X

Panggung, Adrenalin, dan Batas yang (Kadang) Kabur

by webadmin / 5 months ago / 486 Views / 0 Comments /

Bebas bukan berarti tanpa batas. Energi liar bukan alasan untuk andalkan fisik semata. Kalau panggung adalah ruang ekspresi, bukankah penonton juga punya hak yang sama?

Sebuah refleksi…


Kancah musik independen lokal memang tak habisnya memunculkan liuk dinamika di setiap gelembungnya. Ya, seperti beberapa tempo lalu, guliran liganya ini sempat mendapat secuil kegaduhan. Sebuah video viral menampilkan Delpi Suhariyanto, frontman unit punk Dongker, yang menendang seorang fans saat sedang perform. Wajahnya kelihatan gusar—mungkin merasa terganggu, mungkin juga spontan. Seperti biasa, internet lantas meriuh. Ada yang membela dengan dalih “ya memang begini ranahnya,” ada yang ngamuk-ngamuk juga mengutuk keras di kolom komentar, ada juga yang cuma jadi penonton pasif, menikmati kekacauan di lini masa. Singkat cerita pasca gontok-gontokan daring tersebut, Delpi bikin pernyataan maaf dan mengakui kesalahan perbuatannya di laman Instagram pribadi. Kasus kadung terjadi. Tanpa bermaksud menyudutkan, namun ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana ini bisa terjadi?

Kita semua tahu, scene musik bawah tanah—entah mulai dari poros punk, hardcore, metal, grindcore, dan saudara-saudaranya—bukan sekadar tempat buat mendengarkan lagunya saja. Ini arena pelepasan energi bahkan stress relief bagi banyak individu. Tempat orang-orang dapat bergetar sebut saja riak moshing, pogo dancing, stage diving, wall of death, atau sekadar jumpalitan bersamaan tanpa harus merasa aneh. Ada semangat kolektif yang mengalir deras, ada kegilaan yang justru jadi daya tarik. Tapi… kapan ekspresi berubah jadi kekerasan? Apakah musisi punya hak mutlak atas panggung sampai bisa main tangan ke penonton? Atau kita semua sudah terlalu lama menganggap hal ini wajar tanpa pernah benar-benar mempertanyakannya?

Di sirkuit gigs bawah tanah, batas antara musisi dan penonton itu sungguh cair. Nggak ada boundaries, nggak ada crowd control berotot ala festival besar. Yang di bawah bisa naik ke atas, yang di atas bisa loncat ke bawah. Rusuh? Pasti dengan catatan saling rangkul dan jaga satu sama lainnya.

Namun ada kalanya situasi dapat berubah. Ada penonton yang naik panggung karena terlalu excited, ada yang tidak sengaja menyenggol alat musik, ada yang kelewat in your face sampai bikin si player merasa terganggu. Reaksi spontan pun terjadi—dan kadang, reaksi itu tak cuma verbal, tapi juga menjurus ke fisik.

Kasus seperti ini bukan barang baru. Dari panggung kecil di gig gorong-gorong hingga konser dengan ribuan penonton, ketegangan antara musisi dan crowd selalu ada. Terkadang, penonton lupa bahwa batasan tetap dibutuhkan di ruang sebebas apapun. Di sisi lain, ada juga musisi yang merespons dengan cara yang terlalu agresif, seolah panggung adalah wilayah sakral yang tak boleh disentuh sembarangan.

Banyak orang menganggap bila di kancah (semisal) hardcore/punk itu cenderung agresif nan liar, padahal ada aturan tak tertulis yang bikin semuanya tetap aman terkendali. Salah satunya, “pick up your fallen brother, dudes! Siapa pun yang jatuh di area moshpit harus segera diangkat tanpa disuruh. Kalau ada yang kelewat brutal, biasanya crowd sendiri yang bakal menegur atau menertibkan dengan sendirinya. Juga bila tak kuat berada di pit sekalipun, tinggal menepi sejenak atau nikmati di shaf belakang, karena perlu dicatat: posisi menonton gigs bukan penentu antara yang cupu dan garang.

Ini bukti bahwa di dalam kegilaan itu, seharusnya ada keseimbangan. Ada etika yang memastikan semua orang tetap bisa menikmati pertunjukan dengan aman. Maka pertanyaannya: kenapa aturan serupa kadang luput di atas panggung?

Musisi memang punya hak atas performanya, tapi apakah itu berarti mereka boleh melakukan kekerasan sesuka hati? Kalau iya, apa bedanya dengan aparat yang sering dikecam karena bertindak represif di acara musik? Bukankah kolam ini lahir dari semangat kebebasan,  kolektivitas, sefrekuensi dan sama-sama melawan gerusan arogansi tahi kucing?

Sebaliknya, penonton juga punya tanggung jawab. Datang ke show berarti paham aturan mainnya. Bukan sekadar tahu cara moshing, toh ngeh kapan harus stop. Jangan nyelonong naik panggung kalau tidak paham situasi. Jangan ganggu musisi kalau nggak mau direspon. Jangan sampai euforia berubah jadi insiden yang tidak perlu.

Intinya; ketika di sebuah gigs terutama di ranah independen, itu merupakan marwah kesenangan kolektif. Musisi butuh penonton, penonton butuh musisi. Ada relasi mutual yang harus tetap dipelihara. Kebebasan berekspresi itu penting, tapi kalau tidak dibarengi dengan kesadaran dan respek, ya ujung-ujungnya cuma jadi banter-banteran tanpa makna. Jadi, lain kali kalau ada insiden di panggung, coba tanya dulu: ini ekspresi, atau cuma ego yang kelewat batas? Jawabannya sederhana yakni mengukuhkan mentalitas dan nurani yang saling berkelindan bijak guna menanggapinya. Peace out!

Teks: Karel