Bukan Musiknya yang Lesu, Tapi Saya (Kita) yang Terlalu Lelah

Musik nggak pernah kekurangan rilisan. Ia semakin berharmoni sana-sini. Tapi, justru kepala kita sudah terlalu penuh. Kadang, bukan musiknya yang kehilangan arah—tapi kita yang sedang cari pegangan.
Serenada musik tidak pernah kekurangan soniknya. Setiap hari Jumat nyaris jadi ritual kelahiran karya super duper baru—dari yang eksperimental, indie rock absurd, grindcore matematika, knup crusty intelek sampai hyper pop paling niche sekalipun. Teknologi produksi makin gila-gilaan, distribusi digital sungguh memanjakan dan puspa genre makin cair kayak obrolan ruang Discord maupun bahasan utopis metafora per-myuziek-an di sebuah tangkringan warmindo 24 jam. Namun, tiba-tiba satu pertanyaan menghinggap pelan-pelan, kemudian semakin bergulir kencang: Kenapa ya, belakangan ini makin malas mencari musik baru?
Padahal dulu, nge-Bandcamp sore-sore itu semacam meditasi. Digging rilisan obscure dari Afrika, netlabel asal Tokyo, surfing informasi karena rekomen teman-teman Last.fm atau menemukan entitas antah berantah dari Bandung semisal yang baru belajar nge-synth juga nge-growl secara bersamaan. Sekarang? Scroll lima menit saja sudah capek duluan. Bukan karena musiknya butut. Tapi karena kepala ini udah penuh, dan hati lagi tidak ada ruang.
Gini loh, setiap hari kita dijejali berita yang bikin mental berantakan. Di dalam negeri deh, politik makin nggak lucu, pejabat tambah rakus, ekonomi kian mencekik tak karuan. Resesi dimulai. Hanya bisa geleng-geleng. Kekerasan di mana-mana apalagi kerap dilakukan para aparatur. Marjinalisasi semakin marak. Miris. Rasanya ini kalimat yang tepat: Garoblog anjing setan!
Di luar negeri pun serupa, layar gawai kita dijejali dengan visual kehancuran: anak-anak Palestina kehilangan rumah, kehilangan orang tua mereka, kehilangan dunia yang layak. Jurnalis terbunuh, terbakar. Gencatan senjata tak kunjung merekah. Sementara itu, kita sendiri di rumah habis banting tulang berdagang ayam geprek, atau mencoba tetap waras sambil memohon pencairan surat jalan karena menggarap ilustrasi merchandise ke klien nggak digubris tiga bulan lewat dan tidak kuat melihat harga bahan baku pangan yang terus melonjak. Hadeuh gini-gini amat ya!
Dalam dunia seperti begini (sekarang), mendengarkan lagu baru bukan lagi pelarian, tapi malah jadi noise tambahan. Dan itu bikin kita merasa aneh. Dulu musik bisa jadi tempat pulang, sekarang malah terkadang jadi tempat yang nggak tersentuh samsek. Ditambah rutinitas berlangganan platform digital, yang “harus selalu” dilunasi di samping godaan rilisan fisik juga tawaran menarik potongan harga berlangganan English Premier League.
Manic Street Preachers pernah menulis dalam A Design For Life: “Libraries gave us power / Then work came and made us free”. Carik yang sarkastik, tapi tajam. Kita dijanjikan pengetahuan dan kebebasan, tapi malah dijebak dalam suatu sistem kerja yang nggak jelas ujungnya.
Atau si Mbak FKA twigs, dengan suara rapuhnya di Cellophane, melantunkan satu baris yang nempel di kepala, “Didn’t I do it for you?”. Nada kecewa dan lelah yang dirasakan banyak orang hari ini—terutama yang masih berusaha exist di tengah dunia yang minta terlalu banyak tapi memberi cenderung minim.
Ini semua bikin saya, kamu, bahkan kita sadar: mungkin bukan rilisan musiknya yang bermasalah, tapi keadaan kita yang sedang terlalu letih untuk menikmatinya. Lesu untuk terhubung. Lunglai untuk merasa.
Hal itu sangat valid. Kamu tidak salah kalau sekarang nggak sanggup mengulik rilisan baru. Kalian nggak kureng kok kalau playlist isinya lagu lama doang dan masih nempel secara abadi juga meant to be. Karena mendengarkan musik, pada dasarnya, butuh kondisi yang minim tekanan. Dan hari-hari ini, tekanan sudah jadi bawaan hidup.
Tapi ini juga momen buat refleksi lebih dalam. Bahwa cara kita mengonsumsi musik hari ini sangat dipengaruhi oleh kecepatan zaman—ulur algoritma, hadir budaya instan dan ekspektasi untuk selalu tahu yang terbaru. Kita dibentuk jadi konsumen, bukan lagi pendengar yang hadir secara khusyuk. Bahkan musik yang personal pun jadi bagian dari “performance” daring: memamerkannya di jahitan story IGs, menjadi playlist publik, label estetik atau memancing daya tarik kepada kecengan. Padahal mendengar lagu merupakan aktivitas intim—dan nggak semua hal harus dipublikasikan atau diarsipkan jadi selera.
Ada baiknya kita kembali ke musik sebagai medium eksistensial, bukan sekadar komoditas. Kembali merasakan musik bukan karena dia rilisan segar, tapi karena dia akan senantiasa berkoneksi dengan diri. Karena ia mewakili kegundahan, kemarahan, atau harapan yang sulit bisa kita ucapkan sendirian. Di situlah musik hidup—bukan di chart, bukan di halaman rekomendasi, tapi di dalam pengalaman manusia yang berantakan, remuk, lantas pelan-pelan coba pulih.
Tapi tenang aja. Musik akan tetap ada. Ia tidak pernah menuntut kita untuk jadi pendengar aktif setiap saat. Kadang musik itu sabar, dia menunggu di sudut ruangan—sambil berotasi pelan, tidak maksa, hanya menemani. Dan ketika hati ini mulai bisa bernafas lagi, ketika kita siap, musik akan kembali jadi teman yang hangat. Karena yang kita butuhkan sekarang bukan rilisan baru yang spektakuler, tapi ruang untuk kembali mendengarkan secara utuh.
Teks Oleh: Karel