Hardcore Is All About Embracing Diversity, Not Just Being Hard to the Core
Menangkap geliat hardcore dan bagaimana miskonsepsinya sebagai ajang kekerasan yang dilanggengkan hari ini.
*pertama kali terbit di newsletter acara “Dusted Engine” yang digarap Futura Free, 8 Agustus 2024.
Bicara soal hardcore, kancah ini seakan semakin hangat diperbincangkan dari waktu ke waktu dalam kurang lebih empat sampai lima tahun terakhir. Tak bisa dipungkiri, pamornya kini bisa dibilang sedang di atas angin, di mana batasnya pada garis mainstream sudah kepalang tipis. Banyak faktor yang membuat hal ini terjadi, salah satunya munculnya banyak band-band baru yang seakan menyegarkan kembali spirit hardcore yang sempat stagnan di masa-masa sebelumnya.
Lagi-lagi, nama Turnstile mesti disebut jika bicara soal fenomena hardcore-goes-pop beberapa tahun ke belakang. Mereka bisa dibilang yang paling mutakhir mengolah sub musik punk nan segmented ini akhirnya diterima banyak kalangan, dengan pendekatan yang tentunya lebih dari sekedar musik. Meskipun jika menarik ke belakang, ini bukan formula baru, hanya saja Brendan Yates dkk. mujur menerapkannya di masa kini dan jadi representasi yang tepat buat menggambarkan apa itu wave newschool hardcore yang menginjeksi dunia pop culture hari ini.
Setelah itu, fenomena Speed yang muncul dengan kesan tough guy dan kerap menerapkan gaya bela diri sebagai pengantar musiknya jadi nama yang boom di kalangan hardcore kids dan bahkan lebih meluas. Saya rasa sedikitnya ini jadi semacam follow up ketika hardcore sudah dipopulerkan oleh Turnstile, kita seakan punya validator untuk menyatukannya dengan kesan arogan dan doyan kekerasan. Walhasil, ini jadi timeline yang sempurna untuk beranggapan kalau hardcore memang seharusnya demikian.
Sebagai negara dunia ketiga sekaligus adaptor dari kultur barat, Indonesia pun tak luput dari paparan gelombang ini yang akhirnya membuatnya berkembang dengan pesat dalam beberapa tahun ke belakang. Sedikitnya, ada unsur latah yang selalu dibawa orang-orang sini sehingga wave hardcore tak luput jadi sesuatu yang mereka angkat. Mungkin tak sepenuhnya buruk, tapi inklusivitas ini membawa dampak untuk beberapa poin.
Bukan bermaksud sok eksklusif, namun semakin tak tersaringnya orang-orang yang terjun ke kancah ini pun memperbesar kemungkinan miskonsepsi dalam kultur hardcore sendiri. Entah ini berlaku sejak kapan, namun di kancah lokal sendiri hardcore cukup dikenal sebagai musik pengantar kegiatan pukul-pukulan, ajang pamer aroganitas atau kebolehan menendang kepala satu sama lain dengan dalih bersenang-senang. Terdengar cukup naif namun sayangnya itu berlaku untuk sebagian orang.
Belum lama dari bagaimana saya mendeskripsikan hardcore dilihat hari ini dalam hemat saya lewat paragraf di atas, kasus yang melibatkan band hardcore bernama Jupz jadi representasi tepat bagaimana hardcore itu sendiri dianggap oleh mereka. Ajang pukul-pukulan secara membabi buta mengikuti bagaimana kerasnya breakdown yang mereka buat. Naif, bukan? Tapi edaran video yang ramai diperbincangkan – dan berakhir jadi ajang cemoohan – di linimasa tersebut setidaknya jadi bukti konkrit kalau tak sedikit yang menganggap hardcore demikian. Cukup miris.
Tak bisa dipungkiri, perkembangan teknologi semakin memungkinkan bagi kita untuk menelan mentah-mentah apa yang sedang berlaku di luar negeri sana. Jika show-show hardcore yang tayang di kanal-kanal macam Hate5six menunjukan hardcore show dan cara menikmatinya dengan cara memukul satu sama lain, maka itu juga yang akan kita lakukan di sini, entah itu konsensual atau tidak, esensial atau tidak dan (yang terpenting tapi paling sering diabaikan) membahayakan atau tidak.
Mari lepaskan sedikit pikiran kalian dari kukungan hardcore tough guy dan segala kulturnya yang seakan jadi representasi mutlak dari hardcore itu sendiri. Sebenarnya cukup banyak jenis hardcore dengan segala sikapnya jika bicara spektrumnya secara luas. Ada yang ber-attitude positive hardcore dan juga negative hardcore. Ada yang memang sengaja menonjolkan kesan tough guy, ada juga yang bahkan lebih mengedepankan gaya feminim sebagai representasi eksistensi kaum queer lewat gelombang queercore. Ada yang memainkan musiknya secara hemat dan straight forward macam powerviolence, ada juga yang super njelimet dan skillful macam band-band H8000 atau metalcore. Entah tadi itu adalah pengkategorian yang benar atau salah dalam hardcore, namun setidaknya ada satu hal yang saya pahami dari situ; hardcore adalah spirit keberagaman.
Maka dari itu, rasanya tak ada dalih “the tougher the better” dalam kamus hardcore. Pun hal itu pernah dilakukan oleh band akbar di kancah tersebut macam Earth Crisis soal bagaimana militannya mereka mengkampanyekan vegan straight edge dengan minim toleransi, itu pun berakhir jadi aib buat kaum straight edge sendiri, bahkan salah satu sejarah yang mencoreng idealisme straight edge karena dianggap fasis.
Mungkin dari sana sudah cukup untuk menekankan bahwa tak ada kekerasan yang dibenarkan atas dalih mengamalkan kultur hardcore. Jika pun memang kultur violent dancing sendiri konon sudah ada sejak tahun 2000-an, bukan berarti hal itu mesti dilanggengkan secara mentah tanpa ada tendensi memperbaikinya, karena pun pada awalnya kultur tersebut sudah cukup menuai kontra berbagai pihak. Maka sebagai makhluk yang hidup di peradaban, sudah selayaknya kita merasa mesti ada perbaikan kultur dari waktu ke waktu, setidaknya itu jadi bukti kalau kita sejauh ini masih berpikir. Yah, mungkin tak ada kewajiban bagi kalian untuk memperbaikinya jika ingin menanggalkan akal dan terus stagnan atas nama melanggengkan tradisi.
Saya selalu yakin kalau di setiap gig hardcore yang dimanfaatkan sebagai ajang unjuk kebolehan saling menyakiti, ada beberapa orang datang untuk tujuan lain. Di antaranya, ada yang memang ingin menikmati musik dan penampilan live-nya, ada yang datang untuk keperluan pekerjaan semisal tim sponsor atau mitra media, ada yang datang untuk melihat suami/istri/pasangannya beraksi di stage tanpa memahami musik dan kulturnya. So, jangan paksa orang untuk mengerti dan menormalisasi kekerasan sebagai suatu kultur dan ikut dalam pola pikir primitif yang stagnan. Hardcore is all about embracing diversity, not just being hard to the core.