Koil: “Kami bikin yang kami suka. Mau relevan atau nggak, biarin aja!”

Kuintet industrial/goth-rock legendaris asal Bandung, bodo amat dengan relevansi atau tetek bengek yang tengah marak. Justru kian produktif, melakoni tantangan baru dan ogah drop adalah kunci utama band ini. Mereka menciptakan hingar bingarnya sendiri.
Di dunia yang dipenuhi band atau eksponen yang mengemis atensi akan algoritma, popularitas maupun decak dari para fans, ada satu nama yang nggak butuh validasi dari siapapun dan dimanapun, yaitu Koil.
Hampir tiga dekade lebih tepatnya 1996 sejak perilisan Self Titled dilanjut Megaloblast, Blacklight (Shines On) dan beberapa single eceran seperti “Sorak Bergembira”, “Tak Ada Wifi di Alam Baka”, “Pecandu Narkotbah”, “Lagu Hujan” atau EP macam First Installment dan Second Installment, Koil yang masih dihuni kakak beradik Julius Aryo Verdijantoro alias Otong alias Midiahn (vokal) dan Donnyantoro (gitar), kemudian Adam Joswara alias Vladvamp (bass) dan Leon Ray Legoh (drum) masih eksis di scene rock Indonesia hingga sekarang.
Meski terbilang veteran, keempatnya tetap konsisten dalam berkarya, dan tentu nggak peduli dengan apapun yang sedang ramai. Mereka nggak butuh relevansi, sebab relevansi lah yang selalu datang menyembah mereka. Toh, terbukti musik yang mereka mainkan seperempat abad ini bisa relate untuk pelbagai generasi music geeks yang demen Duran duran, The Cure, Depeche Mode, Manic Street Preachers, Faith No More sampai HIM, Ministry dan Emperor sekalipun, katakan lah.
“Dari dulu kita nggak pernah berusaha relevan. Karena kita juga nggak tahu arah musik Indonesia bakal ke mana,” tegas Otong, ketika ditemui di bilangan Gatot Subroto, penghujung Februari kemarin.
Ini bukan pernyataan jumawa. Ini fakta. Kalian pikir mereka pusing ngeliatin tren? Mereka malah nggak tahu musik yang lagi ramai tuh sekarang apa dan bagaimana ombaknya. Justru, mereka menciptakan riaknya tersendiri dan cenderung melampaui zaman. Lantas Otong kembali nyeletuk, “Kami nggak menyimak musik yang ada di luar sana (sekarang).”
Semua personilnya hidup di dunianya masing-masing, dengan selera yang jauh dari liga musik hari ini. Mereka nggak berusaha laku. Mereka nggak ngejar hype. “Si Doni mah denger yang dia suka, Adam dan Leon pun demikian, beda-beda dengernya, saya pun sama,” sebut lelaki berusia 53 tahun tersebut.
Tapi herannya, orang-orang apalagi Koil Killer (fans militan Koil) masih mencari mereka. Masih menganggap Koil sebagai band kultus. Masih ngegas tiap ada konser mereka. Kenapa? Karena Koil just being Koil. Otong cs tetap berpegang teguh pada satu pivot yang ada di kepala sejak awal 90an yaitu bermain band secara jujur tanpa beban bin senang-senang. Lagi-lagi Kak Ots menegaskan, “Kami bikin apa yang kami suka. Mau relevan atau enggak, bae weh!”
Pertengahan Februari lalu, mereka baru saja menggelar konser resital orkestra dan akustik di De Majestic, Bandung. Unit industrial rock yang kerap melempar distorsi dan kebisingan kini duduk khusyuk di bawah sorotan lampu klasik, memainkan instrumen akustik ditemani kelompok orkestra sambil mendongeng kisah perjalanan mereka yang hampir tiga dekade. Juga merayakan 21 tahun sophomore Megaloblast. Mereka terus membuat langkah lain dan pengalaman baru bagi para fans beratnya.
Bagi Koil, eksperimen dan selalu ngulik adalah ibadah. Mereka sudah lama tidak percaya sama pakem. Beberapa waktu ke belakang saja, bapak bapak ini membawakan set repertoar koplo bahkan dangdut di Synchronize Festival. Teranyar, Koil melakukan kolaborasi dengan Kuburan dan musisi kawakan Doel Sumbang membawakan tembang religi “Tuturut Munding”. Yang terpenting kalo mengacu kata Leon, “hasilnya tetap Koil dan kolaborasi tersebut memang kami yang mau, jadi tantangan bagi kami juga.”
Otong sedikit menyela, ketika Leon tengah bercerita, yakni perihal proyek selanjutnya dari Koil yang sudah ada di timeline. “Ini sih sebenarnya proyek selain format koplo atau kolaborasi bareng Kuburan dan Kang Doel (Sumbang). Bahkan sudah digarap sebelum dua proyek ini. Kami ada bikin lagu sama Fanny Soegi. Sudah mau rampung, ya semoga tengah tahun sudah bisa rilis, yes!”
Koil nggak takut bikin sesuatu yang di luar ekspektasi fans (meski belakangan, format koplo tetap banyak penggemar yang mencak-mencak atau tidak suka). Mereka hanya takut hanya satu poin: stagnasi. Sementara band-band lain sibuk nempel ke musisi yang lagi naik biar tetap terdengar, Koil berjalan dengan idealnya tersendiri. Mereka tidak mengikuti siapa-siapa. Tidak pernah gelisah soal relevansi. Mereka tidak pernah takut bakal “ketinggalan zaman.” Karena Koil bukan unit musik yang lahir buat jadi bagian dari sesuatu. Mereka adalah sesuatu itu sendiri. “Laku atau enggak, udah nggak dipikirin lah,” jelas bos Rumah Makan Legoh, Leon.
Tapi ada satu hal yang bisa bikin Koil mentok. Bukan ide, bukan pula kreativitas. Melainkan, jika kata Doni sebagai the man behind music writing sambil nyengir, “Duit, euy!”
Koil bukan band yang kehabisan inspirasi. Mereka punya segudang lagu yang siap rilis kapan pun. “Gue kalo nulis lagu terbilang cepat dan bisa langsung (eksekusi), inspirasinya dari mana-mana, either itu teh lagi di mobil, atau jalan-jalan di mal. Suka ada yang nyantol terus gue rekam di hape dan pulangnya gue buru-buru tulis biar nggak lupa, mau pakai gitar atau synthesizer. Ada ratusan lagu yang Gue udah buat setelah Blacklight (2007 silam-red) sampai sekarang,” Doni mengisahkan singkat.
Bahkan ada lagu yang udah beres take vokal tapi masih mandek. “Bikin lagu, produksi, itu semua butuh duit. Kalau buntu, ya karena itu,” celetuk dirinya lagi.
Kalian pikir Koil males-malesan? Hell no. Kalian pikir mereka nggak produktif? Nggak juga. Mereka punya banyak lagu yang belum dilepas ke dunia ini, cuma ya… kendara musik butuh bensin. Dan tentu saja yang dimaksud adalah uang, uang dan uang.
Namun di tengah problematika finansial, mentok ide atau umur yang semakin menua, ada satu sosok yang bikin Koil tetap berjalan dan (mungkin) bisa selalu relatable dengan wajah musik hari ini. Kehadiran sosok muda Al Azthraal Genesida atau kerap dipanggil Ale, putra sulung Otong, dia adalah generasi Z yang jadi energi segar buat band ini. Dia bukan sekadar anak Kak Ots semata, namun bagian dari mesin produksi dan ngeh dengan segala fenomena yang tengah berlangsung.
“Kalau nggak ada dia, nggak akan ada rekaman baru,” tambah Doni yang merupakan paman kandung Al. “Dulu, semua diurus personel lama. Sekarang, udah bisa dibagi ke Ale dan temen-temennya.”
Koil bukan grup musik yang “tua” dalam arti ketinggalan zaman. Mereka kesatuan yang matang. Dan kedewasaan itu justru bikin mereka tetap bisa memproduksi sesuatu, tanpa kehilangan karakternya. Begitu banyak band yang mati karena takut ambil risiko. Banyak band yang pudar begitu saja, karena sibuk mencari relevansi.
Sedangkan Koil? Mereka steady, karena sangat tidak peduli dengan semua itu. Serupa dengan judul “Dosa ini Takkan Berhenti”, mereka tetap bereksperimen, bergulir menyusur bak sebuah dosa. Sibuk ber hingar bingar secara mandiri. Akan selalu menantang diri. Tetap menjadi diri mereka sendiri. Tanpa kompromi ini itu. Dan ingat, Koil lebih (telah) besar dari sekadar tren dan kroninya.
Teks: Karel