X

Interview The High Temples Jelang EP Barunya, “Then What”

by webadmin / 1 month ago / 167 Views / 0 Comments /

Menggali lebih dulu EP perdana dari The High Temples, “Then What” yang didapuk akan keluar Mei mendatang.


Terbentuk hampir tanpa rencana di Bandung pada 2018, The High Temples awalnya hanya band pengiring untuk proyek solo Oscar Lolang. Namun seiring waktu, lima personilnya yaitu Estu, Prama, Esa, Ditra, dan Defta merasa ada energi yang lebih besar dari sekedar “band pendukung.” Dari ruang latihan dan gig kecil, mereka tumbuh jadi unit kreatif yang punya sound otentik. EP perdana yang akan rilis dalam waktu dekat bertajuk “Then What” menjadi hasil dari proses pencarian itu, suatu refleksi dari berbagai perasaan riuh, dialog internal, dan kebingungan yang akhirnya berhasil mereka terjemahkan ke dalam musik.

Beberapa tahun lalu juga The High Temples lumayan menarik perhatian karena mereka sempat menjadi roster awal dari salah satu label Redrose Records milik pop star Isyana Sarasvati. Dengan citra Isyana yang musiknya makin ke sini makin njelimet nan megah, pemilihan The High Temples sebagai roster dari Redrose buat saya terasa cocok, karena memang kuintet ini menyuguhkan nuansa serupa. Rasa musik The High Temples yang mewah itu pun masih bisa dirasakan di rilisan EP mereka mendatang yang didapuk akan keluar Mei mendatang. 

Secara musikal, Then What akan jadi kaleidoskop yang menggambarkan dinamika antar personel, tidak ada satu warna dominan, tapi justru keberagaman itu lah yang menjadikannya utuh. Proses kreatifnya diwarnai oleh diskusi terbuka, argumen, dan kompromi yang sehat, sebuah fase bonding dan pendewasaan bersama. Tema besar EP ini, yakni ketidakpastian, muncul bukan karena dirancang, melainkan karena itu yang paling jujur mewakili kondisi mereka saat ini. Dari kebingungan personal hingga keresahan sosial, semuanya diolah dengan pendekatan yang tidak hanya musikal, tapi juga emosional.

The High Temples

Sebelum lebih lanjut membahas EP mendatang, saya sengaja menghubungi mereka secara personal untuk menggali lebih dulu bagaimana Then What akan terdengar.  Simak obrolan lengkap saya bersama The High Temples tentang perjalanan panjang mereka, proses kreatif di balik EP “Then What” dan bagaimana mereka menyikapi kebingungan hidup lewat musik!

Bagaimana awal mula terbentuknya The High Temples, dan seperti apa perjalanan kalian hingga akhirnya di waktu mendatang kalian akan merilis EP perdana?

Kami ini terbentuk di Bandung tahun 2018, bisa dibilang almost by accident. Awalnya kami cuma sekumpulan orang dengan latar belakang dan ketertarikan yang beda-beda, ngumpul buat jadi band pengiring untuk proyek solo Oscar Lolang. Nama “The High Temples” juga Oscar yang berikan. Tapi seiring waktu, kami berlima—Estu, Prama, Esa, Ditra, dan Defta—merasa ada ‘panggilan’ atau tarikan kuat untuk mengeksplorasi sound kami sendiri. Yang tadinya cuma supporting act, pelan-pelan tumbuh jadi entitas yang punya suara dan nafasnya sendiri. Perjalanan menuju EP perdana ini ya proses kami menemukan suara itu, mencoba menerjemahkan berbagai riuh rendah di kepala dan perasaan kami jadi musik, hingga akhirnya terkumpul dalam karya yang akan kami lepas di waktu yang akan datang.

Ada apa di balik tajuk Then What?

“Then What.”. Judul ini menangkap esensi dari perjalanan kami (dan mungkin banyak orang) saat berhadapan dengan ketidakpastian. Dua kata ini bisa jadi pertanyaan saat kita bingung harus bagaimana setelah sesuatu terjadi (“Lalu, gimana?”), tapi bisa juga jadi semacam pernyataan atau ekspresi sikap pasrah atau penerimaan saat menghadapi hal yang di luar kendali (“Ya terus kenapa?”).

Jadi, judul ini bukan tentang memberikan jawaban, tapi justru merangkum pertanyaan dan sikap kita di tengah situasi hidup yang seringkali membingungkan dan tanpa jaminan. Ini tentang momen ketika kita berhenti sejenak, melihat sekitar, dan mencoba mencari cara untuk melangkah lagi, bahkan tanpa tahu pasti arahnya. “Then What.” adalah cerminan dari momen krusial itu.

Apa yang ingin kalian eksplorasi secara musikal di EP perdana ini? Apakah ada pengaruh atau referensi khusus yang mewarnainya?

Di EP ini secara musikal memang sangat eklektik. Setiap lagu punya warnanya sendiri. Sejujurnya secara musikal mungkin gak ada referensi atau ‘genre’ yang spesifik sih, karena isi kepala dan apa yang didengarnya juga beda-beda. Lagu-lagu yang ada di EP ini juga keitungnya mengendap dari lama dan secara musik juga beda-beda banget, mungkin kalau pake istilah akademik jatuhnya kaya “bunga rampai”, dengan perbedaan tersebut kami mencoba membuat suatu karya utuh yang masuk akal dan kohesif. 

Tapi satu hal yang bisa di highlight dari EP ini, berkaca dari lagu-lagu THT yang udah rilis sebelum EP ini, kami lebih “ngobrol” secara musikal maupun kreatif. Kami sadar kami punya ego dan isi kepala yang beragam, tapi baru di EP ini kami merasa semua bisa lebih diskusi dan diobrolin kalau ini lagu arahnya kemana, visinya apa, ‘ngerem’ sekaligus ‘ngedorong’ satu sama lain juga untuk banyak ngasih masukan masukan musikal. Kalau dulu, kayaknya masing-masing personil ingin mengisi kaya gimana juga sikat sikat aja hahaha.

Setiap band punya dinamika unik, bagaimana proses kreatif berjalan di antara kalian saat menulis dan merekam lagu?

Nah itu balik ke keyword yang kami highlight tadi (ngobrol). Semua personil punya keterlibatan bikin lagu, bahkan manager kami pun sampai terlibat untuk menyumbang lirik. Untuk EP ini, dulu kita nyetor masing-masing punya materi apa (musik atau lirik), lalu diolah bareng bareng. Karena memang punya waktu yang panjang, jadi sebenarnya kami hampir tahu persis visi dari masing-masing lagu itu apa dan perjuangkan visinya. Banyak banget kok ketidakcocokan dan argumen yang berseberangan di prosesnya. 

Kayak misalkan ‘kayanya untuk lagu ini, isian maneh itu terlalu over deh’ atau ‘kalau ngisinya jadi gini aja maneh nyaman gak?’ dan lain-lain, yang alhamdulillah-nya semua bisa mencerna dengan baik dan bisa didiskusikan dengan baik juga. Kayanya secara proses kreatif, EP ini jadi proses ‘bonding’ dan ‘pendewasaan’ bersama hahaha.

Dalam proses penulisan lagu-lagu di EP ini, ada tidak sih tema atau cerita yang secara personal paling dekat dengan kalian?

Tema besar yang jadi jantung EP ini adalah ketidakpastian (uncertainty). Ini sesuatu yang kami rasa sangat relevan dan dekat dengan pengalaman kami—dan mungkin banyak orang lain juga. Karena saat semuanya nyetor lagu dan lirik, memang pada dasarnya ingin menyampaikan hal-hal yang personal dan ternyata mengerucutnya ke tema tersebut.

Perasaan serta kebutuhan memahami hal-hal yang lebih besar dari diri kita tapi tidak kunjung paham, konflik batin yang muncul dari situ, kerinduan akan sebuah jawaban atau akhir dari beban emosional ketidakpastian itu. Merasa bahwa kita semua ini sebenarnya sama-sama ‘berantakan’ dalam mencoba menjalani hidup, itu terasa sangat personal buat kami.

Spektrumnya memang cukup banyak sih, tapi intinya kami cuma ingin curhat dan sharing aja gimana kami menghadapi bahkan menyikapi beragam problem tersebut ; ada yang sambil nangis, ada yang emang teriak ingin marah-marahin orang-orang, ada yang senyum sambil ketawa tipis aja hahahaha. 

Apa momen di studio atau selama produksi EP ini yang paling berkesan buat kalian, baik secara emosional maupun musikal?

Mungkin bukan satu momen spesifik, tapi lebih ke keseluruhan proses ‘menerjemahkan’ konsep abstrak dan perasaan kompleks soal ketidakpastian itu jadi musik. Ada “aha moment” ketika kami akhirnya menemukan sound atau progresi kord atau lirik yang rasanya ‘klik’ banget sama feeling yang ingin disampaikan. 

Misalnya, ketika ternyata ada keputusan produksi yang awalnya diragukan tapi justru menambah “nyawa” pada lagu tersebut, seperti pada lagu ‘Euforia’ dan ‘L’avenir’. Atau pada momen ketika kami berlima bisa saling terkoneksi secara musikal untuk membangun atmosfer yang kami inginkan, itu selalu berkesan secara emosional dan musikal.

EP ini dirilis di saat lanskap musik Indonesia lagi seru-serunya nih. Di mana kalian memposisikan diri sebagai band dalam peta tersebut?

Kenyataan bahwa semua band ingin bisa survive dan relatable dalam konteks industri memang tidak terelakan, kami juga memiliki hasrat untuk itu. Namun kalau harus memposisikan diri kami di arus musik, kami bahkan lebih gak tau kalau kami ada dimana hahahaha. Gak tau dan gak mikirin juga kalau kami ada di satu liga yang sama dengan siapa.

Kalau boleh diibaratkan seperti sepak bola, mungkin kami ini tipikal gelandang bertahan kali ya? Hahaha. Bukan yang tugasnya mencetak gol lalu terlihat keren di depan (baca: mengikuti tren), tapi lebih fokus jaga ‘kedalaman’, mengalirkan bola, memotong ‘serangan’ (pikiran ruwet atau ekspektasi dari luar), dan mengatur ritme dari tengah lapangan.

Kami tidak mengejar jadi top scorer, tapi ingin jadi pemain yang bisa diandalkan buat ‘jaga rumah’ bareng-bareng. Tentunya kami akan sangat senang kalau ternyata karya-karya kami bisa relatable atau relevan ke banyak orang. Tapi dengan kemasan yang begini, kami juga gak tahu caranya seperti apa. Jadi ya terus berbuat aja untuk bisa terus menyampaikan apa yang ingin kami sampaikan, setidaknya itu menjadi ‘kemenangan’ yang berarti untuk kami.

Kemarin kalian membuat instalasi khusus saat event pra-dengar EP di Bandung kan ya? Seberapa penting peran estetika visual dalam mendukung identitas musikal The High Temples?

Meskipun fokus utama kami tentu di musiknya, kami sadar bahwa estetika visual adalah elemen yang sangat penting untuk memperkuat pengalaman dan identitas yang ingin kami bangun. Khusus untuk acara hearing kemarin, kami ingin memberikan apresiasi sebesar besarnya untuk East Indies yang menyediakan ruang yang look and feel-nya cocok banget, serta kolektif visual namanya KILAV (baca: kilau). Dalam waktu sangat singkat temen-temen KILAV bisa menginterpretasi sendiri karya dan ide kami ke ranah visual. Sehingga bisa menghadirkan pengalaman yang lebih utuh dalam mendengar EP “Then What.”

Kami rasa aspek visual bisa jadi jembatan lain untuk masuk ke dunia yang kami coba sajikan lewat karya-karya kami. 

Kalau kalian bisa mendeskripsikan EP ini dalam satu kata atau satu kalimat pendek, apa yang paling menggambarkan esensinya?

Seperti melihat kondisi negara akhir-akhir ini “Bingung kan lo? Sama kita juga.” Atau “Then What?!” tanya Prabowo dengan nada khas beliau setelah melihat rakyat saling bertengkar. Pilih aja mana yang cocok lah hahahaha.

Apa yang bisa pendengar harapkan dari The High Temples ke depannya? dan adakah rencana tur atau showcase dalam waktu dekat?

Saran dari kami sih jangan berharap apa-apa hahahaha. Mungkin yang paling pasti adalah perilisan EP ‘Then What,’ mungkin satu atau dua bulan kedepan yang diawali dengan satu single terlebih dahulu. Untuk masalah tour dan showcase sebenarnya sudah menjadi bagian dari milestone kami. Karena hal tersebut tentunya membutuhkan modal yang tidak sedikit, dan kami tidak bisa bergerak sendiri. 

Sedikit berkaca ke acara pra-dengar kemarin, acara tersebut terjadi sepenuhnya atas kolaborasi teman-teman dekat dengan semangat untuk berkomunitas, dan kami sangat bersyukur akan hal tersebut. Dalam konteks untuk mewujudkan aktivasi di level yang lebih tinggi seperti tour atau showcase memang tidak mudah, namun setidaknya kami sudah mulai memupuk modal yang paling penting yaitu kehadiran barudark (baca: teman, rekan, partner) di sisi kami.

***

Pada akhirnya, The High Temples tidak menawarkan jawaban, melainkan ruang untuk bertanya bersama. Mereka tidak mengejar tren atau posisi tertentu dalam lanskap musik Indonesia. justru dengan tidak tahu pasti arah yang dituju, mereka merasa lebih bebas untuk jujur berkarya. Dengan EP Then What. yang segera dirilis, band ini mengundang siapa pun yang sedang merasa bingung untuk ikut masuk ke semesta mereka, karena, seperti kata mereka sendiri, “Bingung kan lo? Sama, kita juga.”

Teks dan interview: Freykarensa