keterlaluan, terlalu banyak hal yang sebenarnya bisa dibahas dan akan membuat tulisan yang tidak menarik ini makin membosankan. Namun intinya begini, di bagian kedua keluarga Pancho melakukan hal-hal konyol nyerempet bodoh untuk mendapat bagian dari warisan. Tingkah polah Pancho pun tak kalah kurang ajar untuk mempertahankan harta turunannya. Setereotipe-stereotipe orang pinggiran Meksiko pun muncul ke permukaan, yang akan berbahaya bagi para penonton di luar Meksiko dan mereka yang lupa bahwa film ini adalah sebuah satir. Belum lagi jika menggunakan kata kunci Meksiko di Netflix, film ini lah yang pertama keluar. Penonton bisa jadi berpikir, “Oh orang-orang Meksiko seperti ini ya.”
Beberapa stereotipe yang muncul adalah tidak loyal, mudah menyerah, malas, penjilat, serakah, bodoh tentunya, bahkan hampir bisa dikatakan berperilaku seperti binatang. Mungkin hal ini lah yang membuat ¡Que viva México! mendapat banyak ulasan buruk, terkesan merendahkan kelas bawah. Seperti di bahas di awal, mengkritik sesuatu yang sudah mapan adalah hal biasa namun hal serupa kepada lawannya bisa jadi menyinggung.
Saya tidak begitu kenal dengan suasana sosial ekonomi Meksiko tapi semoga beberapa temuan saya di internet ini bisa dijadikan konteks. Estrada terkenal dengan komedi satir yang banyak mendapat ulasan positif karena berani mengkritik pemerintah dan kondisi politik Meksiko seperti dalam La ley de Herodes (1999, soal pemerintah korup), El Infierno (2010, soal narkoba dan kejahatan terstruktur), dan La dictadura perfecta (2014, soal media partisan). Judul pertama bahkan dikenal karena menjadi film pertama di Meksiko yang mengkritik partai PRI (yang menguasai negera tersebut sekitar tujuh dekade) dengan secara langsung menyebutkan namanya.
Sejak 2018, Meksiko dipimpin oleh Andrés Manuel López Obrador (AMLO). Ia yang dikenal sebagai politisi progresif, populis, serta kiri tengah membawa angin segar pada politik Meksiko dengan agenda mengutamakan rakyat jelata dan menghapus penyalahgunaan privilese. Beberapa kutipannya soal hal tersebut muncul di ¡Que viva México! dan dikecam oleh istri dan bos Pancho.
Pemerintah yang baik akan percuma kalau masyarakatnya tidak mau berubah mungkin menjadi pesan Estrada dalam ¡Que viva México!. Setidaknya ada dua karakter yang mengatakan “maklum, orang-orang miskin seperti kami mengerjakan apa yang mereka bisa”, saudara Pancho yang pengedar dan teman SD yang hampir merampok mobilnya. Estrada nampaknya berpesan agar tidak menyerah pada keadaan tersebut.
Karena itu, alih-alih melontarkan kembali kritik telak terhadap pemerintahan Meksiko seperti dalam film-film sebelumnya, ia juga mengarah pada rakyatnya. Semua orang sebenarnya kena sentil, bahkan presiden AMLO sendiri. Di dekat ujung film, Pancho mengatakan, ” Entah kenapa pemerintahan ini mirip dengan yang sebelumnya,” kepada pamannya, wali kota Prosperidad, yang sibuk bicara “kata presiden antikorupsi” tapi membereskan semua hal dengan uang dan anaknya jadi pejabat polisi di sana. Selain itu, ada poster kampanye AMLO untuk masa jabatan selanjutnya, masih dengan wacana prioritas terhadap rakyat miskin yang ironisnya jumlahnya makin bertambah, seperti yang terjadi pada Pancho.
Saya masih bisa menikmati tiga jam kelucuan film ini. Lelucon yang kadang kelewat absurd bisa tersampaikan dengan baik berkat aksi para aktor, khususnya Damián Alcázar dan Joaquín Cosío. Mereka masing-masing berhasil memainkan tiga peran sekaligus dengan kocak. Ini wajar karena keduanya merupakan aktor langganan Estrada. Hubungan keduanya dengan Estrada mungkin mirip Tarantino dengan Tim Roth atau Uma Thurman, Alcázar juga bermain di ketiga film yang sebelumnya disebutkan sedang Cosío ada di dua judul. Selain itu, gaya Estrada mengandung ketengilan dan nuansa politik mirip tulisan-tulisan Eka Kurniawan biarpun agak melelahkan dan membuat saya bertanya kenapa tidak pecah saja jadi serial enam episode. Dengan segala hal tersebut, ¡Que viva México! tetap mendapat ulasan yang cukup buruk (29% di Rotten Tomatoes dan 5,5/10 di IMDb).
Dari beberapa ulasan di internet yang saya temukan, nampaknya masyarakat Meksiko lumayan tersinggung dengan film ini di samping durasi yang terlalu panjang. Layaknya di Indonesia, kritik terhadap pemerintah selalu bisa diterima karena apa pun masalahnya, pemerintah selalu bisa disalahkan. Kritik terhadap rakyat sebaliknya karena sulit merangkum banyak kesadaran berbagai kelompok tanpa terkesan menggeneralisasi. Karena itu, film ini terasa begitu kelasis (kalau rasis untuk diskriminasi ras dan seksis untuk jenis kelamin). Namun, seperti dibahas sebelumnya, film ini bukan soal konflik antarkelas namun soal orang-orang di dalam kedua kelas (dan di antaranya) yang sama-sama busuk dan sayangnya sama-sama orang Meksiko. Jadi, bukan orang-orang miskin berpendidikan rendah saja yang jadi sasaran kalau penonton tidak melupakan bagian pertama film ini.
Sebagai bukan orang Meksiko, saya cukup menikmati ¡Que viva México! sebagai karya komedi. Seperti N-word yang hanya boleh dikatakan orang kulit hitam Amerika dan komedi Ernest Prakasa soal keturunan Tionghoa Indonesia, Estrada bicara kepada kelompoknya sendiri. Orang-orang di luar kelompok mereka tinggal tertawa, yang bisa protes hanya saudara-saudaranya saja. Estrada bukanlah Coki Pardede yang mebuat dark joke (sering kali dark tapi joke-nya diragukan) kepada orang Islam maupun Tiongha biarpun bukan berasal dari kedua kelompok.