Memperkenalkan Kembali: Bla Bla Blast!

Mari mengingat kembali eksistensi dari Bla Bla Blast!, unit nintendocore berstatus legendaris nomor wahid di ranah lokal.
Penghujung tahun 2000an hingga awal 2010an merupakan era yang paling menyenangkan bagi para penikmat musik chiptune. Pergerakannya terasa sangat masif dan juga mendapatkan eksposur besar-besaran – tak terkecuali di Indonesia. Kehadiran komunitas Indonesian Chiptunes membuat gaung dari musik tunit-tunit ini terdengar luas hingga menggapai radar media mainstream. Kehadiran perwakilan dari komunitas tersebut di berbagai acara TV bukan sesuatu yang aneh lagi pada saat itu. Belum lagi para label musik mainstream pun mencoba riding the wave dengan mengontrak beberapa band yang memainkan arsiran dari jenis musik tersebut.
Jika berbicara mengenai proyek musik yang hadir dan aktif di kancah chiptune lokal, Bla Bla Blast! merupakan salah satu nama paling memorable bagi saya. Karena memiliki karakter sound yang unik, bahkan jika dibandingkan rekan sejawatnya seperti Microgore, Bibir Merah Berdarah ataupun Delayed Desire yang sama-sama membawakan style nintendocore. Apa yang dibawakan oleh Bla Bla Blast! terdengar lebih melodius dan memiliki nafas emo (pada masanya) yang cukup kentara. Bukan sesuatu yang mengagetkan, mengingat dua dari tiga personilnya merupakan tokoh aktif di kancah tersebut, yaitu Ferron Wesley (ex-personil ARCK) dan Dochi Sadega (Pee Wee Gaskins, The Side Project). Sedangkan satu personil lainnya adalah dedengkot chiptuner asal Semarang, Rico Julian (Hellostereo).
Debut EP mereka, Paranoia (2007) saya rasa cukup sah untuk dinobatkan sebagai salah satu rilisan influential di ranah chiptune lokal. Karena berhasil mempengaruhi para penikmat musik keras untuk sedikit memalingkan pandangannya pada musik yang terdengar childish ini. Melalui keempat trek yang tersaji, Bla Bla Blast! membuat formula futuristik yang menggabungkan antara teriakan agresif ala emo/metalcore, gitar penuh distorsi serta bebunyian sintesis dari perintilan antik yang diolah secara digital. Namun sayang, format trio tersebut tak bertahan lama dan memasuki masa hiatus tanpa alasan ataupun kabar yang jelas. Tapi, kalau menurut asumsi saya, sih, jarak jadi salah satu alasannya. Mengingat ketiga personilnya harus berkarya dengan kondisi LDR antara kota Jakarta, Semarang, dan negara Belanda.
Sebelum akhirnya pada tahun 2011, secara mengejutkan Bla Bla Blast! dihidupkan kembali dengan warna musik yang berbeda dan lebih modern pada masanya. Kala itu, Ferron – sebagai satu-satunya personil OG – mengajak Altama Sidarta (ARCK, Fernie Sue), Aldy Firstanto (Seems Like Yesterday), Bayu Adisapoetra (Elephant Kind, Soft Animal), dan Irzan Raditya (ex-personil Not Called Jinx). Momen comeback tersebut ditandai dengan perilisan single “Inglorious Blastards”, merchandise, dan peresmian terhadap fanbase mereka yang diberi nama Blastards. Namun, lagi-lagi formasi tersebut pun hanya bertahan seumur jagung saja lalu kemudian bertransformasi (lagi) pada tahun 2013 menjadi format duo yang memainkan musik EDM dengan style dubstep dan turunannya.
Alih-alih menyempurnakan karakter yang sudah lekat dan identik dimiliki, mereka tak berhasil mempertahankannya dan mengubah formulanya untuk membawakan musik trendi pada masanya yang terdengar medioker. Sekalipun mereka berusaha untuk memantik para penggemar lamanya dengan melakukan remix trek A Riot In My Babys Bedroom dari rilisan magnum opus mereka, hasilnya terasa gagal. Alih-alih membuat tertarik, malah membuat saya lebih merindukan Bla Bla Blast! format OG-nya. Tentunya ini sebuah progress yang cukup mengecewakan. Karena di antara ketiga era formasi tersebut, formasi terakhir ini sukses membuat saya enggan mengikuti kiprah mereka lagi.
Untuk saat ini, dibanding mengharapkan agar Bla Bla Blast! kembali aktif, saya lebih berharap kemunculan proyek musik baru di ranah lokal yang membawakan style musik serupa. Walaupun, secara personal saya berhutang banyak kepada mereka. Karena karya yang mereka hasilkan berhasil mendefinisikan selera musik masa remaja saya. Serta menjadi alasan utama kenapa pada saat itu mengulik beragam teknologi untuk memproduksi musik digital. Mulai dari sebuah program gameboy music sequencer bernama LSDJ hingga mempelajari seluk-beluk dari FL Studio. Sayangnya, sampai saat ini saya baru menemukan Son of A Bit! saja yang cukup mendekati benang merah dari karya yang Bla Bla Blast! bawakan. Itu pun merupakan proyek musik yang kini sudah tak terlalu aktif.
Tak muluk rasanya untuk mengharapkan proyek musik serupa untuk tumbuh menjamur, karena secara tak disadari kini embrionya sudah mulai terlihat. Entah sebagai ajang nostalgia ataupun sebagai sebuah tren yang kembali populer.
Beberapa contohnya adalah Hallam Foe yang merilis versi nintendocore dari trek Sebuah Seni untuk Bersikap Morbid yang diberi judul “SxSxUxBxM (Bitcrushed)“. Juga trek Haunter dari Misanthropy Club yang menyisipkan bebunyian berfidelitas rendah sebagai key point dari aransemennya. Belum lagi di ranah internasional juga sedang ramai narasi cybergrind revival yang dipicu oleh nama-nama seperti ZOMBIESHARK!, Blind Equation, Thotcrime, dan lainnya. Sehingga tinggal menunggu waktu saja sebelum wave tersebut pada akhirnya sampai dan populer di Indonesia. Semoga terjadi secepatnya.