Zom 100: Bucket List of the Dead dan Depresi Budaya Overworked

Zom 100 menceritakan kisah absurd tentang wabah zombie yang terasa jauh lebih baik ketimbang dieksploitasi tempat kerja.
Sebenarnya saya bukan termasuk penikmat live action. Bahkan rasa ketertarikannya pun bisa dibilang nihil. Meski genre film ini bisa dibilang tidak termasuk yang terlampau full-fantasy sehingga cukup riskan untuk mengemasnya versi live action karena cenderung tampil tak lebih bagus dari animasinya – bahkan bisa jadi lebih busuk.
Tapi mengapa akhirnya saya memutusan Zom 100: Bucket List of the Dead ini untuk masuk daftar tontonan saya? Alasannya hanya satu; jadwal penayangan episode kelima dari animenya yang mundur satu pekan dari waktu seharusnya.
Ibarat menahan buang air kecil dalam mobil yang terjebak macet sepanjang dua kilometer, maka mengompol adalah satu-satunya jalan terbaik. Euh, mungkin itu bukan analogi yang masuk akal. Tapi intinya, saya akhirnya memutuskan untuk menyimak live action-nya karena dipaksa oleh keadaan.
Tanpa ekspektasi lebih terhadap aspek visualnya, sejak awal menyimak versi animasi dari Zom 100, saya tertarik dengan ide yang disuguhkan oleh sang kreator Haro Aso – orang yang sama di balik cerita Alice In Borderland; melihat apokalips zombie sebagai jalan keluar dari rutinitas yang monoton dan penuh tekanan dalam dunia kerja.
Sebenarnya saya bukan penikmat film dengan tema survival dari zombie, mummy, vampir atau apapun format mayat hidup lainnya. Jadi mohon dimaafkan jika ulasan ini minim referensi. Film sepopuler Train To Busan pun tak berkesan dalam kepala saya. The House of the Dead hanya sebatas tahu formatnya sebagai game arcade (meskipun konon filmnya pun buruk). Dan sampai saat ini, masih menunda melanjutkan serial The Walking Dead. Tapi, impresi saya tentang Zom 100 berbeda.
Zom 100 bercerita tentang ketragisan rutinitas kerja di perusahaan ternama yang memiliki pola kerja yang eksploitatif. Namun sang karakter utama, Akira Tendo (Eiji Akaso) terlalu pengecut untuk menyatakan resign – atau mungkin energinya kepalang terkuras karena waktunya diperah gila-gilaan – sehingga tak punya pilihan lain selain melanjutkan kehidupannya yang memuakkan.
Seiring ceritanya berjalan, tiba-tiba wabah zombie muncul dan membuat rutinitas kerja Akira terhenti lantaran seluruh Jepang kacau balau. Anehnya, tragedi ini dianggap sebagai kabar baik olehnya – karena ia tak perlu lagi berangkat kerja ke kantor. Absurd.

Di kala Jepang sedang chaos karena wabah zombie tersebut, Akira justru sibuk sendiri menyusun daftar hal-hal yang ingin dilakukannya (mungkin sejenis hasrat terpendam). Catatan daftar itu ia beri judul “100 Hal yang Ingin Dilakukan Sebelum Menjadi Zombie”. Sepanjang ceritanya, dia pun mencoba untuk mewujudkan hal-hal yang ada di daftar itu satu persatu.
Mungkin sebagian kamu akan beranggapan kalau dia ini semacam menyiratkan sikap nir empati di tengah situasi genting macam itu. Namun, yah survive tak melulu soal kemaslahatan bersama. Toh, memenuhi ego pun termasuk bentuk perjuangan mental. Ayolah, saya yakin kamu pun menyadari kalau itu terkadang perlu, bukan?
Adaptasi live-action Zom 100 ini tak begitu buruk. Tapi tetap saja ada beberapa aspek yang lumayan kureng. Ambil contoh, adegan pertemuan Akira dan Shizuka (Mai Shiraishi), uh, terkesan dipaksakan. Lumayan kentara perbedaannya dengan versi anime-nya yang lebih polos dan natural.
Live action ini juga tak memberikan pencerahan bagi kamu yang mencoba menemukan siapa sebenarnya Shizuka – sosok yang di anime-nya sepertinya punya peran spesial namun ternyata hanya karakter pendukung saja di live-action-nya. Kalau memang ia adalah sosok yang berpengaruh dalam serial ini, maka versi live-action-nya benar-benar membunuh perannya.
Ah satu lagi, adegan dramatis nan picisan khas dorama selalu hadir di adaptasi live-action genre macam ini. Contoh, sifat heroik Akira yang rela menempuh bahaya demi menyelamatkan Kosugi (Kazuki Kitamura), satu-satunya antagonis di sini, atau adegan emosional Shizuka menyadarkan Akira keluar dari pengungsian akuarium saat ia dan Kencho memutuskan untuk kabur.
Film ini bisa dibilang belum berhasil membuat cerita-cerita seperti itu jadi lebih menarik dari biasanya. Meski kalau boleh jujur, seluruh adegan berlatar akuarium memang bagian paling buruk dari film ini – terutama dari segi story-nya sebagai puncak konflik.
Tapi seperti yang saya bilang di awal, versi live-action ini tak seluruhnya buruk. Malah ada beberapa konteks adegannya yang terasa lebih tepat daripada anime-nya.
Beberapa hal seperti kehadiran Kencho (Shuntaro Yanagi) dan latar belakang hubungannya dengan Akira, atau sosok bapak-bapak (tampaknya orang asing) yang bersama Maki dan Reika di tempat persembunyian tengah kota dan mengapa mereka bisa bersama padahal tak mengenal satu sama lain lebih bisa diterima oleh penyimak.
Di samping itu, saya masih tertarik dengan keseluruhan ceritanya karena siratan makna di dalamnya. Di luar konteks zombie, film ini menyadarkan betapa busuknya tempat kerja eksploitatif beserta atasan yang suka sewenang-wenang. Meski diiming-imingi tunjangan, bonus, upah besar atau apa pun fasilitasnya, apa artinya semua itu jika kamu sendiri ‘mati’ ketika menjalaninya?
Film ini adalah gambaran dari depresifnya kultur kerja berlebihan di Jepang yang diwujudkan dalam bentuk lebih mulus namun telak. Konyol bukan ketika karakter utamanya menganggap pandemi zombie itu lebih baik ketimbang dieksploitasi habis-habisan oleh tempat kerja? Selain itu, daftar 100 kegiatan yang dibuat Akira ibarat pengingat buat mereka yang masih terjebak dalam kondisi serupa; hal-hal apa saja yang sudah kita lewatkan untuk merasa hidup demi bertahan hidup.
Jadi bagi kamu yang masih terjebak dalam pekerjaan monoton penuh tekanan dengan atasan yang menyebalkan, mengapa tak mencoba membuat cairan yang dapat merubah manusia menjadi zombie dan meracuni seisi kantor agar tak perlu lagi berangkat kerja keesokan harinya?