The Power of Hybrid (Recording) with Irsyad Teargas Lab
Obrolan singkat sepak terjang serta cara kerja Teargas Lab – sebuah studio recording di Bandung – yang diprakarsai oleh Irsyad, salah satu sosok berjasa di balik lahirnya rilisan dari band-band favoritmu saat ini.
Pada musim hujan menjelang akhir tahun 2023, Irsyad menyambut saya di recording studio miliknya, Teargas Lab. Sebuah studio di bilangan Cicadas, Bandung tempat ia tinggal bersama keluarganya dan bekerja sebagai sound engineer selama kurang lebih 15 tahun terakhir. Nama Teargas Lab diambil saat ia sedang antusias menggandrungi Katatonia, dan lagu “Teargas” menjadi trek favoritnya di antara yang lain. Selain itu, ketidakpedulian Irsyad sebagai perokok, membebaskan siapapun untuk merokok sesuka mereka di dalam studio – sesuai namanya, efek perih di mata memang sering terjadi apabila asap rokok sudah terlalu sesak ngebul.
Ketika saya tiba, Irsyad menyuruh saya menyusuri garasi rumah, lalu menaiki tangga spiral untuk sampai di studio kecil berpetak 2×1 meter. Studio rekaman yang terbagi menjadi tiga bagian; ruang sempit pemicu untuk take vokal; ruang operator, yang di salah satu dindingnya tergantung bingkai artwork Nine Inch Nails bersanding dengan gitar-gitar dan bas yang tersedia; dan terakhir, ruang take drum hybrid, prototipe rakitannya sendiri, kombinasi drum akustik dan elektrik.
Saat itu Irsyad sedang duduk menghadap komputer yang menjalankan DAW Reaper, terlihat di monitor jahitan benang warna-warni di dalamnya menunjukkan hasil take drum, gitar, dan bas untuk album ketiga dan keempat Leipzig yang tinggal menunggu pengisian vokal Mario. “Harmoni. Kenapa Leipzig bagus, salah satunya karena mereka berani mementingkan harmoni,” pendapat Irsyad ketika berbincang soal Leipzig, “tidak takut memainkan harmoni. Ditambah selera bawaan dan teknik musikal mereka yang mumpuni.”
Mendengar itu, saya coba menguji peruntungan agar dapat curi dengar materi-materi album Leipzig terbaru itu: “Coba, mana setel.”
“Maneh ke sini sebenernya mau ngulik Leipzig atau Teargas Lab?” sautnya.
Kelahiran Teargas Lab
Teargas Lab adalah studio rekaman musik yang mulai profesional berjalan sejak 2008, tahun ketika Irsyad mantap putus kuliah dan meminta orang tuanya mengalokasikan saja seluruh sisa biaya kuliah yang belum terpakai untuk kebutuhan pengoperasian Teargas Lab. Modal awal 7-10 juta akhirnya didapat plus kekhawatiran orang tua membuntuti.
Sebelum pengambilan keputusan besar itu, pekerjaan menjadi sound engineer sudah menjadi kesibukannya. Kebanyakan, tawaran-tawaran awal berasal dari band teman dan band teman temannya lagi, yang lalu menyebar dari mulut ke mulut hingga band-band luar kota Bandung mendengar ada studio yang menyediakan jasa recording, dengan cukup membayar Rp. 50.000 saja per shift untuk mendapat pelayanan operator (Irsyad) selama 6 jam berproses di studio rekaman. pada saat itu.
“Latar belakang kedua orang tua saya guru, dan keduanya cukup demokratis; mengerti bahwa pada akhirnya jalan hidup seorang anak hanya bisa ditentukan oleh dirinya sendiri,” kenang Irsyad. “Dan ketika saya menjelaskan tentang Teargas Lab kepada orang tua, respon awal tentu saja cemas dan khawatir. Tapi dengan optimisme berlebih dan kenaifan jiwa muda yang saya punya pada saat itu, orang tua akhirnya mendukung penuh cita-cita saya ini (membangun sebuah studio recording musik).”
Singkat cerita, Irsyad menggaet seorang partner untuk menjalankan bisnis Teargas Lab. Dari modal kasar yang sudah terkumpul, 50-60 juta, Irsyad mulai mencicil kebutuhan equipment studio: mic Aiwa dan soundcard M-Audio two channel.
Namun tiga bulan semenjak Teargas Lab resmi dibuka, sama sekali tidak ada yang datang untuk menggunakan jasa studio itu. Sempat hampir menyerah, sampai muncul pikiran untuk menjual saja seluruh aset yang ada.
Sebuah band death metal, Abiogenesis, masuk dan menjadi klien pertama Teargas Lab. Dari momen itu, keran proyek yang Irsyad pegang secara berkala mulai lumayan mengalir. Hingga saat ini, Teargas Lab sudah men-handle berbagai proyek: mulai dari musik tradisional, kebutuhan jingle seorang dokter, d-beat reruntuhan, death metal Ujung Berung, musik-musik akademisi, dan nama-nama yang sedang aktif di scene musik Bandung seperti Ametis, Wreck, Leipzig, Kidsway, Maio, Saturday Night Karaoke, dll.
“Under the Big Bright Yellow Sun mungkin menjadi salah satu proyek berkesan buat saya. Setelah menggarap UTBBYS, mulai banyak band-band so-called indie yang berdatangan tertarik menggunakan jasa Teargas Lab,” sambungnya, “Baik itu murni sebagai sound engineer/operator saja atau treat plus-plus sebagai tempat curhat [tertawa].”
“Maksudnya?”
“Biasa, dinamika sebuah band. Aktivitas di studio itu jangan dianggap hanya proses teknis bermusik saja yang terjadi di dalamnya. Tetapi dapur rekaman juga bisa menjadi sebuah ruangan ‘babauan’ bagi si band itu sendiri.”
Irsyad sadar, Teargas Lab memiliki keterbatasan-keterbatasan yang mungkin cukup signifikan untuk keberlangsungan sebuah studio rekaman. Salah dua yang paling jelas adalah principle design studio ala kadarnya, dan opsi alat-alat rekaman seadanya. Sering kali jika sedang tidak digunakan, studio yang sama digunakan untuk menampung musisi-musisi dengan latar belakang unik mereka masing-masing, digunakan pula selingan oleh istrinya sebagai pekerja WFH.
Alhasil, ia harus memutar otak dan kembali melihat tugas fundamental seorang sound engineer: memfasilitasi dan men-deliver musik yang diinginkan sebuah band atau musisi. Sampai saat ini, daya tawar Teargas Lab fokus pada kualitas dan end-product yang dihasilkan. “Selain itu, karena Teargas Lab saat ini benar-benar milik saya pribadi, dan harga yang diberikan per shift cukup murah: Rp/ 350.000 saja, Teargas mungkin menjadi opsi bagi band-band ekonomis untuk merekam karya mereka.”
Experimental Recording Set, Etos Gaskeun dan Hibrida
Ketertarikan awal Irsyad menjadi sound engineer bermula seperti impian kebanyakan fans musik: menjadi pemain band. Selama aktivitasnya berkutat sebagai pemain band, makin hari Irsyad makin lebih memperhatikan detail bagaimana band-band seperti NIN, Marilyn Manson, Koil bisa memproduksi musik sebagus yang didengarkan oleh telinganya.
Melalui perangkat komputer dengan Windows 95 sebagai operating system, yang pada zaman ’90-an biasanya sudah satu paket tersedia beserta mic, headset, dan speaker. Irsyad mulai otodidak mengulik bagaimana proses merekam suara dan bebunyian dengan alat seadanya.
Rasa ingin tahu yang makin besar soal audio recording, menuntun Irsyad untuk terus mengasah dan memperbaharui pengetahuannya soal dunia itu. Majalah Nanana sempat menjadi rujukannya saat itu, ditambah jejaring yang ia dapat, dan pengalaman-pengalaman empiris sebagai seorang sound engineer yang memegang berbagai macam proyek musik. “Arfian (@stepyourtap, WethePeople!) adalah salah satu orang yang paling berjasa dalam perjalanan hidup saya sebagai seorang sound engineer maupun secara personal. Banyak ilmu yang saya dapat darinya dan banyak juga band yang direkomendasikan oleh dia untuk datang ke Teargas Lab.”
“Saya dengar, pernah ada band yang ingin menambahkan feedback gitar ke dalam materi mereka. Tapi karena nggak ada kabinet, yang ada hanya ampli saja. Akhirnya Irsyad memutar otak dan menodongkan gitar itu ke speaker komputer,” tanya saya.
“Betul. [terkekeh] Itu tadi, yang saya sebut ‘babauan’. Dapur rekaman sudah seharusnya menjadi tempat eksperimentasi bagi setiap orang yang ada di dalamnya. Dalam konteks saat proses recording, sudah seharusnya operator dan band bekerjasama untuk mencapai karakter sound yang diinginkan,” jawab Irsyad.
“Selain tentu saja keterbatasan alat-alat yang ada di Teargas Lab juga kan?” saya merespon.
“Itu betul juga… [tertawa]”
Keterbatasan-keterbatasan yang dihadapi Teargas Lab, membuat Irsyad pada penerapannya harus terus memutar otak di setiap proyek yang ia pegang. Salah satu penemuan yang ia dapat dari kebiasaannya untuk terus beradaptasi dengan setiap proyek yang berbeda-beda adalah kemunculan prototipe drum hybrid yang ia banggakan.
Menurutnya, banyak klien yang sudah ia pegang, permintaannya aneh-aneh, tendensinya ingin karakter sound drum yang sesuai dengan seleranya masing-masing. Jika hanya menyediakan drum akustik, maka perlu proses editing lagi setelah sesi take drum rampung dan membutuhkan waktu yang lebih lama, tidak efektif. Lalu Irsyad beroleh pikiran bagaimana jika proses editing-nya itu di-replace secara real time. Contoh kasus, jika drum ingin ditambahkan efek distorsi maka Irsyad akan mengganti set up drum elektrik tersebut secara langsung – dibandingkan harus mengedit after produksian. Total ia sudah mengumpulkan sound drum library sebesar 500GB di komputernya untuk mengantisipasi keinginan-keinginan musisi dalam pemenuhan hasrat mereka akan sound drum.
“Praktik yang Teargas Lab lakukan pun semuanya hybrid. Futuristik. Semua pengerjaan berporos pada PC. Cuma bagaimana caranya terdengar seperti analog, itu adalah hal yang selalu terus saya lakukan.” Irsyad menambahkan.
“Banyak juga sebenarnya orang nggak ngeh kalau hasil musik band anu drumnya elektrik. Dan ketika mendengar respon seperti itu, seperti kepuasan dan keberhasilan tersendiri juga karena bisa dibilang ‘menggocek’ pendengar lewat kerjaan yang saya lakukan.”
Selain faktor-faktor teknis saat proses recording, keberhasilan sebuah musik yang dihasilkan juga bergantung pada hubungan seorang engineer dengan musisi itu sendiri. Banyak kasus benturan-benturan ide dari musisi terkadang menjadi batu hambatan yang terkadang membuat hasil rekaman tidak sesuai harapan. Steve Albini memaparkan estetika personalnya sebagai recording engineer hanyalah sebatas merekam musik dari band/musisi, bukan “membuat” musik dari interpretasi yang ia dapat dari musik yang dibawa band lalu mengaplikasikannya.
“Steve Albini salah satu sosok yang banyak saya ambil sih ilmunya. Karakter raw dia, apalagi sonik-sonik yang tertanam di salah satu bandnya, Shellac. Selain dia, ada juga Butch Vig,” ujar Irsyad.
“Apa ada karakter-karakter sonik khusus yang ingin dicapai oleh Teargas Lab?”
“Punchy, mid-range, raw, clarity.”