X

Perempuan Histeris: Sebuah Metafora dalam Tiga Film Horor

by webadmin / 9 months ago / 793 Views / 0 Comments /

Perempuan histeris selalu menjadi metafora yang hadir di berbagai film horor. Tulisan ini memuat tiga film horor yang menggali metafora tersebut dengan cara berbeda. “The Woman’s Revenge” dalam Femina Ridens (1969), “The Woman Unbelieved” dalam The Entity (1982) dan “The Woman Caged” dalam Dans Ma Peau (2002).


Sebagai loyalis genre horor sejak kecil, saya memperhatikan satu elemen yang berulang di sebagian besar film yang saya tonton: Perempuan. Komponen inti dari banyak metafora yang hadir dalam genre ini, perempuan biasanya digambarkan sebagai final girl yang stereotip (sering digambarkan sebagai gadis yang prudish atau perawan), perempuan histeris, hantu pendendam, atau damsel in distress. Narasi “kegilaan” dalam film-film horor ini biasanya digambarkan sebagai perwujudan feminin.

Perempuan histeris (the hysterical woman) selalu menjadi metafora horor favorit saya. Tentu saja saya tertarik dengan gambaran seorang wanita yang terlibat dalam aktivitas yang “tidak feminin”, karena saya merasakan perasaan katarsis yang mendalam melihat “wanita gila” ini di layar, menciptakan ilusi keakraban dan keterkaitan meskipun karakter mereka ditulis oleh seorang pria.

Istilah “histeria wanita” awalnya digunakan untuk mendiagnosis berbagai penyakit mental pada wanita. Selain itu, istilah “histeria” sendiri mempunyai konotasi gender karena penyakit ini sebagian besar didiagnosis pada wanita. Seksualitas perempuan, promiscuity dan terkadang amarah seringkali disalahartikan sebagai tanda penyakit mental. Pria juga dianggap tidak dapat mengalami histeria karena mereka tidak memiliki rahim, yang agaknya lucu kalau dipikir-pikir.

Kutipan yang sangat saya sukai dan selaras dengan tema-tema ini berasal dari publikasi berjudul “The Feminine Grotesque” oleh Anjelica Bastién: “I redefine ‘madwoman’ as an act of reclamation, an act of learning to love or at least come to terms with the part of myself that society tells me to hate.”

Melihat perempuan menjadi figur yang dominan, tidak sempurna, subversif, dan membalas dendam pada pelaku kekerasan adalah sebuah pengalaman yang memuaskan. Ini adalah cara menghilangkan atau purging amarah kolektif yang dirasakan banyak perempuan. Para perempuan – perempuan ini telah melampaui kewajiban untuk menjadi “likeable” dalam film, mengubah stereotype “manic pixie dream girl” menjadi kiasan “your biggest nightmare“.

Saya telah memilih tiga film horor yang menggali metafora ini dengan cara berbeda. “The Woman’s Revenge” dalam Femina Ridens (1969), “The Woman Unbelieved” dalam The Entity (1982)  dan “The Woman Caged” dalam Dans Ma Peau (2002)


  • The Woman’s Revenge: Femina Ridens / The Laughing Woman (1969), Piero Schivazappa

Femina Ridens adalah film Italia yang masuk dalam estetika film-film eksploitasi Eropa tahun 1960-an yang bersifat soft-core dan sleazy. Meski saya kurang setuju jika film ini sepenuhnya dihitung sebagai film Giallo, apalagi horor, tapi Femina Ridens memang memiliki tema formulaic film thriller pada jamannya. Hal lain yang menarik dari film ini adalah komposisi musik yang dibuat oleh Stevio Cipriani yang luar biasa, salah satunya “Maria’s Theme” yang mungkin lebih banyak dikenal orang ketimbang filmnya.

Femina Ridens atau lebih dikenal dengan The Laughing Woman berkisah tentang seorang reporter bernama Maria (Dagmar Lassander) yang secara tidak sengaja menyinggung perasaan philanthrophist kaya raya bernama Dr. Sayer (Philippe Leroy) setelah mengutarakan pendapatnya tentang sterilisasi untuk pria. Dr. Sayer, adalah apa yang sekarang kita sebut sebagai laki-laki “incel” (involuntary celibate). Yang terjadi selanjutnya adalah fantasi BDSM di mana Dr. Sayer menculik Maria dan memenjarakannya di rumahnya yang sangat – amat mencerminkan gaya MOD tahun 1960-an, lengkap dengan cermin dua arah dan beberapa peralatan olahraga dan furniture surreal dan aneh. 

Tiga puluh menit pertama mungkin membodohi penonton dengan berpikir bahwa ini adalah film tentang fantasi kasar laki-laki mendominasi perempuan seperti kebanyakan film eksploitasi lainnya; dan mendengarkan ocehan misoginis Dr. Sayer yang berapi-api tentang kekejaman wanita kepada pria bisa juga melelahkan. Tapi kemudian Dr. Sayer masuk ke dalam monolog kerentanan yang sempurna: dia belum pernah membunuh siapa pun sebelumnya (foto-foto korbannya, kita mengetahui sekarang bahwa ini semua hanya rekayasa) dan dia takut pada wanita, kejantanannya hanyalah sebuah kebohongan dan dia bersikap kejam untuk berpura-pura seperti dia memegang kendali.

Sejak saat itu, kita disuguhi beberapa adegan Maria dan Dr Sayer yang hingga saat ini berada dalam hubungan yang sangat bermusuhan, tiba-tiba mulai menggoda, banyak bercanda dan akrab. Seperti yang diduga, di bawah bimbingan dan kelembutan seorang “wanita baik” yang secara sepenuhnya dibawah dominasinya, Dr. Sayer jatuh cinta dan tiba-tiba melupakan prinsip “incel” dan misoginisnya. 

Pastinya, penonton akan menunggu babak terakhir karena seindah-indahnya adegan mereka bermesraan, kami tahu semua ini adalah prostetik belaka untuk Maria (dan bahkan bagi saya. Saya pikir, jika akhir dari film ini menyuguhkan kebahagiaan antara seorang wanita dan penyiksanya, hal itu akan meninggalkan rasa tidak enak di mulut saya). Balas dendamnya pada Dr.Sayer adalah tindakan dominasi feminis berstrategi, fondasinya sudah ada sejak awal. Gagasan bahwa “looks can be deceiving” dan bahaya datang dalam kemasan yang indah. Masuk akal bagi Maria untuk membunuh Sayer sebagai momen balas dendam yang berkatarsis dan sebagai alegori terhadap fakta bahwa perempuan benar-benar memiliki kekuasaan yang besar atas laki-laki, karena ternyata ini sudah menjadi rencana Maria dari awal ia masuk ke ruangan Dr. Sayer di 10 menit pertama. 

Saya mau percaya alasan mengapa Maria jauh lebih kejam dalam balas dendamnya adalah karena dia harus menjalani seluruh hidupnya dengan dianiaya oleh pria seperti Dr. Sayer yang tidak mau bertobat (atau jika mereka bertobat, itu hanya terjadi setelah mereka menyakitinya), namun hal ini tidak pernah dijelaskan, kami hanya diperlihatkan album foto Maria yang penuh dengan korban-korban sebelumnya.

Film ini mungkin bisa dibilang bertele-tele seperti kebanyakan film Italia di tahun 1960an, namun sebagai penonton kita akan disuguhi sinematografi yang luar biasa indah dan komposisi adegan yang surreal. Akting dari kedua pemeran utama juga sangat baik dengan Phiippe Leroy yang memerankan Dr. Sayer dengan kekakuan yang disturbing dan mukanya yang aneh. 

  • The Woman Unbelieved: The Entity (1982), Sydney J. Furie

Pada tahun 1970-an, kekerasan seksual menjadi fokus utama aktivisme feminis gelombang kedua dan, ketika sensor film melemah, pemerkosaan juga menjadi naratif yang sering terjadi di sinema, namun seringkali digambarkan dalam bentuk yang sangat misoginis (misalnya dalam genre eksploitasi, slasher, pink films, dan rape revenge).

Namun, beberapa film merefleksikannya dengan perspektif baru yang lebih menghormati prinsip feminisme mengenai kekerasan seksual. The Entity (1982) karya Sidney J. Furie adalah contoh bagus film horor yang mengangkat tema ini dengan empati. Menggunakan premis horor tentang seorang wanita yang berulang kali diperkosa oleh penyerang yang tidak terlihat alias makhluk halus sebagai metafora yang kuat untuk apa yang oleh disebut sebagai ‘rape culture’. Film ini juga sepertinya berdasarkan cerita nyata yang dijadikan buku dengan judul yang sama oleh Frank DeFelitta, saya tidak tahu apakah hal ini benar atau sebuah analogi semata yang umum di kehidupan nyata.

Meskipun The Entity tampak seperti film B di permukaan, sebenarnya ini adalah eksplorasi kompleks dari berbagai macam penghinaan, keraguan, dan rasa malu yang ditimpakan pada para penyintas kekerasan seksual. Film ini mengkaji bagaimana struktur kekuasaan patriarki berusaha untuk mengabaikan perempuan dengan kedok kedokteran, sains, dan akademisi, serta menyoroti cara-cara tidak konvensional yang dilakukan perempuan untuk mendapatkan kembali kendali dan kekuasaan setelah serangan seksual.

Protagonis The Entity adalah Carla Moran (Barbara Hershey), seorang wanita yang mengalami serangkaian serangan, banyak kali bersifat seksual, oleh sesuatu yang tampak seperti hantu. Setelah gagal meyakinkan psikiater Phil Sneiderman (Ron Silver) bahwa pelaku kekerasan itu nyata, dan bahkan takut memberi tahu pacarnya karena kecemasan akan ditinggalkan akibat “kegilaannya”, Carla meminta bantuan tim parapsikolog yang membuat reproduksi rumah Carla di dalam gym universitas untuk menjebak entitas tersebut. Entitas tersebut melarikan diri, dan ketika Carla kembali ke rumahnya, dia mendengar suara laki-laki mengejeknya, mengatakan kalimat yang sekarang menjadi legendaris : “welcome home, cunt”. 

Kesadaran Carla bahwa dia tidak dapat mengharapkan dukungan konstruktif baik dari komunitas psikiatris atau parapsikologis yang bersaing untuk menyelamatkannya, memotivasi keputusannya untuk meninggalkan lokasi pelecehannya yakni kota itu. Keputusan ini mencerminkan ambiguitas dan ketegangan yang belum terselesaikan di sepanjang film, sehingga meninggalkan cliffhanger di akhir film. Teks penutup yang menyatakan bahwa Carla Moran yang asli terus mengalami serangan, meskipun lebih jarang, menggarisbawahi tema film tersebut tentang trauma yang belum terselesaikan dan sifat patriarki yang terus-menerus.

Film ini menarik simpati kita terhadap protagonisnya dalam perjuangannya melawan pemerkosa tak kasat mata dan lembaga medis, teman-teman dan orang-orang sekitarnya yang menyangkal kebenaran pengalamannya. Adegan pelecehan seksual difilmkan dengan cara yang meresahkan dan tidak dalam sudut pandang “male gaze”, sehingga menciptakan pengalaman menonton film yang benar-benar mengerikan dan menakutkan.

The Entity dengan cerdas menggunakan poltergeist sebagai pemangsa seksual untuk mengeksplorasi cara kami memperlakukan penyintas kekerasan seksual. Hampir empat dekade kemudian, film ini masih menjadi cerminan yang kuat terhadap budaya pemerkosaan dan cara masyarakat mengabaikan serta mencemooh perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual.

  • The Woman Caged: In My Skin / Dans Ma Peau (2002), Marina De Van

Dans Ma Peau (In My Skin) karya Marina de Van dari era film New French Extremity, menyajikan penggambaran horor yang realistis. Film ini mengikuti Esther (diperankan oleh Marina de Van sendiri) yang merupakan seorang pekerja marketing, dan setelah kakinya terluka di sebuah pesta, ia jadi terobsesi dengan lukanya dan mulai melukai diri sendiri. Saat Esther tertelan oleh penderitaannya, dia secara bersamaan terputus dari tubuhnya dan menjadi lebih selaras dengan pikirannya. Dia mulai menjauhkan diri dari teman-temannya dan orang-orang sekitarnya, akhirnya tinggal di hotel sendirian di mana dia terus mengupas dan memotong dagingnya. 

Hubungan antar karakter-karakter dalam Dans Ma Peau sangat penting, terutama hubungan Esther dengan pasangannya, Vincent (Laurent Lucas) dan ketidakmampuannya untuk mendukung Esther dan kecenderungannya untuk membuat penyakit Esther tentang dirinya sendiri. Menyoroti kegagalan masyarakat yang umum dalam memahami dan membantu mereka yang berurusan dengan tindakan self harm. 

Peningkatan tindakan mutilasi diri yang dilakukan Esther mencerminkan perjuangannya untuk menemukan kedamaian dalam dirinya dan menjadi pengingat bahwa ekspektasi masyarakat terhadap perempuan dan tubuh mereka selalu bermasalah dan problematik. Adegan melukai diri sendiri dalam film ini pun menimbulkan rasa tidak nyaman pada penonton, namun menurut saya hal ini tidak digambarkan secara crass atau eksploitatif. Sebaliknya, mereka memperlihatkan kedalaman emosional dan kelembutan dalam setiap irisan.

Sepanjang film, Esther menjadi lebih sadar akan dirinya sendiri; rasa kurang percaya dirinya menghilang, dia mengatakan dan melakukan apa yang dia inginkan, dan dia menjadi lebih percaya diri dalam segala hal yang dia lakukan – sesuatu yang sulit diterima oleh semua orang di sekitarnya. Meskipun dia diam-diam melakukan self harm dengan memotong dagingnya sendiri, membuang potongan-potongannya dan bahkan menyimpannya sebagai kenang-kenangan, Esther menjadi sadar dan perlahan-lahan berdamai dengan dirinya.

Film tersebut menunjukkan bahwa bentuk fisik Esther telah menghalangi jati dirinya. Ia menyadari bahwa dirinya adalah perempuan yang terkurung dalam dagingnya sendiri, tidak mampu melepaskan diri dari anggapan masyarakat yang menganggap dirinya hanya sebagai fisik perempuan. 

Dalam konferensi pers film ini, Marina berkata “It is through my body that I am in the world, if I am no longer my body, what am I? Where does this desire come from, to want to see what the body is, and if I am ‘inside’?”

Di permukaan, Dans Ma Peau mungkin tampak seperti film eksploitatif yang dimaksudkan untuk memunculkan shock factor yang besar, namun film ini menggali lebih dalam tentang bagaimana satu peristiwa biasa dapat mengubah hidup seseorang selamanya, untuk lebih baik maupun lebih buruk; dan menganalogikan self-mutilation sebagai suatu bentuk self-discovery dan anarki.

Teks oleh: Ula Zuhra

Tagged

#film #consumed magazine #spectacle