Review: Garis Buram Antara Tribut dan Eksploitasi di Blonde (2022)
Menonton sebuah film biopik selalu menjadi pengalaman yang ajaib bagi saya. Ah kata ‘ajaib’ yang saya gunakan di kalimat sebelumnya mungkin terkesan bualan atau sok teknis – tapi sejujurnya itulah yang kerap kali saya rasakan. Di satu sisi, film biopik seakan memberikan saya perspektif baru perihal tokoh non-fiksi yang dirujuk sebagai acuan alur filmnya – di luar pengetahuan saya pribadi akan latar belakang sosok tersebut. Di sisi lain, film tersebut seakan membuat saya bodoh dan mempertanyakan kembali: “Masa sih gini amat hidupnya dia?”
Lucunya, itulah yang saya rasakan ketika selesai menonton film ‘biopik’ mendiang Marilyn Monroe yang berjudul Blonde (2022) di Netflix.
Sebagai disclaimer sebelum kamu membaca lebih jauh dan menampik ulasan ini, akan saya akui kalau saya menonton film tersebut tanpa mengetahui terlebih dahulu ternyata naskah film tersebut diangkat dari sebuah novel ‘biopik fiksi’ yang berjudul sama karangan dari seorang penulis bernama Joyce Carol Oates.
Juga saya hanya penikmat film amatir yang hanya bisa menuangkan pengalaman menonton film dari kacamata naif saya sebagai penonton. Tapi bukankah itu tujuan sebuah ulasan? Untuk memberikan perspektif dari berbagai spektrum? Ah, malah justifikasi lagi. Tapi saya yakin kamu paham maksud saya yang berperan sebagai buruh tulis.
Maka dari itu, saya akan paparkan secara gamblang impresi saya dari perspektif sebelum menyadari akan konteks rujukan novel yang diangkat oleh Blonde. Okay? Let’s get into it.
Dari segi visual, Blonde menyuguhkan artistik yang top-notch sebagai film art house. Betul. Art house. Pengambilan sudut gambar, paduan warna sampai transisi dari satu adegan ke adegan lain sepertinya memang dipikirkan dengan seksama. Entahlah. Mungkin itulah arah yang ingin dituju oleh sang sutradara, Andrew Dominik.
Namun dari segi narasi dan alur cerita film, ketika selesai menonton film tersebut saya malah bertanya-tanya seperti yang saya sebutkan di awal tulisan ini. Apa betul masa hidup Marilyn Monroe sesuram dan sedepresif itu? Apa betul paruh kehidupan masa dewasa Monroe hanya tentang seks saja? Masa sih?
Nah dari pertanyaan itu barulah saya mengulik lebih jauh latar belakang penggarapan Blonde – yang ternyata memang diadaptasi dari karya tulis yang fiktif juga. Meski memang beberapa peristiwa di dalam filmnya berlandaskan real life events, rasanya yang terlalu diekspos di dalam film tersebut hanyalah eksploitasi fiktif yang tak ada juntrungannya. None. Nein. Nihil. Blonde seakan hanya menjadi film pemuas sang sutradara atau pun investor di balik film ini untuk bisa cash-in atau masturbasi prestasi lewat garapan artistik top-notch yang sialnya menggunakan tameng sosok orang lain untuk meraihnya. Rasanya dibanding masuk kategori film biopik, Blonde lebih cocok disebut sebagai film celeb-ploitation.
Tapi entahlah. Setelah membaca beberapa artikel ulasan lainnya tentang Blonde, ada beberapa tulisan yang menyuguhkan perspektif bahwa film tersebut bisa dianggap sebagai ‘tribut’ terhadap mendiang Marilyn Monroe – namun yang divisualisasikan dalam format yang lebih kelam dan depresif. Ada juga beberapa ulasan yang menganggap Blonde adalah sebuah film kritik terhadap brengseknya para penguasa di Hollywood industri yang dengan tanpa ampun memanipulasi orang-orang di dalamnya demi kepentingannya sendiri.
Well, sebagai penikmat film seruntulan dan amatir, saya hanya akan teguh terhadap pendirian saya sendiri bahwa Blonde ini tetap film biopik yang menyebalkan karena jalan ceritanya yang tidak memberikan informasi atau khasanah baru akan sosok bom seks di tahun 60-an tersebut. Nonetheless kalau kamu penasaran, silahkan tonton saja. Namun rasanya tak muluk untuk saya ingatkan bahwa beberapa adegan di film tersebut bisa trigerring untuk beberapa orang yang tak kuat terhadap adegan film suspensing dan cenderung memiliki nuansa eksploitasi seksual.