X

Dari Warung Melawan ke Warzone: Italian Bed, Hardcore Punk Aspal dan Trotoar

by webadmin / 3 weeks ago / 557 Views / 0 Comments /

Kiblat DIY band terkini yang berhasil menjelajah Jawa hingga Asia Tenggara meski baru seumur jagung, inilah Italian Bed!


Mereka membaptis diri dengan nama Italian Bed, nama yang terdengar seperti merk ranjang palsu di hostel murah meriah, tempat seprai bau iler dan neon remang yang menggoda para insomniak untuk mabuk dan memeluk guling dengan sarung AC Milan. Tapi ini bukan sekadar band dari Jogjakarta yang sok bising demi atensi semata. Karavan berisi berandalan nekat, rombongan orang-orang setengah waras yang menjelajah Jawa, Bali, Lombok, sampai ke gang-gang lembap Kuala Lumpur dan gorong-gorong di Singapura, sambil menebar teror seperti selebaran manifesto propaganda.

Di sebuah tempat makan yang bisa dibilang favorit bocah-bocah ini, Warung Melawan, saya meracau bersama grup yang dimotori oleh Maulana alias Moo (vokal), Uyo (gitar), Jo (gitar), Primbon (bass) dan Afrido (drum). Mereka adalah entitas lain dari para member SPAD, DOGBUS, Milhouse dan segudang proyek lainnya. 

“Jadi, awalnya kita punya kolektif bernama U.P. atau Unpotentional Project. Kita sering bikin gigs, nah Moo aktif juga di situ,” Uyo mengawali.

“Nah, kalo aku pribadi band-band-an tuh nggak terlalu harus perfeksionis, aku suka speech dan style vokal dia yang kaya orang ngomong biasa aja. Enak didenger. IB itu merepresentasi kejenuhan kita semua dengan style vokal dia yang kayak anak kecil sedang meracau,” sambar Afrido.

“Aku sama Uyo suka ngulik-ngulik Bandcamp. Saat itu ada rilisan dari label UNLAWFUL ASSEMBLY asal Milwaukee, ada satu album dari rosternya bernama Innuendo. Tapi setelah bikin ternyata nggak dapet, akhirnya nyari-nyari referensi lain dan jatuh ke 86 Mentality, band D.C. Gitu sih. Lalu balik lagi seperti kata Uyo, kita punya kolektif dan orang yang terlibat punya beberapa band. Akhirnya banyak band baru yang bermunculan dari lingkaran tersebut dan switch member,” tambahnya.

Beberapa member pun tak semua saling kenal dari awal. Afrido lah sang inisiator yang menyatukan gerombolan berandalan ini. Bukan karena kebosanan dari proyek dan band-band mereka sebelumnya. Jika harus serius, terinisiasi atas nama eksplorasi. Tak sebatas itu, ada faktor dari kredo senang-senang, kegilaan dan hura-hura.

Saya bertanya kepada Prima karena melihat betapa aktifnya dua grup yang ia pacu mesinnya. Seakan tak kehabisan bensin, hingga cukup untuk disedot satu botol kecap untuk menjadi bahan molotov yang dilempar ke kumpulan polisi saat demonstrasi tempo hari. Satu hal yang saya suka ketika ia melempar jawaban tegas tanpa pikir panjang dari sebuah pertanyaan hal apa dari Italian Bed yang tak terlalu didapatkan di Milhouse?

DIY. Jelas. Kemiskinan,” sambil senyum satir, sinis, namun ada sebuah kebanggan yang terpancar. Ya, kami semua tertawa sambil meratapi betapa sialnya hidup di negara yang hampir bubar.

Tak bisa dipungkiri beberapa musisi ada yang tak suka pada materi yang mereka buat. Dari Nirvana hingga Guns N’ Roses, Warrant sampai Zeppelin. Mereka pun memiliki pilihannya sendiri. Afrido menjawab “Absurd Limitations”. Sedangkan Primbon menyebut “The Brown Chair” yang diamini pula oleh Moo, padahal beberapa personil lain menyebut itu adalah masterpiece.

“Nggak tau, nggak suka aja aku sama musiknya,” Primbon menentang masterpiece buatan bandnya sendiri tersebut.

“Karena liriknya aneh. Aku nggak suka riff-nya, aku yang buat tapi aku nggak suka. Padahal ‘Brown Chair’ itu bisa jadi doa, jahat tuh lagu itu,” dengan senyumnya, Moo menjelaskan tapi seakan ada yang disembunyikan lalu diikuti dengan afirmasi dari semua personil.

“Nggak ada yang tahu dia tuh nulis apa,” ujar Primbon dengan gestur menunjuk-nunjuk ke arah meja.

Ya, hal menarik disini penulisan lirik Moo yang absurd dan tak biasa. Hanya bermodal keresahan dan banyak terpengaruh dari kartun-kartun Amerika dan analogi-analogi aneh yang hanya ia mengerti. Ketika dilempar ide, Moo merespon intepretasi hal tersebut dengan penulisan yang unik. Di album selanjutnya mereka pun ingin eksplorasi dengan Bahasa Indonesia. Patut ditunggu.

“Ya, kami suka penulisan lirik Milisi Kecoa,” Uyo menegaskan.

Tur, bagi mereka, bukan cuma pundah-pindah manggung, ini ziarah tapak tilas bengal dengan amplifier sebagai mimbar dengan kendaraan bobrok sebagai rumah ibadah berjalan dengan kebul bensin dan dosa. Tanpa pahala. Eskapisme dari semua kemuakan yang kita tertawakan barusan. Italian Bed tak datang untuk memanjakan telinga seperti FSTVLTS dan rockstar sejawat dari mana mereka berasal. Mereka datang untuk menjadikan muka kita sebagai target mendaratnya sepatu boots tempur kumal, membongkar sial serta muramnya hidup dengan gebukan snare dan racau nyanyian yang menyalak bak anjing gila kesurupan di tengah malam iklim tropis.

Delapan belas titik digilas habis (yang seharusnya dua puluh sekian) tahun lalu. Hal yang sangat jarang diamalkan, apalagi dengan kompatriot seangkatan yang baru seumur jagung. Terserah jika terdengar snob atau apapun. Saya tak peduli, bangsat! Ini layak disebut sebuah tur yang sah, bukan hanya titik dengan jumlah secuil yang bisa dihitung jari. Afrido pulang kampung ke Lombok. Sisanya jejaring dari beberapa band di berbagai kota. Dengan berbagai kesibukan masing-masing di luar IB dan kenekatan melakukan tur selama empat bulan, mereka hanya mengandalkan dana dari penjualan merchandise. Lucky bastards. Spirit DIY dibuntuti keberuntungan yang selalu berpihak dan mereka mengamini itu.

“Ya, itu full didanai oleh penjualan. Kita juga bingung, kok bisa ya? Ada aja rezeki. Kita juga kaget dan ternyata hal itu benar-benar bisa dari situ,” Uyo tak menyangka.

“Bisa makan enak terus kita,” Moo berkelakar.

Jika berbicara perihal tur kemarin, mereka bercerita keseruan di berbagai kota, masing-masing punya favoritnya sendiri.

“Kalau aku Magelang. Seru karena banyak kawan-kawan dan waktu itu sempat keracunan karena terlalu mabuk, ditambah banyak yang sing along,” kata Moo.

“Malang aku, Embrace The Fear ke berapa gitu, lupa. Tempatnya kecil, rapat, semua orang nonton, minumannya enak-enak. Malang sama Blitar sih aku. Seru aja vibes-nya,” sambung Primbon.

“Aku Lombok sih. Anak-anak East Warrior yang bikin gig. Nggak cuma karena show-nya, tapi suasananya enak. Terus kita di sana makan ikan bakar yang enak dan murah. Cuma berapa ya? Sepuluh ribu kalau nggak salah,” kenang Uyo.

“Sepuluh ribu dapet dua itu, bray. Kacau sih itu enak baget,” sambar Moo.

“Aku agak banyak sih. Ada di Salatiga kita sempet main sama Dosed Youth, karena musiknya aku suka banget. Lalu, Jakarta karena kita dibantu sama Bang Yul (Crime84) dan kawan-kawan, sama Lombok sih. Sekalian pulang kampung ke kampung halaman,” papar Afrido.

Saat ini pun mereka sedang menggilas aspal tur Asia Tenggara dalam Violation of Usage Policies Tour ‘25. Tak main-main, kali ini delapan titik disambangi. Dimulai di Bandung beberapa waktu lalu dan ditutup di beberapa titik tanah Andalas. Sebagai kick-off, hal itu pun membekas di masing-masing individu.

“Crust Invasion kemarin termasuk best show sih. Apalagi itu Kontrasosial juga main dengan format utama. Hampir lengkap. Itu salah satu pengalaman kami paling memorable,” Afrido terlihat kehabisan kata yang juga terpancar di kawan-kawan lain.

“Itu tuh kayak hajatan punk nusantara,” Primbon berkelakar.

“Iya, itu lebarannya anjal,” balas saya sambil tertawa.

“Nah, pas di Bandung itu kami juga ketemu beberapa kawan yang kita ketemu pas tur kemarin. Kayak dari Makassar, Jakarta, Kediri…dari mana-mana lah. Pada ada di situ!” kata Moo dengan penuh antusias.

“Kalau yang sekarang kenapa milih tur Southeast, soalnya di Kuala Lumpur nanti itu awalnya karena seorang kawan yang juga nge-hosting Milhouse pas tur SEA kemarin sempet nonton si IB. Lalu, tertarik buat ngajak main di sana. Sama juga kayak nanti di Singapura gara-gara si Milhouse dulu pernah tur duluan ke sana,” Prima menjelaskan sebagai inisiator tur ini.

Ya, semua bisa terjadi. Kun faya con dio. Dari antah berantah dan baru seumur jagung bukan kemustahilan untuk menjalani ibadah tur panjang layaknya terikat hukum fardhu ain bagi Italian Bed. Ditambah dengan spirit DIY level mentok, tak segan untuk berjejaring, mencari pendanaan secara mandiri menjadi modal yang mungkin bisa ditiru oleh siapapun!

Teks dan interview: Dimas Dritt