TRACK TALK: Dead Vertical – Megadaya (Album, 2025)

Dari grindcore brutal ke heavy rock, Megadaya terdengar tak lebih seperti mesin tua kehabisan oli.
Perubahan gaya musikal dalam terminologi “eksperimen” tak selalu menemukan jalan yang mulus. Entah bertransformasi menjadi lebih baik atau butut sekalipun akan selalu ada titik cela. Hanya beberapa yang mampu melakukannya dan layak disebut berhasil. Untuk kancah ekstrim, 偏執症者 (Paranoid) bisa terbilang berhasil. Dari raw Japanese d-beat menjadi NWOBHM. Tai. Ini masih belum terlalu melenceng. Kompatriot mereka, mungkin bisa saya sebut, Tribulation, Swedish death kental nan amis menjadi goth-rock dengan bumbu progresif pekat. Atau mungkin Satan’s Satyrs akan sedikit relevan dengan album yang akan saya bahas, meskipun tidak sangat akurat. Hardcore punk di album pertama namun dengan wall of sound ala Electric Wizard dan memutuskan menjadi heavy rock total doom metal skala mentok.
Album Perang Neraka Bumi terlalu terpatri di isi kepala dan gendang telinga sejak pertama kali dirilis empat belas tahun lalu. Salah satu album grindcore terbaik di ranah lokal. Ah, tai! Lupakan itu semua, kini mereka kembali dengan opus keempatnya. Saya merasa sial ketika mendengar album dengan tajuk Megadaya yang keluar akhir Januari lalu ini. Ke mana kebrutalan dan gerinda yang selama ini saya kenal? Cih! Eksperimentasi apa ini!? Baiklah, mencoba hal baru adalah hal yang bagus dan patut diberi perhatian indera pendengaran. Tak takut taruh besar. Berani adu nyali.

Saya selalu menggemari eksperimentasi banting setir arah kemudi yang cenderung nekat. Sialnya, ini hanya heavy rock generik yang kepalang mudah ditebak arahnya. Injak pedal trek awal “Kora-Kora”, sekedar departemen sound yang mampu diampuni oleh telinga rusak dan isi kepala obat penuh dengan terkaan-terkaan cenderung sok tahu yang tak merasa terbius sedikit pun. Begitu pula dengan nomor selanjutnya, terlintas Diesel & Dixie ketika riff intro mulai terdengar, senyum tipis pun timbul.
Namun ketika telinga mulai terjerumus ke bagian verse, secuil sumringah tadi langsung sirna seraya terkekeh sinis. Mungkin masih cukup terobati oleh solo gitar Coki Bollemeyer dan blast beat di penghujung. Namun kembali sirna karena pattern vokal di akhir, plek-ketiplek dengan “Amplifier Memanas” milik Seringai. Ya, hanya diubah menjadi “Karburator Membara” yang menjadi titel nomor ini. Dari sini, tak berekspektasi lebih untuk ke depan saya rasa hal yang bijak.
Saya berharap ada senila nuansa southern dilengkapi groove paten ala Pantera bahkan Down. Lebih spesifik lagi High On Fire. Bangsat, semua luput sudah. “Mental Besi” dan “Menabur Bara Menuai Api” terasa kurang matang di segi lirikal, apalagi ketika bait; “Perselingkuhan merusak relasi” menggedor secara tak sopan. Sontak termenung, namun sulit menemukan diksi untuk mendeskripsikannya. Entah cheesy? Entah norak? Atau mungkin keduanya? Namun saya tak lagi peduli. Rasanya tak lebih mending seperti mendengar Slank melantun “I miss you but I hate you”.
Tak terasa ada daya setrum gardu PLN yang mampu menyengat diri jika ini adalah tegangan voltase tinggi dan mampu membunuh dalam hitungan sepersekian detik. Kolaborator di album ini pun tak terasa signifikan perannya bagi saya. Menggaet Jimi Multhazam di trek “Jelata”, lalu disambung pseudo-doom “Nestapa” dan terasa kepalang nanggung. Berada di zona abu-abu. Tak terlalu heavy untuk barometer doom. Tak juga hard rock karena terlalu heavy untuk disebut demikian.
Menggubah ulang “Jungkir Balik” milik Morfem pun malah jadi langkah penuh jebakan. Salah satu repertoar favorit yang versi orisinilnya sudah terlalu melekat. Di sini, tak ada intrik-intrik yang menjadi sebuah kejutan. Satu-satunya hal positif mungkin sekarang kita punya versi alternatif jika bosan dengan versi orisinil. Dead Vertical seakan kehilangan jati dirinya bak remaja umur dua puluhan awal yang baru terkubur dalam asap nirwana lalu menyadari betapa Zeppelin dan Sabbath penuh senyawa alami dan sintetik.
Ya, arus selalu berjalan dari hulu ke hilir, tak pernah sebaliknya. Namun, melupakan masa lalu tak semudah yang diucap oleh sungut bau alkohol dan tembakau. Jika dibanding dua album awal mereka, ini adalah eksperimentasi yang patut diberi penghormatan karena mengundi nasib secara all-in. Sialnya, Megadaya adalah percobaan bunuh diri. Dan satu lagi, terasa prematur juga kurang gizi.
Teks: Dimas Dritt