No Other Land: Kemenangan Bersejarah dan Perdebatan Tak Terhindarkan

Melihat lebih dalam pengaruh dan kritik film No Other Land yang memenangkan Dokumenter Terbaik pada Oscar ke-97.
Pada Oscar ke-97 yang digelar di Dolby Theatre, Hollywood pada Minggu malam, 2 Maret 2025, No Other Land berhasil menyabet penghargaan Dokumenter Terbaik. Film ini nggak cuma sekadar dokumenter biasa, tapi juga sebuah pernyataan politik yang kuat. Disutradarai oleh empat orang dari dua sisi konflik— Basel Adra dan Hamdan Ballal dari Palestina, serta Yuval Abraham dan Rachel Szor dari Israel—film ini merekam ketidakadilan yang dialami warga Palestina di Masafer Yatta, sebuah wilayah di Tepi Barat yang sudah sejak 1980-an ditetapkan sebagai “Firing Zone 918” oleh militer Israel.
Karena statusnya itu, ribuan warga Palestina di sana selalu hidup dalam ketakutan akan penggusuran dan penghancuran rumah mereka. Dokumenter ini menggambarkan perjuangan mereka bertahan, melawan intimidasi, dan tetap hidup di tanah yang terus mereka pertahankan meskipun dunia seolah menutup mata. Tapi kemenangan film ini juga nggak lepas dari kritik dan pertanyaan besar: apakah film ini menang karena kualitasnya, atau karena formula politik yang cocok dengan selera elite industri film global?
Mari kita bahas dulu kenapa film ini bisa menang Oscar. Salah satu faktor utama adalah pendekatan dokumenternya yang humanis dan sangat emosional. Basel Adra, yang juga salah satu sutradara, nggak cuma berdiri di balik kamera-dia juga bagian dari kisah ini. Dia merekam langsung kejadian-kejadian di Masafer Yatta, mulai dari rumah yang dihancurkan, sekolah yang diratakan, sampai momen warga harus pergi dari tanah leluhur mereka.

Tapi yang bikin film ini makin “cocok” untuk Oscar adalah kolaborasi antara Adra dan Yuval Abraham. Yuval, sebagai jurnalis Israel, punya privilege lebih untuk membawa cerita ini ke panggung internasional. Kolaborasi ini bikin filmnya lebih “acceptable” di mata industri Barat, yang sering kali lebih nyaman dengan narasi rekonsiliasi ketimbang sekadar menampilkan penderitaan satu pihak.
Pidato kemenangan mereka di Oscar juga kuat. Basel Adra bilang, “Saya baru jadi ayah dua bulan lalu, dan saya berharap anak saya nggak harus tumbuh dengan rasa takut seperti yang saya alami!” Sementara itu, Yuval Abraham menyoroti ketimpangan antara dirinya dan Adra, “Saya dan Basel adalah saudara, tapi kami tidak setara. Saya hidup bebas di bawah hukum sipil, sementara Basel hidup di bawah hukum militer yang menghancurkan hidupnya.” Mereka juga mengkritik kebijakan luar negeri AS yang mendukung Israel, sesuatu yang cukup berani untuk panggung Oscar.
Seperti yang bisa ditebak, kemenangan ini langsung memicu kontroversi. Di Israel, Menteri Kebudayaan Miki Zohar menyebut penghargaan ini sebagai “momen menyedihkan bagi dunia sinema” dan menuduh film ini mendistorsi citra Israel. Di sisi lain, aktivis pro-Palestina juga punya kritik sendiri terhadap No Other Land.
Kritik utama datang dari anggapan bahwa film ini memenangkan Oscar justru karena adanya kolaborasi Israel-Palestina. Dalam bukunya Perfect Victims, Mohammed El-Kurd menyoroti tren dokumenter tentang Palestina yang “harus” punya elemen rekonsiliasi supaya diterima oleh dunia Barat. Menurutnya, kalau dokumenter ini murni dibuat oleh warga Palestina tanpa adanya sudut pandang Israel, mungkin penghargaan sebesar ini nggak akan mereka dapatkan.
Salah satu aspek menarik dari kemenangan No Other Land yang jarang dibahas adalah bagaimana film ini juga memicu perdebatan di dalam gerakan pro-Palestina sendiri, terutama soal hubungannya dengan kampanye Boycott, Divestment, dan Sanctions (BDS). BDS adalah gerakan yang menyerukan boikot terhadap institusi Israel yang terlibat dalam pendudukan Palestina, termasuk industri filmnya. Masalahnya, ini bikin banyak aktivis Palestina merasa dilematis—di satu sisi, film ini penting banget karena menyoroti ketidakadilan yang terjadi di Masafer Yatta, tapi di sisi lain, keterlibatan Israel membuatnya bertentangan dengan prinsip BDS.
Kritik lainnya adalah soal framing film ini. Meskipun film ini berhasil mendokumentasikan realitas di lapangan, ada kekhawatiran bahwa film ini masih menyajikan konflik ini sebagai masalah dua pihak yang “sama-sama menderita” daripada menyoroti ketimpangan kekuasaan yang sebenarnya. Apakah ini kemenangan yang benar-benar murni untuk Palestina, atau ada risiko bahwa film ini malah dimanfaatkan untuk menunjukkan “wajah baik” Israel di panggung dunia? Dan lebih jauh lagi, apakah penghargaan seperti Oscar benar-benar bisa menjadi alat perubahan nyata bagi Palestina, atau hanya sekadar simbolis?
Terlepas dari pro dan kontra, kemenangan No Other Land membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang Palestina. Dengan Oscar di tangan, film ini punya akses yang lebih besar untuk menjangkau audiens global, sesuatu yang jarang terjadi untuk dokumenter bertema Palestina.
Film ini berhasil bikin banyak orang yang sebelumnya cuma ngandelin headline berita atau bahkan nggak terlalu peduli sama konflik yang udah berlangsung lama ini jadi lebih paham soal realitas di lapangan—gimana warga Palestina harus hidup setiap hari dalam bayang-bayang ancaman pengusiran dan kehilangan tempat tinggal mereka. Dengan spotlight sebesar ini, di mana film No Other Land menerangi sudut-sudut gelap yang selama ini tersembunyi dari perhatian publik, harapannya makin banyak orang yang sadar, tergerak, dan mulai mempertanyakan narasi mainstream yang selama ini mendominasi media dan wacana global. Lebih dari itu, kemenangan ini nggak cuma soal penghargaan semata, tapi juga jadi bukti nyata bahwa cerita-cerita dari tanah Palestina punya kekuatan untuk nge-break stereotip dan membuka ruang diskusi yang lebih kritis dan mendalam.
Di tengah arus informasi yang kadang cuma datar dan dangkal, film ini nyuguhin perspektif yang autentik dan penuh emosi, ngebuka mata publik buat melihat bahwa di balik setiap judul berita ada kisah manusia yang penuh perjuangan, harapan, dan realita pahit yang harus dihadapi setiap hari. Selain mengedukasi, keberhasilan ini juga ngasih peluang buat sineas muda di Palestina buat terus berkarya dan mengangkat suara mereka—suara yang selama ini seringkali dibungkam atau diabaikan oleh industri film global yang lebih condong ke cerita-cerita mainstream. Dengan momentum seperti ini, diharapkan nggak cuma penonton internasional yang jadi lebih peka, tapi juga para pembuat film lain di kawasan tersebut bisa lebih berani mengekspresikan kisah nyata tanpa harus khawatir cerita mereka nggak akan mendapatkan tempat yang layak.
Tapi tantangan berikutnya adalah pada distribusi filmnya. Karena topiknya sensitif, nggak semua negara atau platform streaming bakal mau menayangkan film ini. Beberapa festival film juga mungkin enggan menampilkannya karena takut terkena tekanan politik. Namun, kemenangan ini tetap jadi momentum besar buat film-film bertema Palestina lainnya.
Kemenangan No Other Lands juga menunjukkan bahwa industri film dokumenter sedang mengalami pergeseran. Dulu, dokumenter seperti ini mungkin hanya bisa beredar di festival independen. Tapi sekarang, film-film yang berani mengangkat isu kemanusiaan semakin mendapat tempat di panggung utama. Kita bisa lihat tren ini dari film-film sebelumnya seperti For Sama (2019) dan Navalny (2022), yang juga memenangkan Oscar karena mengangkat cerita politik yang emosional dan menggugah.
Pada akhirnya, No Other Lands adalah film penting. Dokumentasi yang dilakukan Basel Adra adalah bukti bahwa rekaman dari kamera bisa jadi senjata melawan ketidakadilan. Film ini sukses membuka mata banyak orang tentang apa yang terjadi di Palestina, sesuatu yang selama ini sering dikaburkan oleh media arus utama. Tapi di sisi lain, kita juga harus kritis terhadap bagaimana film ini diterima di dunia Barat.
Apakah ini kemenangan murni karena kualitas dokumenternya? Atau karena narasi yang diangkatnya cocok dengan selera politik Hollywood? Dan yang lebih penting, apakah kita akan melihat lebih banyak film Palestina mendapatkan pengakuan tanpa harus melibatkan perspektif Israel di dalamnya?
Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan itu, satu hal yang jelas: No Other Lands membuktikan bahwa sinema masih bisa jadi alat perlawanan. Lebih dari sekadar menang Oscar, film ini memaksa dunia untuk melihat kenyataan yang selama ini coba disembunyikan.
Teks: Gren Rain