X

Realita Pahit Kekerasan Seksual di Indonesia

by webadmin / 4 weeks ago / 113 Views / 0 Comments /

Menyelami absurditas budaya tutup mata dan impunitas di balik tingginya angka kekerasan seksual pada Sexual Assault Awareness Month.


Setiap bulan April, dunia memperingati Sexual Assault Awareness Month (SAAM)— sebuah kampanye global untuk meningkatkan kesadaran terhadap kekerasan seksual dan memperkuat dukungan bagi para penyintas yang ditetapkan oleh National Sexual Violence Resource Center (NSVRC) di Amerika Serikat. Di Indonesia, peringatan ini seharusnya menjadi momentum reflektif, bukan sekadar seremoni tahunan. Refleksi atas kenyataan bahwa tubuh manusiaterutama tubuh perempuan dan kelompok rentan lainnyamasih menjadi medan kuasa, kendali, dan kekerasan. Refleksi bahwa di balik data yang terus meningkat, tersembunyi trauma kolektif yang belum pulih dan sistem hukum yang belum sepenuhnya hadir sebagai pelindung.

Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024, terdapat 330.097 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan-meningkat lebih dari 14% dari tahun sebelumnya. Sebanyak 15.621 kasus di antaranya adalah kekerasan seksual, menjadikan isu ini bukan hanya fenomena sosial, tetapi juga krisis nasional. Angka ini belum mencakup kasus yang tidak tercatat akibat minimnya pelaporan—karena stigma, ketakutan, dan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum.

Di ranah ketenagakerjaan, survei yang dilakukan oleh Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) mengungkapkan bahwa lebih dari 80% pekerja perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Bentuk pelecehan yang paling umum meliputi sentuhan fisik tanpa izin, komentar verbal yang tidak pantas, serta ajakan seksual secara terang-terangan. Ironisnya, hanya 14% dari korban yang melaporkan insiden tersebut kepada pihak manajemen atau HRD, mencerminkan adanya ketakutan akan stigma, retaliasi, atau kurangnya kepercayaan terhadap mekanisme penanganan yang ada.

Tahun 2022 menjadi tonggak bersejarah dengan disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Produk hukum ini hadir setelah lebih dari satu dekade perjuangan para aktivis dan penyintas, dan menjanjikan perubahan besar dalam penanganan kekerasan seksual di Indonesia. Namun tiga tahun berselang, janji itu masih jauh dari realita.

Komnas Perempuan menyoroti bahwa tanpa peraturan pelaksana yang lengkap, pemenuhan hak-hak korban, seperti akses terhadap pemulihan dan perlindungan yang memadai, menjadi terhambat. Selain itu, kurangnya koordinasi antara lembaga penegak hukum, lembaga layanan, dan pemerintah daerah memperumit penanganan kasus kekerasan seksual secara menyeluruh.

Dari tujuh peraturan pelaksana yang seharusnya menjadi nyawa UU ini, di antaranya-termasuk regulasi tentang Dana Bantuan Korban (DBK)-belum juga diterbitkan. Tanpa peraturan pelaksana, UU TPKS bagaikan rumah tanpa pondasi: megah dalam visi, rapuh dalam aksi. Korban masih harus berjuang sendiri menghadapi proses hukum yang melelahkan, minim pemulihan psikologis, dan sering kali dihadapkan pada kriminalisasi balik.

Keterlambatan penerbitan regulasi Dana Bantuan Korban (DBK) dalam implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menghadirkan ironi yang mendalam. DBK, yang seharusnya menjadi instrumen krusial untuk memastikan restitusi dan kompensasi bagi korban kekerasan seksual, justru terkatung-katung dalam proses birokrasi. Ketiadaan peraturan turunan yang jelas mengenai mekanisme dan sumber pendanaan DBK secara langsung menghambat pemenuhan hak-hak korban atas pemulihan holistik. Situasi ini tidak hanya melanggengkan ketidakadilan, tetapi juga mereduksi makna progresif UU TPKS menjadi sekadar narasi tanpa implementasi yang substansial di lapangan.

Lebih memprihatinkan, alih-alih mempercepat finalisasi regulasi dan mengalokasikan anggaran yang memadai untuk DBK, terdapat indikasi pemangkasan anggaran oleh pemerintah. Kebijakan ini bukan hanya kontraproduktif terhadap semangat UU TPKS, tetapi juga mengkhianati harapan para korban dan masyarakat luas yang mendambakan keadilan. Pemangkasan anggaran DBK secara langsung memperburuk akses korban terhadap keadilan dan pemulihan. Restitusi dan kompensasi, yang seharusnya menjadi hak korban sebagai bentuk tanggung jawab pelaku dan negara, menjadi semakin sulit diwujudkan.

Di sini lah letak paradoks kita: negara mengakui kejahatan, tetapi tidak sepenuhnya berkomitmen dalam memberikan perlindungan dan pemulihan yang layak bagi korban kekerasan seksual, sehingga berpotensi melemahkan upaya pemberantasan kejahatan seksual secara komprehensif. Lembaga layanan korban bergulat dengan keterbatasan sumber daya, aparat penegak hukum minim pelatihan khusus, dan budaya masyarakat masih cenderung menyalahkan korban. UU TPKS, dalam konteks ini, belum menjadi perisai—baru menjadi simbol.

Beberapa institusi telah mengambil langkah progresif. Universitas Gadjah Mada, misalnya, menjadi pelopor dalam pelatihan pencegahan kekerasan seksual yang diikuti oleh lebih dari 20 universitas lain. Langkah ini patut diapresiasi, namun belum cukup. Sebab pada dasarnya, kekerasan seksual bukan hanya soal individu predator, tapi tentang sistem yang membiarkannya terjadi.

Pendidikan seksualitas yang menyeluruh dan berbasis persetujuan (consent), pelatihan bystander intervention, serta sistem pelaporan yang aman dan non-diskriminatif adalah fondasi budaya baru yang harus dibangun. Sayangnya, pendidikan seksual di Indonesia masih menjadi tabu, dan wacana soal tubuh masih dibingkai dalam moralitas sempit, bukan hak dan martabat.

Apakah regulasi penting? Ya. Apakah cukup? Tidak.

Kita butuh lebih dari sekadar undang-undang. Kita butuh masyarakat yang memihak korban, bukan pelaku. Kita butuh pemimpin yang tidak hanya berbicara soal perlindungan, tapi menciptakan sistem nyata untuknya. Kita butuh universitas, kantor, bahkan rumah ibadah yang menjadikan ruang aman sebagai standar, bukan pengecualian.

Karena pada akhirnya, penghapusan kekerasan seksual bukan hanya soal mengurangi angka. la adalah tentang mengembalikan martabat manusia. Tentang menghentikan siklus diam. Tentang menciptakan dunia di mana tidak ada seorang pun yang harus berjuang sendirian setelah tubuh dan jiwanya dilukai.

Kekerasan seksual bukan hanya persoalan gender atau pakaian; ia adalah ekspresi ketimpangan kuasa yang bisa terjadi pada siapa saja, tanpa memandang usia, jenis kelamin, orientasi seksual, kelas sosial, atau latar belakang budaya. Dalam banyak kasus, laki-laki, anak-anak, penyandang disabilitas, bahkan pekerja profesional sekalipun menjadi korban. Ketika narasi kekerasan seksual dibatasi hanya pada perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelaku, kita bukan hanya menyederhanakan masalah, tetapi juga mengabaikan kenyataan sosial yang lebih kompleks. Kekerasan seksual adalah bentuk dominasi, dan siapa pun yang berada dalam posisi rentan dapat menjadi targetnya.

Di tengah kondisi seperti sekarang, sebagai masyarakat, sudah seharusnya kita membangun kesadaran kolektif bahwa isu ini bersifat lintas identitas. Empati dan literasi gender bukanlah keistimewaan segelintir kelompok, tapi tanggung jawab kita semua. Hanya dengan membuka ruang aman bagi seluruh korban-tanpa prasangka, tanpa penghakiman—kita bisa memutus siklus kekerasan seksual yang menahun. Dan ketika kita mulai percaya bahwa semua orang berhak atas tubuhnya sendiri, saat itu lah perubahan struktural dan budaya bisa benar-benar dimulai.

Mari jadikan bulan ini bukan sekadar momen simbolik atau kampanye musiman, tetapi sebagai ruang kolektif untuk menyemai kesadaran yang berbasis pada empati, literasi, dan keberanian moral. Bulan April memberi kita kesempatan untuk tidak hanya berbicara tentang kekerasan seksual sebagai isu hukum atau statistik semata, tetapi juga sebagai persoalan kemanusiaan yang menuntut keterlibatan emosional dan intelektual setiap individu. Di tengah budaya yang kerap membungkam korban dan memihak pelaku, menyuarakan kebenaran menjadi bentuk perlawanan yang tidak bisa ditunda. Mengedukasi orang-orang di sekitar kita tentang pentingnya persetujuan (consent), batasan tubuh, dan penghormatan terhadap integritas personal adalah langkah awal yang bisa dimulai dari ruang sekecil rumah, sekolah, hingga kantor.

Kesadaran bukan lahir dari satu hari besar atau satu unggahan di media sosial, melainkan dari upaya berkelanjutan untuk menciptakan ruang aman, mengoreksi norma yang menormalisasi kekerasan, dan memperjuangkan keadilan bagi mereka yang selama ini dibungkam. Maka, mari manfaatkan bulan ini sebagai titik tolak untuk mendengarkan lebih banyak, belajar lebih dalam, dan bergerak lebih jauh.

Teks: Gren Rain