X

TRACK TALK: Xin Lie – Xin Lie (Album, 2024)

by webadmin / 1 month ago / 216 Views / 0 Comments /

Ini bukan musik, ini ritual voodoo Jawa Barat yang dilempar ke rave bawah tanah. Ini bukan album, melainkan serangan frontal pada kewarasan.


Unsur kawin silang senggama anak haram dari bebunyian tradisional dan modern kian merebak dan menjadi eksperimentasi yang eksentrik. Saya sudah banyak menemui di berbagai jenis musik yang melebur unsur kearifan lokal dengan berbagai musik masa kini. Kali ini giliran pengoplos dengan moniker Xin Lie yang merupakan akronim dari Sindang Laya, di mana sang peramu album ini besar dan tumbuh. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Di mana MDMA ditenggak, di situ motorik merespon sonik secara ugal. MDMA. Mekanik Dogdog Mangrupa Atonal.

Saya menyebut album ini penuh dengan unsur tribal namun mekanikal. EDM semi hardcore grasak-grusuk penuh ketukan janggal dengan dogdog yang kerap dipakai dan menjadi instrumen andalan di Seni Reak tradisional khas Jawa Barat. Kuda lumping yang terinjeksi bius kuda. Di album penuh ini terasa lebih padat ketimbang EP sebelumnya yang bertajuk Karangpawitan. Xin Lie yang merupakan DJ sekaligus produser yang berangkat dari scene punk lokal adalah kepribadian lain dari sosoknya yang dikenal dengan sonik gedebag-gedebug-nya.

Dibuka oleh “Dawuh” dengan atmosferik dan terasa lambat, ada sisi industrial ala Reznor yang lalu menjadi ritme penggerak sensor motorik sekaligus memaksa raga sukma ke Pura Parahyangan Agung Jagatkarta dan melakukan moksa. Di alam lain pasca-klona potekan akibat miskinnya kuncian yang semakin menipis, entah itu di mana. Saya pun tak peduli dan hanya mengikuti refleks isi kepala yang menekan tuts keyboard secara impulsif, menuju ketiadaan di akhir trek “Ngalengkah”. Ya, ikuti alur, jangan ditentang. Rasakan. Perlahan tumbuh di “Tumuwuh”, merekah harapan dan pencerahan akibat beat tempo sedang dan dibawa kembali menuju hutan di jagat Parahyangan “Nyengeut Laut”.

Xin Lie – Xin Lie (2024)

Entah apa yang terjadi, isi kepala mulai terasa kaotik ketika disonan ritmik secara tak sopan memaksa untuk berlabuh dalam kondisi skizofrenik ugal-ugalan. Anjing, saya perlu poppers. Rush tak apa. Jack Ass akan lebih baik. Lalu dibanting hanyut mengikuti ritme di menit-menit akhir. Tak sadar kaki refleks melancarkan gerakan ngobras mesin jahit tanpa permisi layaknya penderita ADHD, kesadaran berada di titik nol. Ini kuda lumping kebablasan keta, nu dipiceun diteangan eweuh. Buang tapi tak ada. Buang realitas. Khidmat. Oprekan dogdog ultra-sinting. Tak usah cari jalan pulang. Sebuah lansekap baru fusi musik tribal yang menjadi kanibal karena melahap musik modern dan menyatu menjadi transendental.

Konflik Majapahit yang diolok-olok Pajajaran. Miskin substansi, ya miskin sekalian! Potek alprakaliptik. Kecemasan melanda dan banjir bandang. Saya merasa diolok-olok dengan pengalaman transenden penuh euforia layaknya euforis terlumat di bawah lidah dan lebur bersama liur. Tanpa pendorong. Mentos ukuran mikro. Ansietas kerap muncul di “Limpeur” dan “Mireung Leuweung” yang merupakan penunjang paripurna perjalanan psikedelia dengan durasi delapan menit. Sial, kapan ini akan berakhir? Sialnya lagi, saya menikmatinya. Tribalisme dibalut futuristik. Persetan Sepultura. Bayangkan mesin waktu yang tak bisa dikendalikan ke mana tujuannya? Terombang-ambing ke masa lalu dan masa depan secara acak. Bertemu Sang Hyang. Disorientasi. Mual. Muntah. Psikosis. Apakah ini nyata? Entahlah, siapa peduli? Bajingan.

Nomor penutup “Parat” menjadi penentu jalan lain yang saya pilih untuk berubah haluan. Downtempo pereda kaotik. Pregableton. Namun, kapsul merah putih saya rasa tak cocok, karena di akhir kita menuju void kekosongan tanpa juntrungan layaknya Prabu Siliwangi yang entah moksa atau entah ke mana dan biarkan jadi misteri. Sekali lagi, tak usah cari jalan pulang, bangsat!

Teks oleh: Dimas Dritt

*Xin Lie S/T hanya dimuat dalam bentuk fisik berupa CD dan kaset. Cek stoknya dengan klik link di sini.