Perangai Corak Death Metal Purba Gedor Pintu dan Manifesto Feral Wound

Menghirup busuk nan mematikannya nafas death metal purba yang bersemayam dalam Feral Wound, pendatang yang lebih dari sekedar main cepat–namun bejat.
Gema death metal purba kancah lokal seakan tak pernah habis peluru pembangkit nama-nama baru di detik-detik akhir zaman kini. Dari sekian banyak yang berhasil menarik perhatian, begitu banyak pula yang kualitasnya layak mayat hidup mengoyak keluar bangkit dari liang kubur yang baru berumur satu malam untuk menghantui kalian-kalian. Telinga busuk, berdarah kian amis. Segerombol mayat yang terbaptis dalam Feral Wound berhasil menggerus gendang telinga dengan hasil tak mengecewakan.
Tetesan darah dan titisan iblis rock n roll selalu menyemai benih-benih paten. Kadang rongsok. Kadang menohok. Untuk kali ini, semua berjalan seperti semestinya. Unit death metal punks asal Tangerang, Feral Wound, baru melesat dengan debut EP Desolate Dominion. Isinya? Nyawa-nyawa busuk tengik oldschool death berbalut hardcore punk beraroma keringat campur miras murahan yang teroplos menuju kriteria sempurna. Bengis. Bajingan. Thrash. Mental Funeral. Apa lah itu, anjing!? Setel volume mentok!!!
Untuk menjadi kurang ajar, death metal kadang tak perlu blast beat bahkan running double pedal bak senapan mesin. Eksperimentasi groove dan progresi riff pun mampu menghasilkan sebuah komposisi paten pula menjadi pondasi pakem lain. Unit yang dibentuk oleh Adit (Gitar) dan Bayu (Drum), Riza (Vokal) gabung belakangan. Ya, sialnya mereka berhasil biarpun mereka minim skill. Entah ini hanya merendah apakah sesuai fakta? Siapa yang tahu dan siapa pula yang peduli. Tak ada pun yang peduli jika mereka sebenarnya tidak terlalu mendalami death metal.
“Gue suka death metal tapi referensi ke Mammoth Grinder. Gue bisa nih kayaknya kalau main kayak gini. Terus ternyata Adit suka, ya udah lanjut aja gue bilang. Munculnya si Riza nih. Yang jadi kebetulan adalah, dulu sebelum gue pengen bikin Rekklus, itu sebenarnya band yang pengen dibentuk gue sama Riza. Terus, jadi gue sama Riza pengen bikin band, ‘eh bikin band yuk’, ‘ayo’. Terus, ayo kita cari vokalis. Terus, gue nyari vokalis. Akhirnya memutuskan mengajak Riza. Malah jadinya duluan tuh si Rekklus,” tambah Bayu.
“Ini fun fact, pas latihan pertama tuh sebenernya gue expect-nya Riza tuh jadi vokalis sambil main bass. Di latihan pertama dia udah bawa efek segala. Terus, udah megang bass, ngeliatin gue main lagu Feral yang waktu itu udah jadi. Waktu itu, setelah ngeliat gue main, bassnya ditaruh. Udah ah, susah,” ujar Adit yang diakhiri dengan cengengesan bersama semua personil.

Mereka pun mengaku minim skill, hanya ingin memainkan sonik death metal yang mereka mampu. Seraya menggeber materi dengan output yang bisa dibilang cukup impresif dan tidak pretensius, biar pun Adit berkata jika ia di band-band sebelumnya adalah pribadi yang perfeksionis. Di sini ia menurunkan standar, bangsatnya tetap patut untuk disimak.
“Intinya sih, selama bikin musik, selama bisa bikin pogo gedor pintu, aman,” ujar Riza
Riff thrash terlalu melekat pada Adit, sisa-sisa puingnya di Thrashpit masih melekat. Diberi nyawa-nyawa hardcore punk yang melekat di dua personil lainnya. Hasilnya menjadi komposisi unik walaupun bukan hal yang baru. Morbid Angel, Cancer, Benediction, hingga Mammoth Grinder kadang Autopsy pun menjadi kiblat patokan. Lebur jadi satu. Bangsatnya, melahirkan anak haram epik, apik, selengekan, bandel dan gagah. Tanpa basa-basi dan pura-pura. Apalagi tanpa menjadi copycat. Taik. Death purba. EP Desolate Dominion pun jauh dari ekspektasi awal yang dibayangkan.180 derajat.
Pasca rilis pun langsung gilas lanjut dengan agenda tur di beberapa kota. Hanya waktu yang menjadi perihal sulit. Akan tetapi, tak terlalu mengganggu jadwal kegiatan sehari-hari. Ya, dengan EP yang menjanjikan, trio bajingan ini berkelakar perihal mengapa mereka patut diperhitungkan.
“Karena musik gue keren,” Adit berujar tanpa basa-basi.
“Gimana, Jack?” Riza mengamini.
“Keren mentok, parah.”
“Gitu doang. Keren mentok. Gue sih nggak pretensius sama musik yang gue bikin. Jadi gue nggak yang ‘oh band gue harus menjadi band yang paling death metal atau band paling ngebut diantara band punk.’ Nggak,” jelas Adit.
Ya, saya selalu percaya dan suka kepada musisi yang tanggah menaikkan dagu diiringi percaya diri jika memiliki materi yang total bangsat. Mereka pun memberi rekomendasi beberapa band lokal yang patut diperhitungkan. Mentolerir bangsat permanen yang tak memiliki keahlian dalam mengingat adalah hukum wajib, beberapa nama ini mereka sebut.
“Demon Sacrifice, Sayat, Mass-49, TRRRHT, Spaktra dan beberapa nama lain.”
Perihal rilisan fisik pun, saya mendapat perspektif menarik.
“Karena udah nggak relevan juga kalo lo mau cuman dengerin dari fisik doang. Karena gini, banyak band-band di luar sana yang nggak punya kesempatan atau nggak punya modal, atau nggak punya berbagai macam privilese untuk bikin rilisan fisik. Tapi band-band itu juga keren dan patut buat lo denger dan patut buat masuk radar lo,” racau Adit.
“Terus kalo mereka nggak ngeluarin rilisan fisik, mereka nggak lo anggap sebagai band yang real gitu? Kan nggak dong? Makanya gue agak kontra sama ada beberapa slogan ‘only physical records are real’. Tapi menurut gue itu nggak relevan. Dan itu lo menihilkan usaha dari band-band yang nggak punya privilese buat bikin rilisan fisik karena nggak dapet kesempatan itu,” tambahnya.
“Tapi untuk si Feral, rilisan fisik sepenting apa?” sambar saya.
“Kalo buat Feral, only physical records are real. Haha. Nggak ya, cuma sekedar collectible items. Kebetulan gue koleksi juga, tapi nggak nyampe taraf kolektor lah. Jadi, gue seneng kalo gue punya rilisan fisik. Gue akan mati-matian lah agar band gue bisa ada rilisan fisiknya. Cuman kalo buat umum itu udah nggak relevan aja sih,” jawabnya.
Teks: Dimas Dritt