X

TRACK TALK: Xandega – IN-FLUX (Swanky Express, 2025)

by webadmin / 2 weeks ago / 180 Views / 0 Comments /

IN-FLUX, suguhan perjalanan elektronik yang personal, memadukan tekstur hangat dan emosi mentah dalam eksplorasi mendalam tentang ketidakpastian dan pencarian jati diri.


Saya masih ingat jelas saat pertama kali mendengar kabar burung bahwa Xandega tengah menyiapkanproyek solo bernuansa elektronik. Seingat saya, kejadiannya hampir dua tahun lalu ketika seorang kerabat diajak terlibat langsung dalam produksi single perdananya. Waktu itu, rasa antusias saya langsung muncul. Sebagai seseorang yang cukup mengikuti perjalanan Xandega sejak era Polka Wars, wajar rasanya jika ekspektasi akan karya baru dari salah satu personelnya muncul out of nowhere. Fast forward dua tahun kemudian, akhirnya album debutnya benar-benar rilis. Sebuah karya berdurasi 34 menit dengan 9 trek elektronik yang merangkum cerita-cerita personal berjudul IN-FLUX, disampaikan dengan sudut pandang cukup terbuka dan menjadi sebuah ruang yang justru mengundang pendengar untuk mengisi celah-celahnya dengan emosi mereka sendiri. 

Nama Xandega Tahajuansya barangkali masih lekat dengan denting atmosferik dan ritme melankolis Polka Wars (band indie rock asal Jakarta yang ia bentuk bersama rekan-rekannya lebih dari satu dekade lalu). Selama bertahun-tahun, ia berdiri sebagai bassist, diam namun vital, memberi pondasi pada setiap emosi yang dibangun bandnya. Tapi di balik peran itu, tersimpan sosok yang terlihat gelisah dan ingin bicara dalam bahasa yang lebih personal. IN‑FLUX muncul jadi jawabannya. Sebuah debut solo yang tak hanya menjadi pergeseran peran, tapi menjelajah ruang untuk berjalan sendiritermasuk pergulatan panjang dengan keraguan, impostor syndrome, dan ketakutan akan kebebasan kreatif. 

Sedikit menjejal ulasan-ulasan lain soal album ini di internet, IN-FLUX merupakan semacam peta emosi yang dilipat dalam tiga bagian yaitu “the dread, “the flux”, dan the thrill”. Setiap bagian mengalir menjadi berbagai fase gejolak internal, dimulai dari kecemasan dan keraguan yang menyergap diam-diam, menuju pusaran ketidakpastian yang membuat gelisah, hingga akhirnya memuncak pada ledakan euforia dan pelepasan. Pembagian album menjadi tiga fase ini terasa intuitif, seperti mengikuti proses internal seseorang yang sedang menyusun ulang pemahamannya tentang diri sendiri. Tema besar seperti kehilangan, pergeseran identitas, dan pencarian koneksi emosional digubah secara alamiah, disertai lirik-lirik tersirat dan produksi yang terasa seperti ruang liminal, tidak pernah betul-betul gelap, tapi juga tak sepenuhnya terang.

Xandega – IN-FLUX

Secara sonik, menurut saya IN‑FLUX merupakan lanskap yang hangat namun tak sepenuhnya nyaman, sebuah pelintasan antara electronic pop, alternative R&B, dan dibungkus dengan ambient yang menghanyutkan. Banyak trek terasa seperti lorong-lorong sempit yang sesekali terbuka menjadi ruangan luas, dipenuhi tekstur sintetis yang berlapis namun tetap memberi ruang juga untuk kita bernafas. Yang paling mencolok justru kehadiran elemen lokal seperti suara kendang dangdut dan tiupan suling muncul seakan gema dari akar budaya yang tidak sedang dimodernisasi, melainkan disisipkan secara halus. Hasilnya adalah sesuatu yang akrab sekaligus asing, musik yang dengan centil bergerak di antara batas-batas genre.

Di antara sembilan trek yang membentuk IN‑FLUX, beberapa lagu muncul sebagai poros emosional sekaligus sonik dari keseluruhan album. “TEARS IN THE CRACKS” menjadi contoh paling jelas, sebuah anthem melankolis untuk lantai dansa yang gelap, di mana beat 4/4 bertemu dengan lapisan synth yang terdengar putus asa. Sementara itu, “ARMOR PIERCER” yang dibuat bersama J. Alfredo dan Deathless Ramz membuka ruang yang lebih gelap dan konfrontatif, dengan beat yang lebih agresif, dan juga tekstur distorted-nya. Lagu ini terasa seperti keretakan emosional yang disengaja, dan Xandega tak takut membiarkan pecahannya berbicara.

Lagu lain seperti “REPLAY (feat. Noni)” dan “I’LL BE YOUR PAIN” juga pantas mendapat sorotan apalagi karena keduanya memperlihatkan kepekaan pop Xandega yang secara gamblang terasa kedalaman fokus produksinya. “REPLAY” terasa seperti slow-burn R&B dengan bantuan Noni yang notabene salah satu soloist gandrungan masa kini. Di sisi lain, “I’LL BE YOUR PAIN” terasa seperti pengakuan yang menyakitkan, dengan nada-nada minor yang menggantung seperti beban yang tertahan. Saya pribadi merasa trek-trek ini merupakan titik di mana narasi emosional album mencapai puncaknya.

Keseluruhan produksi dari album IN‑FLUX merupakan hasil kolaborasi yang cermat antara Xandega dengan sejumlah produser berbakat yaitu BF-131131525, Will Mara, Rimaldi, Pandu Rachmat, MAGIS, serta Deathless Ramz. Setiap produser membawa warna dan tekstur uniknya serta tetap menjaga benang merah estetika yang konsisten di seluruh album. Kualitas mixing dan mastering-nya juga menghadirkan tekstur elektronik yang hangat dan kaya, bassline yang mengayun halus, synth yang berlapis, serta ritme yang dinamis, bergerak mulus dari mood introspektif ke puncak euforia. Kolaborasi vokal juga memperkaya album, dengan Noni dan Whiteskkeleton yang menambahkan dimensi berbeda pada beberapa trek, memperkuat tema keintiman album ini. Menandakan perhatian terhadap detail dan kesadaran sonik yang kuat, melancarkan aliran emosi yang deras terjun bercabang–namun tetap murni.

Dengan IN‑FLUX, Xandega berhasil membuka babak baru dalam karirnya. Tapakan kaki pertamanya ditandai dengan dua kata–”jujur” dan “berani”.  Tetap lezat untuk dinikmati mengurung diri atau diperdengarkan di klub-klub malam. Pada akhirnya, album ini bertanya apakah kita siap menari dalam ketidakpastian? Jika jawabannya iya, maka pastikan IN‑FLUX yang mengiringi.

Teks: Freykarensa

Dengarkan IN-FLUX di sini!