X

Vague, Eksistensi dan Perjalanan Footsteps dalam Satu Dekade

by Ilham Fadhilah / 7 months ago / 675 Views / 0 Comments /

Seberapa ramainya ‘Footsteps’ diapresiasi atau bahkan diminati di sini sejatinya bukan masalah, nama Vague tetap penting sebagai penorehnya dan tentunya usia satu dekade ini layak buat dirayakan. Apakah jadi pertanda kalau mereka bakal tingkatkan produktivitas kembali ke depannya?


Meskipun secara eksistensi tidak begitu mencuat, namun Vague juga bukan nama yang layak buat dilewatkan. Penyuka post-hardcore dengan style ala Revolution Summer tentunya bakal menempatkan trio ini dalam tempat spesial sebagai salah satu penyelamat corak musik tersebut di lokal. Memang kedatangan mereka tak membombardir sebegitu hebohnya, tapi eksistensi mereka cukup untuk menorehkan rilisan solid – yang meskipun para playernya konon kurang puas dengan hasilnya – berupa album bertajuk Footsteps yang jadi artefak penting buat disimak berulang kali di waktu-waktu setelahnya. 

Tepat di tahun ini, Footsteps menginjak usia satu dekade. Entah jadi torehan pertama yang muncul ke permukaan atau bukan, namun setidaknya album ini mampu membangkitkan gairah arwah Revolution Summer yang diintai jarang gentayangan di sini. Sehingga terlepas ini berkaitan atau tidak, kita dapat menemukan band-band lain yang masih punya preferensi sama bersarang di sini di masa setelahnya. Yang terbaru yang saya ketahui; Filler dari Yogyakarta.

Setelah sempat nonaktif dalam beberapa waktu – dua tahun terakhir jika saya tak salah kira – Vague yang sempat men-takedown seluruh katalog musiknya di digital streaming platform dan senyap tanpa show serta tanda-tanda kehidupan lainnya menghembuskan nafasnya kembali di tahun ini secara (cukup) mengejutkan. Memperbarui foto band (dengan formasi terkini; Yudhistira, Garry, dan Beje), mengembalikan rilisan-rilisannya di kanal musik digtal dan pengumuman showcase yang didedikasikan khusus buat Footsteps.

Vague 2024. Kiri ke kanan; Beje (drum), Yudhis (gitar/vokal), Garry (bas, vokal). Foto oleh: Rakasyah Reza

Sontak ini jadi kabar baik yang layak disambut. Sempat mengira mereka tak punya lagi minat buat bermusik, akhirnya terpatahkan lantaran mereka ternyata hanya ‘mati suri’, atau mungkin lebih tepatnya saya yang salah menyatakan. Lewat interview yang dilakukan via Google Meet dengan seluruh personel pada 6 Mei lalu, mereka langsung membantah anggapan itu dengan telak. 

“Kita nggak pernah ngumumin bubar, hiatus atau semacemnya, nggak sebesar itu juga sih soalnya, hahaha. Jadi simply bagian dinamika dari band aja”, pungkas Yudhis. 

“Terus apa dong yang bikin kalian belakangan waktu kemaren memutuskan buat nggak begitu aktif?” timpal saya penasaran.

“Sebenernya mungkin karena ada transisi pergantian drummer dari Jan (sekarang vokalis ZIP) ke Beje. Jadi mayan ada waktu penyesuaian tuh buat Beje hingga akhirnya bisa lancar dan siap buat dibawa mainin lagu-lagu Vague.

Tapi sebetulnya di kurun waktu itu (sekitar pandemi dan setelahnya) kita masih aktif bikin lagu, rekam-rekam materi dan coba dimainin. Cuman karena pas pandemi tentunya nggak ada panggungan juga kita masih transisi pergantian drummer plusnya lagi diselingi kesibukan masing-masing, jadinya gitu deh, kayak hidup-nggak-hidup,” jawab Gary. 

“Belum lagi saat itu juga band gue yang satu lagi lagi garap album,” tambah Beje. 

Perlu diketahui juga, masing-masing dari personel Vague memang punya kesibukan dengan entitas-entitas lain yang dilakoninya, sehingga jadi wajar jika akhirnya eksistensi Vague yang jadi taruhan. Selain bareng Vague, Yudhis juga mengisi departemen enam senar Jirapah, Beje sejak awal adalah penggebuk drum buat Pelteras, dan Gary punya Gerimis, proyek personalnya tentang cerita-cerita horor, meskipun nampaknya juga belakangan ini tak begitu aktif ngonten. 

“Oh iya (soal Gerimis) perdukunannya aja yang masih, ngontennya udah agak jarang,” aku Garry. 

Kembali ke Vague, memang terkadang status cult/niche tak lepas dari sesuatu yang digarap tanpa melibatkan perasaan ambisius berlebih, tapi justru karena hal itu juga sesuatu itu jadi lebih menarik, unit ini pun tak terkecuali.

“Sejak awal gue emang memproyeksikan Vague jadi proyek having fun aja. Pada awalnya, waktu itu gue ketemu Jan dan kebetulan kita punya selera musik yang kurleb sama. Akhirnya jamming-jamming dan nemu bassist kita yang lama. Setelah itu, bassist kita cabut dan ketemu lah sama Garry.

Kalo soal gue jadiin Vague proyek ambisius atau nggak.. lo gila kali, musik kayak gini bakal segimana besarnya sih emang di sini?” jawab Yudhis. 

Benar juga. Musik macam mereka ini memang tak pernah muncul ke permukaan dan diminati secara masif dalam bentuk yang asli. Ketika sudah dapat mengait banyak pendengar, bentuknya pasti sudah berubah; entah jadi format yang baru/segar maupun jadi makin busuk sekalian. Ya, lewat pernyataan tadi mungkin Yudhis pun sadar betul kalau musik macam ini tak bakal sukses memikat banyak telinga. Namun, memang sesuatu yang hanya dapat dinikmati secara ‘eksklusif’ tak melulu jatuh di lubang sok keren, ada juga yang nyatanya memang keren.

Sepuluh tahun berselang dengan dinamika yang tak begitu naik-turun, Vague pun menemui titik cerah buat kembali mengenalkan anak semata wayangnya itu. Tahun ini yang bertepatan dengan jatuhnya usia satu dekade pasca rilisnya Footsteps, mereka pun menyusun tekad buat memberikan treatment spesial; sebuah showcase.

Footsteps (2014)

“Mengapa album ini jadi penting buat di-treatment dengan sebuah showcase? Apa ada catatan sentimental tersendiri buat kalian masing-masing?” tanya saya.

“Sebenernya karena ada kesempatannya aja, jadi kita ngelanjutin opportunity itu. Akhirnya kemungkinan itu terwujud bareng sama kolektif yang notabenenya pun masih temen-temen, yaitu Paguyuban Crowd Surf.

Kalo soal sentimental tersendiri dari Footsteps, kayaknya gue yang paling attach sama album ini. Kebetulan seluruh liriknya pun gue yang nulis. Kalo gue tengok lagi sekarang, ini kayak semacam jurnal sih, nengok kembali diri gue yang dulu karena ini gue tulis dulu di pertengahan usia 20-an,” kata Yudhis. 

“Kalo gue mungkin lebih ke euphorianya karena akhirnya punya album sendiri kali ya. Ini jadi experience pertama buat gue ya akhirnya album ini pun sentimental banget buat gue,” susul Garry.

 “Kalo versi gue, gue mungkin agak berbeda dengan mereka berdua yang actually nulis lagu di dalamnya, cuman gue masih inget waktu itu pertemuan gue sama Vague itu di tahun 2012. Waktu itu gue ngejar ((Auman)) manggung di Jakarta dan pas gue masuk ke venue itu yang main lagi Vague dan gue langsung amazed gitu ada yang mainin post-hardcore kayak gini di lokal, which is saat itu gue belum terlalu aware sama band-band lokal.

Akhirnya waktu album Footsteps rilis, gue dan adek gue (Adam yang juga bassist di Pelteras) lumayan excited, gue hunting CD-nya dan lumayan lama tuh gue play terus di mobil. Jadi ya mungkin gue melihat album ini sebagai kacamata fans pada saat itu album ini termasuk salah satu best album yang pernah dikeluarin sama band lokal lah,” terang Beje.

Melihat Beje mengemukakan kalau dirinya berangkat dari seorang fanboy dalam ketertarikannya pada Vague, saya pun jadi ingin mengemukakan pendapat pribadi soal album ini. Footsteps mungkin bukan album mutakhir, namun bisa saya bilang paling mujarab buat kelasnya. Formula yang tak banyak berubah dari akar musiknya membuat album ini punya energi yang lain ketimbang banyaknya rilisan satu koridor (jika tak bisa dibilang serupa) yang keluar saat itu. 

Mungkin saya tidak mengikuti Footsteps di waktu saat albumnya keluar, namun berselang kurang lebih empat tahun, album ini masih terasa asing sekaligus menggugah secara bersamaan. Ya, sebagai Gen Z yang lebih dulu dijejali musik-musik rock TV ketimbang suara akar rumput yang mempengaruhi mereka, jenis musik macam ini tentunya asing, malah mungkin akan dianggap bentuk disonansi.

Perkenalan pertama adalah perkara menjelajah atau membatasi eksplorasi. Saya memilih gerbang pertama lantaran sedikitnya agak familiar dengan beberapa band Dischord Records yang sempat dikonsumsi (meski tak begitu intens) macam Embrace atau Grey Matter. Bio mereka di Bandcamp yang menuliskan “We love Fugazi and Dinosaur Jr.” pun menuntaskan semuanya. Setelah mendapatkan konteks, mengonsumsinya pun menjadi lebih mudah. 

Penampilan Vague di Pesta Kiamat, Rossi Musik 2022. Foto oleh Juan Akbar

Yudhis di usia mid 20-an (saat menulis Footsteps) mungkin adalah semua orang di usia yang sama – termasuk saya. Kemampuan membahasakan emosi yang mentah dan mengawinkannya dengan komponen musik yang sama mentahnya bersama bandnya secara matang lah yang membedakannya. Footsteps menurut saya punya energi itu yang membuat kembali akar rumput tak harus terdengar basi, meskipun apa yang disajikan tak begitu familiar di tempat kalian berasal. 

Tak heran jika akhirnya album ini punya tempat sentimentil buat segelintir orang yang menikmatinya. Treatment berupa showcase pun rasanya tak muluk-muluk, mengingat Foosteps merupakan salah satu album post-hardcore penting yang keluar dan punya diferensiasi kentara dari apa yang banyak orang mainkan atau minati di pertengahan tahun dua ribu belasan.

Mulai menuju akhir sesi wawancara, dengan kemunculan wajah mereka kembali di linimasa dan berbagai gerai musik digital, tentu saya punya harapan soal kiprah mereka ke depannya. Apakah ajang showcase ini hanya sebatas perayaan semata atau penanda kalau mereka bakal lebih getol merajut produktivitasnya? Namun balik ke konsep non-ambisius, mereka menjawabnya dengan mimik yang datar. Jelas saja, nyatanya hal-hal itu juga dilakukan tak lepas dari strategi menjelang showcase atas saran yang diberikan unofficial manager mereka.

“Yah, balik lagi ke awal, karena sebelum ini pun kita nggak memutuskan buat hiatus atau apapun itu, mungkin setelah showcase pun kita bakal gini-gini aja,” jawab Yudhis. 

“Ya ada kemungkinan kita bakal ngerilis materi yang udah kita rekam beberapa waktu terakhir, bentuknya nanti bakal apa kita sendiri masih belum tahu,” Garry menambahkan.

“Gue sih ngikut Yudhis dan Garry aja,” tutup Beje.  

“Kasih rating 1-10 buat Footsteps dari kalian dong!” seru saya menutup sesi wawancara ini. 

Yudhis: “Gue 9.6, minusnya di mixing-an dan rekaman yang kurang rapih” 

Beje: “Gue 9 dengan alasan yang sama, meskipun gue nggak ikut ngerekam pada saat itu, jadi gue ngeliat dalam POV pendengar.”

Garry: “Gue 10 dong,  karena buat gue ini jadi momen di mana akhirnya punya album sendiri dan merasakan euphoria dari album tersebut.”  

Tagged

#profile #consumed magazine #Vague #Post-Hardcore #consumed