Merespon Diskusi Terminologi dengan Nihil Emosi
Hadirnya kericuhan tentang terminologi musik punk sepertinya semakin meyakinkan bahwa disparitas komunikasi antar-generasi di skena itu nyata.
Bukan maksud ingin membuka koreng luka yang sudah perlahan kering, tapi mungkin saya rasa ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan respon soal keributan ‘intelektual’ yang terjadi beberapa waktu lalu di lahan internet perihal keteguhan dua sudut sirkel lintas generasi-juga-pergerakan akan keabsahan penggunaan terminologi suatu sub-ceruk musik [pop] punk [rock].
Pertama-tama, tentu saya akan mengambil pijakan dulu agar tak terkesan bias untuk merespon kejadian tersebut.
Dengan segala kewarasan dan keselarasan sudut pandang, saya bisa dengan lapang dada menyatakan bahwa saya setuju bahwa terminologi macam pop punk atau melodic punk memang terjadi dan nyata adanya. Tentu di luar aspek diskursus soal dinamika makna diksi yang lama-lama cenderung peyoratif seiring perubahan zaman serta trennya, pop punk atau pun melodic punk adalah suatu pengistilahan yang sempat diemban oleh para pelaku, penikmat dan juga pengamat skena musik di zamannya.
Bahkan saya pun sempat menulis buku perihal itu dengan titik lini masa dan geografis yang spesifik – di kota Bandung. Entah bisa menjadi acuan atau tidak, tapi setidaknya dari hasil riset yang sudah saya tempuh, terminologi pop/melodic punk memang konkret dan nyata. There, I said it.
Tapi satu titik yang saya ingin respon soal huru-hara media vs abang-abangan kemarin adalah bagaimana kentaranya disparitas aspek komunikasi antar generasi (atau pun skena) yang begitu tersirat baik di sumber poros diskusinya (baca: artikel dan responnya) sampai curahan aspirasi warga-skena-net yang terlihat di kolom komentar.
Menarik. Itu yang muncul di benak saya untuk pertama kalinya ketika mengamati dan meyimak satu demi satu komentar yang tertoreh di lahan diskusi kolom komentar Instagram tersebut. Lucunya, saya memang sudah tak berhasrat untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan ranah atau ceruk musik juga skena tersebut. Tapi berkat beberapa kawan-kawan yang begitu menyayangi saya, banyak yang memberikan tautan akan ‘diskusi’ tersebut secara langsung ke saya dan mereka pun berharap untuk saya turut terjun ke pusaran opini dan terpaan referensi pengetahuan tersebut. Mengherankan.
Jelas-jelas masalah hidup saya sudah banyak, kenapa mereka ingin sekali membuat saya lebih menderita dan lekas membunuh diri saya sendiri.
Tapi yaaa, kembali lagi ke poin perihal disparitas alur komunikasi yang saya sebutkan di atas tadi. Sepertinya hal itu memang sebuah hal yang klasik terjadi dari masa ke masa – tak hanya skena, di kehidupan sehari-hari pun toh memang terjadi; generasi ini lebih baik dari generasi itu, masa lalu lebih baik dibanding masa sekarang, enakan dulu dibanding sekarang, ini paling benar soalnya yang itu salah. Sebuah siklus yang repetitif dan pasti akan terjadi. Stockholm syndrome shit.
Namun sepertinya huru-hara kemarin adalah sebuah ledakan yang akhirnya memang harus terjadi guna semakin memperjelas bahwa jenjang generasi itu ternyata eksis. Hal itu sebetulnya tak bisa dipukul rata sebagai hal yang baik atau buruk, karena pada akhirnya ketika ada jarak komunikasi yang membuat ketimpangan informasi dan pemahaman, berarti ada alur yang tidak tersampaikan sehingga terjadinya konflik macam itu.
Ah, coba saya kemukakan dengan konteks yang lebih jelas: debat/diskusi/rariweuh soal terminologi itu terjadi memang karena kedua sudut memang tak pernah (ada upaya untuk) membangun komunikasi yang terstruktur. Entah memang ada sentimen pribadi atau kultural, tapi bukankah salah kaprah komunikasi antar generasi biasanya terjadi karena asumsi satu sama lain?
Tak perlu kita bicara skena, lihatlah saja dinamika keluargamu sebagai contoh kasus yang mendekati perihal disparitas komunikasi antar generasi ini. Untuk kamu yang berstatus anak, kamu pasti pernah merasa orang tuamu tak paham dirimu menghadapi masalah macam apa. Juga sebaliknya bagi kamu yang kini mengemban status sebagai orang tua, kamu pasti bingung kenapa anakmu bertindak sangat berbeda akan harapanmu dan kerap kali membangkang.
Tapi pasti ketika ada momen berbicara satu sama lain yang suasananya terbilang kondusif, mungkin titik terang atas semua ketidakpahaman ini bisa mendapatkan titik tengah yang good enough untuk kedua belah pihak.
Ah mungkin opini saya ini pun bisa jadi bahan cemoohan karena terkesan pasifis. Tapi setidaknya sebagai manusia di paruh kepala tiga, sebaiknya semua hal dihadapi dengan sebaik mungkin dan selancar mungkin – karena masih banyak masalah lain di dalam hidup ini yang perlu diprioritaskan.
Don’t get me wrong, I do love the music, the people and the scene. But sometimes there are things you need to work out first to make your life happen then you can proceed other things afterward.
Pada akhirnya, semua berhak beropini dan berdiskusi. Tapi rasanya, kalau memang ada yang bisa lebih diprioritaskan untuk dipikirkan dan diberikan energi, kenapa tidak lebih didahulukan guna memaslahatkan kehidupan yang singkat ini. Tentunya ini hanya sebuah pengingat bagi diri sendiri – mungkin juga bisa mewakili beberapa kepala yang satu frekuensi di luar sana.
Damai untuk kita semua.