Memperkenalkan Kembali: Full Of Hell
Unit grindcore kontemporer yang buat kami jadi representasi bagaimana spiritnya bisa bereksplorasi ke berbagai ranah.
Full Of Hell, nama yang tak bisa dipandang sebelah mata. Unit asal Maryland ini bisa dibilang sebagai representasi grindcore kontemporer yang mampu meleburnya ke berbagai ranah, tentunya tanpa memudarkan rasa ‘murni’ dari bentuk paling ekstrem campuran heavy/death metal dan hardcore punk ini.
Grup yang kini dihuni secara kuintet ini bisa dibilang cukup produktif. Menggambarkan spirit menggebu yang terus menantang diri dari waktu ke waktu. Hasilnya adalah segambreng rilisan yang sudah mereka lepas sejak 2011, meliputi deretan album, split, EP, hingga rilisan kolaborasi bersama nama-nama satu mau pun lintas genre.
Maka dari itu, tak heran jika Full Of Hell mendapat banyak perhatian, selain mutu grindcorenya yang terjamin nancep di telinga puritan hingga hipster sekali pun, juga kemauan mereka untuk mengeksplorasi sisi tersebut ke ranah yang lebih luas. Sebuah grup yang mampu terdengar hybrid buat ukuran pengusung musik primitif.
Sepak terjang
Sedikit membedah profil dari Full Of Hell, kuartet ini dibentuk di tahun 2009 dan kini bernaung di bawah payung Relapse Records. Sejauh ini, telah merilis total enam album studio serta segambreng rilisan split/EP. Menggaet banyak nama buat proyek split, termasuk Nails, Psywarfare, sampai kolaborasi bareng Merzbow, The Body, Nothing dan lainnya.
Berawal dari rilisan debut mereka sejak awal terbentuk, Roots Of Earths Are Consuming My Home (2011), rilisan ini langsung mengenalkan pengaruh noise dengan grind di badan mereka, meski lebih menonjol akan rasa hardcore punk dari segi musikal. Hal ini pun berlanjut pada rilisan berikutnya, Rudiments of Mutilation (2013) di mana eksplorasi mereka seakan terus ditambah dosisnya.
Namun momen yang cukup membuat Full Of Hell akhirnya mendapat highlight lebih adalah tahun 2014 di mana mereka berhasil menggaet noise artist dari Jepang, Merzbow. Ini memulai langkah mereka untuk kembali melakukan terobosan lewat grindcore, termasuk rilisan kolaboratif yang dilakukannya bersama unit avant-garde, The Body tiga tahun menjelang. Meski diantara pun diselang beberapa rilisan gawat lainnya, One Day You Will Ache Like I Ache (2016), split w/ Nails (2016) dan EP Amber Mote in the Black Vault (2017).
Sampai akhirnya album yang seakan batu loncatan mereka meraup lebih banyak atensi pun lahir, adalah Trumpeting Ecstasy yang rilis tahun 2017. Album yang dirilis bersama label Profound Lore ini bahkan diklaim sebagai 10 besar album metal dan hardcore terbaik tahun 2017 versi Excalim! dengan menempati posisi nomor empat, bersandingan dengan beberapa album ekstrem top lainnya dari Incendiary, Dying Fetus, Mastodon, Bell Witch dan lainnya.
Hal Ini pun memantik sepak terjang mereka semakin menjulang, bahkan satu tahun menjelang, Relapse Records mantap memboyong mereka untuk menjadi salah satu rosternya dan kembali menelurkan album bahaya di tahun berikutnya, Weeping Choir, di mana cukup banyak sanjungan yang dituai oleh album ini. Di sini, mereka semakin matang buat mengolah banyak bumbu dari musik ekstrem dan noise untuk dilebur jadi satu keutuhan album.
Seakan tak kehabisan ide, di tahun 2021 mereka kembali membuahkan album penuh bertajuk Garden of Burning Apparitions, album yang jadi tindak lanjut dari apa yang sudah mereka lakukan di Weeping Choir. Kemudian disusul beberapa rilisan kolaboratif juga EP dalam dua tahun terakhir bersama nama-nama seperti HEALTH, Gasp, Primitive Man dan Nothing, yang satu ini terbilang cukup nyebrang lantaran seperti yang kita tahu, cukup sulit menemukan korelasi antara shoegaze/emogaze dan grindcore, namun mereka seakan tak kehabisan celah.
Sampai akhirnya di tahun ini, mereka kembali melepas album penuh Coagulated Bliss di bawah bendera Closed Casket Activities. Rilisan yang seakan menunjukan ketumpulan taring mereka, meski di sisi lainnya rilisan ini bisa dibilang lebih variatif dan elastis. Sampul yang punya nuansa cerah ini cukup merepresentasikan isinya dengan tepat, bagaimana Full Of Hell mampu meleburkan musik ektrem primitif dengan berbagai macam elemen, baik yang lumrah mau pun tidak. Tak lupa, di album ini juga mereka sukses menggaet pentolan Converge, Jacob Bannon buat ikut andil, salah satu kolaborasi yang cukup memukau di karir mereka.
Mengapa Full Of Hell layak disimak
Grindcore memang terhitung segmented, bahkan untuk kalangan penikmat musik ekstrem sekali pun. Perpanjangan tangan dari generasi ke generasinya pun terbilang tak masif muncul ke permukaan, salah satu nama yang bisa dibilang berhasil mencuri perhatian lebih di masa kini adalah Full Of Hell.
Meski bukan berarti mereka adalah satu-satunya, namun terobosan yang selalu mereka upayakan di rilisan-rilisannya tak bisa dipandang sepele. Memang bukan formula tak lumrah jika noise berpadu dengan grindcore (terbukti dengan adanya terminologi noisegrind), tapi Full Of Hell bisa dibilang nama yang mampu menyatukan para pendengar metal, hardcore, punk, musik-musik eksperimental/noise dalam satu kubangan yang sama. Formula itu yang rasanya tak selalu dapat diolah dengan tepat, mengingat masing-masingnya punya kolam tersendiri dan standar berbeda di kelasnya.
Maka, tak muluk-muluk rasanya untuk menorehkan Full Of Hell sebagai salah satu nama grindcore termasyhur era ini. Di mana grindcore tak begitu banyak dapat sorotan, mereka mampu memperpanjang nafasnya, bahkan memperluas ranahnya ke berbagai jangkauan. Hal ini mungkin jadi alasan utama mengapa Full Of Hell layak buat disimak, mereka bisa dibilang jadi representasi tepat bagaimana grindcore pun ikut berevolusi seiringan dengan waktu.
Bagi kamu yang belum familier atau intens dengan Full Of Hell, sila simak katalog-katalog musik mereka di bawah ini!