X

Mengurai Perbedaan Ikonis antara Dracula dan Nosferatu

by webadmin / 1 week ago / 96 Views / 0 Comments /

Menilik perbedaan Dracula dan Nosferatu sambil menunggu rilisnya remake terbaru Nosferatu yang akan tayang di Indonesia Februari mendatang.


Film horor telah lama menjadi medium yang menarik untuk mengeksplorasi ketakutan manusia, mulai dari yang bersifat pribadi hingga kolektif. Dalam ranah vampirisme, Dracula dan Nosferatu berdiri sebagai dua ikon dengan daya tarik yang berbeda. Keduanya tidak hanya berfungsi sebagai karya hiburan, tetapi juga cerminan budaya dan estetika dari era masing-masing. Dengan rilisnya remake Nosferatu oleh Robert Eggers yang sangat dinantikan, ini mungkin saat yang tepat untuk mengeksplorasi apa yang membedakan dua ikon ini.

Dracula lahir dari novel Bram Stoker yang diterbitkan pada tahun 1897, sebuah karya sastra gothic yang menangkap kecemasan sosial dan moral masyarakat Inggris akhir abad ke-19. Dracula digambarkan sebagai vampir aristokrat yang berasal dari Transylvania, membawa simbolisme “the other” yang mengancam moralitas dan tatanan masyarakat Eropa Barat. Dalam konteks ini, Dracula lebih dari sekadar cerita horor tetapi ia adalah alegori dari ketakutan terhadap imigrasi, reverse colonialism–ketakutan masyarakat negara penjajah terhadap “serangan balik” dari negara bekas jajahan, berupa pengaruh budaya, migrasi atau dominasi sosial yang dianggap mengancam identitas dan tatanan mereka, dan perubahan sosial akibat modernisasi. 

Dalam film adaptasi klasik, seperti dalam Bram Stoker’s Dracula (1992) karya Francis Ford Coppola, elemen romantis ditambahkan, menyoroti kompleksitas emosional Dracula sebagai makhluk abadi yang terjebak dalam cinta dan tragedi. Di sini, Dracula menjadi refleksi dari ketakutan yang lebih modern dan psikologis: pengaruhnya halus dan lembut namun menghancurkan dari kekuatan yang tidak terlihat, baik itu kekuasaan politik, dominasi sosial, atau bahkan seksualitas yang melampaui norma.

Prince Vlad a.k.a Count Dracula di film Bram Stoker’s Dracula (1992) karya Francis Ford Coppola

Dalam film-film Dracula, sinematografi digunakan untuk menciptakan suasana elegan dan sensual. Pencahayaan lembut sering kali menonjolkan wajah Dracula, menciptakan aura misteri dan daya tarik yang menggoda. Dalam Bram Stoker’s Dracula, penggunaan warna merah dan emas menambah kesan romantis sekaligus tragis, memberikan kedalaman emosional pada karakter vampir. Dracula hadir sebagai horor yang smooth, yang bekerja lebih pada ranah psikologis daripada visual.

Sebaliknya, Nosferatu (1922) adalah silent film Jerman yang diproduksi oleh sutradara F.W. Murnau. Film ini merupakan adaptasi tak resmi dari novel Dracula, namun mengubah nama dan detail cerita karena konflik hak cipta. Alih-alih menjadi representasi aristokrat yang elegan, vampir dalam Nosferatu, Graf Orlok, adalah figur unusual yang lebih menyerupai monster daripada manusia. Karakter ini dirancang untuk mencerminkan ketakutan yang lebih universal dan primitif, khususnya trauma kolektif yang melanda Eropa pasca Perang Dunia I.

Buat para penonton Spongebob, pasti tak asing dengan scene ini, tahukah kamu kalau ini adalah Graf Orlok yang jadi ikon dalam film Nosferatu?

Graf Orlok dalam Nosferatu adalah sosok vampir yang sepenuhnya mengandalkan naluri predator. la tidak memiliki daya tarik atau kecerdasan sosial seperti Dracula. Desain fisiknya yang menyeramkan–kepala botak, telinga runcing, gigi mencuat, dan jari-jemari seperti cakar–membuatnya lebih menyerupai bencana alam daripada makhluk hidup. Graf Orlok adalah representasi dari ketakutan yang paling primal: kehancuran yang tidak dapat dihindari, seperti wabah atau kematian. la tidak menggoda, melainkan memaksakan rasa takut dengan kehadirannya yang secara fisik tidak enak dipandang dan menyeramkan. Dalam konteks budaya Jerman pasca-Perang Dunia I, Orlok menjadi simbol trauma kolektif akibat perang, kehancuran ekonomi, dan epidemi yang melanda Eropa.

Dalam filmnya, Nosferatu menggunakan bayangan yang dramatis untuk menciptakan atmosfer mencekam. Adegan bayangan Orlok yang merayap di dinding menjadi salah satu scene paling ikonik dalam sejarah film horor, karena mampu menggugah rasa takut tanpa memerlukan dialog atau efek suara.

Sebagai penyuka film, jika boleh membandingkan antara karakter Dracula dan Nosferatu, saya selalu terpesona oleh kompleksitas Dracula. Bagi saya, Dracula menawarkan horor yang cerdas dan penuh lapisan makna. Sosoknya yang karismatik dan manipulatif memunculkan ketakutan yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga emosional dan intelektual. Dalam Bram Stoker’s Dracula misalnya, elemen tragis dan romantis dari karakter Dracula membuatnya tidak hanya menjadi makhluk mengerikan, tetapi juga seseorang yang bisa kita pahami dan memiliki rasa simpati.

Namun, daya tarik Nosferatu tidak dapat disangkal. Film ini, terutama versi orisinal tahun 1922, berhasil menciptakan horor as a horror film dan universal. Tidak ada yang elegan atau menggoda dalam Graf Orlok–ia adalah perwujudan ketakutan manusia terhadap hal-hal yang tidak dapat dikendalikan. 

Dengan remake dari Robert Eggers yang mungkin tayang di Indonesia Februari mendatang, saya merasa Eggers, yang dikenal melalui karya seperti The Witch (2015) dan The Lighthouse (2019), mungkin bisa untuk lebih menggali elemen-elemen psikologis dan visual yang menakutkan. Mengingat gaya khasnya yang memadukan detail historis dan atmosfer sinematik yang intens, jika ia mampu membawa pendekatan yang sama ke Nosferatu, kita bisa berharap pada sebuah reinterpretasi yang tidak hanya menghormati estetika ekspresionis karya orisinal, tapi juga memperluasnya menjadi pengalaman sinematik yang lebih mendalam dan relevan. 

Sembari menulis, saya membayangkan Nosferatu versi Eggers akan menjadi horor yang visceral namun intelektual–menjembatani horor primal dengan eksplorasi yang lebih manusiawi sekaligus kompleks. Mungkin, Nosferatu versi baru ini akan menjadi karya horor yang tidak kalah berpengaruh dibandingkan Dracula. Mari kita lihat.

Teks oleh: Gren Rain

Simak trailer Nosferatu di bawah ini!