X

TRACK TALK: Prejudize – Echoes of Life (Album, Husted Records)

by webadmin / 4 months ago / 354 Views / 0 Comments /

Album debut yang mengukuhkan karakter Prejudize setelah sekian lama angin-anginan; berjiwa metal dan doyan bereksperimen. 


Satu hal yang ada di kepala saya jika bicara Prejudize adalah band hardcore yang haus eksplorasi. Di satu sisi ini jadi hal yang bagus untuk memberikan penyegaran di lini hardcore sekaligus membuka khasanah lebih luas lagi, namun di beberapa waktu juga cukup membuatnya terasa angin-anginan; terus kasih pendekatan yang kepalang nyebrang dan liar antar satu dengan yang lainnya. 

Setelah ceceran single mereka diperlakukan demikian, tentunya album penuh juga tak lepas dari kebiasaan mereka campur-campur elemen musik, namun buat ukuran album, rasanya mereka perlu memikirkan lebih soal jenis dan dosis eksplorasi yang ingin disuntikan pada komposisi albumnya. Syukurnya, di bawah kontrol Kevin Raf (Bleach) yang berperan sebagai produser, mereka mampu meredam sakaw eksplorasinya pada batasan yang tepat. 

Secara keseluruhan, Echoes Of Life memang berpotensi menimbulkan impresi yang unik buat pendengar, mulai dari influens metal yang terasa lebih dominan, selipan musik elektronik yang liar, hingga beat-beat groovy jadi pilar kokoh pembangun album. Sisanya susunan trek akan menyuguhkan indera pendengaran pada pengalaman lain dalam mengkonsumsi rilisan hardcore, terutama lokal.

Ketika menyimak nomor ke nomor, mereka seakan tak habis-habis memberikan suasana yang mencekam, memantik energi negatif untuk meluap deras di lautan moshpit, tentunya masalah tertib atau tidaknya tak dapat diprediksi. Kontribusi sang penggambreng enam senar Alfi Fisrifan yang juga sempat memenuhi line up unit hardcore/metal sekota Ametis serta gabungnya penghuni unit serupa bernama Rounder, Razaq Caesar adalah alasan berikutnya mengapa riffs yang tercipta condong metal. 

Ketika mereka mengklaim kalau metal adalah influens dominan dari album ini, saya rasa mereka tak hanya bicara soal Obituary dan dedengkot death metal lain, melainkan serta-merta galaksinya. Saya tak tahu ini akurat atau tidak, sedikitnya ada nyanyian ala heavy metal ksatria-ksatriaan di nomor “Blessed” bersama Shafa Ashfihani (Devil Despize, Enamore), selain itu, ada juga arwah Motörhead yang ikut dipanggil di nomor featuring-an Arian Arifin (Seringai), “Against My Self”. 

Mereka juga memeluk anak haram semacam nu-metal sebagai influens yang cukup kentara terasa dari segi musikal di album ini. Bisikan lirih ala-ala yang merasuki Arga Infantria di beberapa lagu seperti “Crime Ridden Society” juga “Not Break” adalah contoh kalau Korn dan Coal Chamber punya porsi dalam Echoes of Life. 

Belum lagi, di balik garang dan ganasnya gilingan hardcore/metal intens, di selang-selang nomor, pendengar akan dilempar ke rave party liar yang mengharuskannya mengalihkan kaki dan tangannya dari violence dancing menuju goyangan tak teratur ala pemburu pesta yang setengah sadar bergerak di lantai dansa berukuran tak lebih dari 3×3. Meski entah semua pendengar mereka doyan musik elektronik dan berharap akan jatuh ke lubang tersebut atau tidak, hal itu jadi urusan belakangan, yang mereka kedepankan adalah ego untuk keluar dari batasan-batasan hardcore tak kasat mata. 

Sejauh ini, muatan Echoes Of Life adalah  produk hardcore mentok dan mutakhir dari Prejudize sebagai pemberdayanya, baik muatan full band maupun elektroniknya, terlebih misi mereka untuk membawa hardcore pada tingkatan eksperimental pun bisa dibilang layak dapat perhatian. Namun album segarang dan segagah ini tentunya masih tak luput dari beberapa kekurangan. 

Ini mungkin bias karena saya berekspektasi lebih terhadap Prejudize di balik galaknya materi-materi mereka. Konon, tematik lirik yang memang sengaja dibuat kabur sebagai wadah kelima personel menuangkan pengalaman apapun di hidup mereka dalam beberapa waktu terakhir ditulis tanpa konteks yang jelas. 

Bayangannya, dengan garangnya materi yang dihadirkan, liriknya seakan tak memberikan musiknya keadilan. Secara garis besar mungkin bensinnya adalah amarah, namun naik pitam pada apa? Siapa? Dan kenapa? Hanya mereka yang tahu. Meskipun tak bisa juga disebut kesalahan, namun akan terasa lebih nampol jika isunya dibuat inklusif, bahkan ketika pendengar bisa mendapatkan sesuatu dari sini akan jadi nilai lebih, selain mengajari mereka how to being tough and hardcore lewat rentetan lirik marah-marah tak bertuan juga umpatan “Motherfucker”.

Kedua adalah nomor kelima, “Crime Ridden Society”. Secara keseluruhan sebenarnya tak ada masalah, hanya duri kecil yang nyangkut di tenggorokan lagu ketika shout “Go fuck yourself!” digaungkan. Saya agak gatel mengapa liriknya dibuat demikian. Entah lah, rasanya Arga kehabisan ide mencari kalimat alternatif soal mengutuk orang yang membuatnya terbesit kalimat picisan macam itu. Masih di bagian yang sama, part yang seharusnya jadi dobrakan menuju tingkatan tensi lebih tinggi seketika ambruk karena kombinasi shout yang impoten. Yah, untungnya bagian itu tak mengambil banyak durasi.

Ketiga, walaupun secara keseluruhan album ini memberikan pengalaman unik ketika didengar secara beruntun, sayang, dari mata koin yang lain, muatan album ini terbilang tanggung – hanya menjejali delapan trek dengan tiga yang sudah mereka bocorkan lebih dulu – membuat daya kejut album ini menurun cukup signifikan. Meski buat poin ini hanya berlaku untuk pedengar lama mereka.

Bagaimana pun, lebih banyak tawaran menarik yang disuguhkan Prejudize ketimbang kecacatannya di sini. Echoes of Life masih awal, maka tak menutup kemungkinan mereka kembali dengan rilisan yang jauh lebih mematikan dari segala sektor ke depannya, sekaligus memungkinkan untuk membuat reviewer seperti saya berhenti sok tahu dan hanya menghaturkan pujian buat mereka. Mari nantikan.

Dengarkan Echoes Of Life di sini!