Runner’s High dan Estetika Bandel

Melihat lari lebih dari sekedar olahraga—tapi momentum, di mana kamu bisa hadir secara utuh dengan estetika ‘bandel’ tak tahu aturan sekalipun.
Di Sabtu pagi yang sunyi dan sedikit lengket, seorang pelari menyelinap di antara mobil-mobil yang mulai menyala, mengenakan kaos pudar Cro-Mags, celana pendek tiga inci dan sepatu lari terbaru dengan teknologi pelat karbon. Ia menyelesaikan 5K-nya tanpa catatan waktu yang memecahkan apa pun, kecuali ekspektasi sosial. Di garis akhir, alih-alih recovery drink rasa stroberi sintetis, ia meraih bir dingin dan melemparkan high five ke kawannya. Keringat di kaosnya membentuk pola aneh, seperti stiker band yang menempel miring di gitar. Tak ada yang peduli. Karena ini bukan tentang disiplin, ini tentang menemukan tempat di mana tubuh bisa lari dan tetap jadi diri sendiri.
Hari ini, fashion lari mengalami kelahiran kembali—tapi dengan luka, bekas gigitan waktu, dan sentuhan bising sonikal.
Cotton Is Dead, Long Live Cotton!
Dulu, katun dalam olahraga adalah bahan yang dibuang. Terlalu berat, terlalu menyerap, terlalu “tidak tahu diri.” Ia tidak quick-dry, tidak cepat menyerap keringat, dan tidak punya performa matriks yang bisa kamu unggah ke Strava. Tapi lalu datang Satisfy Running dari Paris, membawa katun kembali dari liang kubur. Tidak sebagai zombie, tapi sebagai pahlawan anti-hero: berdebu, tak sempurna, dan penuh jiwa.
Satisfy memproduksi kaos yang terlihat seperti hasil tabrakan antara mode runway dan venue gigs kolektif. Ada lubang, ada robekan, dan lusuh seperti kaos Poison the Well kesayanganmu yang pernah tersundut rokok di Purnawarman. Koleksi seperti Moth Eaten Tee atau PeaceShell Shorts tak hanya berbicara kepada tubuh, tapi kepada memori—tentang gigs penuh keringat, tentang lebam sehabis moshing, tentang siapa kamu sebelum kamu punya jam Coros.
Dalam era yang penuh gimik teknologi, katun tampil sebagai bentuk intimasi material. Ia jujur. Ia menyerap semua: keringat, bau, kenangan. Ia tidak menawarkan ilusi—dan karena itu, ia lebih manusiawi dari dryfit apa pun yang pernah dibuat.
Di Jakarta, Bandung, Jogja, dan kota-kota lainnya, kaos band menjadi artefak identitas dalam lari. Kaos-kaos dari band seperti Shelter, Godflesh, SPY, Youth of Today hingga Slayer menjadi seragam informal para pelari-pelari ini: bukan karena mereka ingin terlihat unik, tapi karena itulah kaos-kaos yang mereka pakai di keseharian mereka, dan itu justru indah.
Ini adalah fashion sebagai anti-fashion. Atau, untuk meminjam istilah dari kultur teori postmodernisme, ini adalah simulacrum pelari—representasi dari pelari yang menolak menjadi pelari konvensional. Kaos band adalah bendera kecil: pernyataan bahwa “aku ada di sini, tapi dengan cara yang berbeda.”
Seorang pelari dengan kaos band obscure dari 10 tahun lalu dan sepatu lari terbaru berharga jutaan bukan sedang membuat pernyataan gaya. Ia sedang menyatukan dua dunia yang selama ini dianggap terpisah: agresi dan kelembutan, disiplin dan disonansi. Dan ketika tubuhnya bergerak menyusuri aspal dengan ritme kasar, ia bukan hanya sedang lari. Ia sedang membentuk puisi tentang siapa dirinya—dalam tempo 170 langkah per menit.
Tak mengherankan jika komunitas-komunitas alternatif mulai bermunculan. Mereka semua menciptakan ruang-ruang di mana lari bukan soal podium, tapi soal pertemanan dan pelampiasan. Seperti gigs kecil di akhir pekan, mereka bukan tentang jumlah penonton, tapi siapa yang datang dan mengapa.
Di dalamnya, kamu akan menemukan orang-orang yang bekerja di agensi iklan siang hari, tapi moshing di konser punk atau dansa-dansi pada dentuman drum ‘n bass di malam harinya. Orang-orang yang larinya cepat tapi hidupnya berantakan—dan itu tidak apa-apa. Lari menjadi bentuk rekonsiliasi: antara tubuh dan trauma, antara pace dan passion.
Pun soal bir dingin setelah lari adalah paradoks yang terlalu logis. Seperti breakdown dalam lagu powerviolence: tidak perlu ada, tapi ketika muncul, semua menjadi lebih masuk akal. Di tengah dunia wellness yang serba steril dan hijau alpukat, minum bir setelah lari adalah bentuk resistensi yang lembut, semacam pernyataan bahwa tubuh tak harus selalu “baik.” Kadang tubuh ingin bersenang-senang. Kadang, tubuh hanya ingin menjadi tubuh.
Dalam kamus pelari-pelari ‘bandel’ ini, mabuk bukan bentuk kehilangan kendali, tapi selebrasi kecil. Ia menyatukan peluh dan tawa. Ia menciptakan liminal space—antara selesai dan belum selesai. Tubuh yang tadinya sendiri dalam kilometer panjang kini duduk bersisian, menghapus batas performa, dan membiarkan kita tertawa dalam kelelahan.
Fashion Sebagai Kritik dan Kanal Cerita
Lari yang kamu lihat hari ini bukan hanya tentang kecepatan, tapi tentang cerita. Tentang kaos Dystopia yang sudah sobek di ketiak. Tentang celana tiga inci yang juga dipakai saat menyambangi gigs di Dago Elos. Tentang sepatu yang dibeli waktu diskon besar-besaran, karena runner’s high datang bukan dari harga mahal, tapi dari niat yang tulus.
Fashion di kancah ini tak lagi berfungsi sebagai alat untuk terlihat “sehat.” Ia berfungsi sebagai kode. Sebuah bahasa diam antar pelari yang tahu, yang paham, yang melihat logo band obscure di punggungmu dan langsung merasa sedikit lebih dekat.
Akhirnya, fashion dalam dunia lari hari ini bisa dibaca sebagai kritik terhadap kapitalisme performatif. Ketika brand-brand besar berlomba-lomba menciptakan gear dengan bahan dan teknologi terbarukan, pelari-pelari ini muncul dengan kaos Full of Hell sobek, mencoba menciptakan ruang tandingan. Mereka bukan menolak teknologi, tapi menolak dominasi tunggalnya.
Dengan mengenakan katun, mereka mengatakan bahwa tubuh masih punya hak bicara. Dengan memakai kaos band, mereka membawa sejarah pribadi ke ruang publik. Dengan menenggak bir setelah lari, mereka mengatakan: “Kesehatan bukan hanya tentang nutrisi dan training block. Tapi juga tentang tawa, keintiman, dan menjadi manusia.”
Mungkin inilah postmodernisme dalam tubuh: tidak ada kebenaran tunggal. Tidak ada satu cara benar untuk berlari. Ada pelari-pelari yang berlatih interval tiga kali seminggu, dan ada pelari-pelari yang keluar rumah hanya karena butuh ruang untuk menenangkan pikiran, mengenakan kaos band chaotic dari Bandung Selatan, dan pulang dengan kepala sedikit tipsy.
Dan mungkin, mereka semua sah. Karena lari, hari ini, bukan lagi hanya tentang garis finish. Tapi tentang keberanian untuk membawa semua bagian dari hidupmu—musikmu, bajumu, kesalahanmu, dan sedikit alkohol—ke dalam langkah-langkah itu. Dan ketika kamu berdiri di bawah sinar matahari pagi, kaos katun basah, dengkul gemetar, dan tangan menggenggam bir, kamu tahu: kamu bukan atlet. Tapi kamu nyata.
Dan kadang, itu lebih penting dari apa pun, ini adalah pelari paling jujur dari semuanya. Bukan karena mereka cepat. Tapi karena mereka utuh.
Teks: Mirza P. Wardhana