Blair Witch, Longlegs and The Curse of Movie Marketing
Mengemukakan unpopular opinion soal film Longlegs serta bagaimana promosinya yang sukses ‘menipu’ penonton sebagai “Never-seen-before scariest move ever”.
Saat saya berusia sepuluh tahun, ibu saya mendaftarkan saya ke les Bahasa Inggris di luar sekolah. Tahun pertama, kami hanya belajar tentang kata benda dan kosakata—hal-hal yang cukup standar. Namun, kemudian guru kami mengganti materi dan mulai berbicara tentang seni bercerita dan narasi.
Saya tidak ingat namanya, tetapi saya tidak akan pernah melupakan dongeng yang ia ceritakan. Tiga pembuat film dokumenter muda yang menghilang di hutan Maryland saat mencoba meliput legenda seorang penyihir.
Ia lanjut bercerita, mereka mengalami berbagai kejadian aneh: belasan patung kayu yang menakutkan digantung luar tenda mereka, berputar-putar di hutan tak bisa menemukan jalan keluar, dan kejadian di mana salah satu dari mereka hilang.
Bagian yang benar-benar membekas di ingatan saya adalah ketika ia menggambarkan penemuan hati manusia segar yang dibungkus dengan kemeja flanel robek, yang mereka kira milik teman mereka yang hilang. Semua ini diceritakan melalui video rekaman yang ditemukan di hutan, dan para pembuat film telah hilang sejak saat itu. Saya tercengang di kursi, bukan karena saya ketakutan, tapi karena rasa penasaran luar biasa dikarenakan guru saya yang bisa bercerita dan meyakinkan satu kelas ini dengan sangat baik.
Sejujurnya, saya tidak tahu apakah dongeng itu pantas diceritakan ke satu kelas yang berisi anak-anak umur sepuluh tahun, tapi saya sangat bahagia hari itu.
Ketika saya berusia tiga belas tahun, saya menemukan sebuah buku milik bapak saya—”The Blair Witch Project”. Buku itu tersembunyi di tumpukan di rak kamar mandi, dan tanpa berpikir panjang, saya memutuskan untuk membacanya. Betapa terkejutnya saya ketika buku itu ternyata menceritakan dongeng yang persis sama dengan yang pernah diceritakan guru bahasa Inggris saya.
Saya menghabiskan satu jam duduk di atas toilet memakai celana, terbenam dalam ketakutan, sebelum akhirnya meletakkan buku itu dan berlari keluar, mempertanyakan asal-usul buku ini ke bapak saya. Ia menjawab “Ya, ini film Namanya Blair Witch Project. Dokumen-dokumen di dalam buku ini semua khayalan sutradaranya”.
Kesadaran bahwa cerita yang selama ini saya percayai adalah nyata ternyata merupakan dasar dari sebuah film sangat mengejutkan, dan bisa dibilang merubah hidup saya.
Buku tersebut tidak secara eksplisit mengungkapkan bahwa cerita itu adalah rekayasa; buku itu disajikan sebagai pendamping dari apa yang digambarkan sebagai dokumenter yang benar-benar ada, seperti sebuah kejadian faktual yang ditangkap kamera dan disebarkan ke publik. Baru kemudian saya mengetahui bahwa The Blair Witch Project adalah film revolusioner yang menggunakan format “found footage” untuk pertama kalinya. Kampanye pemasarannya luar biasa efektif sehingga saya tidak menyadari bahwa semuanya adalah fiksi—hanya sebuah ide yang diceritakan dengan cerdas dan promosi yang brilian.
Yang mengejutkan saya bukan hanya pendekatan inovatif film ini, tetapi juga cara pemasarannya. Sutradara Daniel Myrick dan Eduardo Sánchez menggunakan estetika low-fi dan aktor-aktor yang tidak dikenal untuk memberikan kesan otentik (sama seperti Cannibal Holocaust yang keluar pada tahun 1980).
Keberhasilan film ini didorong oleh kampanye pemasaran yang rumit, termasuk poster orang hilang yang realistis dan gosip dari mulut ke mulut. Poster film ini bahkan tidak menampilkan para pemeran, tagline, atau gambar. Hanya terdapat satu baris kalimat : “blairwitch.com: 21.222.589 hits to date” Itu adalah 11% dari semua pengguna internet pada tahun 1999.
Orang-orang mengantre untuk penayangan awal, banyak yang percaya bahwa itu adalah rekaman nyata dari dokumenter nyata. Ini adalah contoh bagaimana media dan mitos digunakan untuk memburamkan batas antara realitas dan fiksi.
Pengalaman ini adalah perkenalan pertama saya tentang kekuatan pemasaran dalam film horor. Jelas terlihat bagaimana orang tertarik pada ketakutan dan teori konspirasi, dan bagaimana elemen-elemen ini dapat dieksploitasi untuk menciptakan mass hysteria. Strategi ini berhasil dengan sangat baik, menjadikan The Blair Witch Project sebagai fenomena budaya yang diingat selama bertahun-tahun.
Masuk ke Longlegs, 25 tahun kemudian. Saya berdiri di luar bioskop, sangat semangat menunggu pintu itu terbuka. Saya selalu pergi sendiri ke penayangan film horor yang sedang hype sehingga saya bisa membentuk pendapat sendiri tanpa dipengaruhi orang lain.
Saya, seperti orang lain, dibombardir oleh pemasaran besar-besaran dari film horor blockbuster baru NEON yang dibintangi Nicolas Cage ini, yang lagi-lagi menjanjikan “Never-Seen-Before Scariest Movie Ever”.
Lima menit pertama dalam film, saya terkaget-kaget dengan betapa indahnya sinematografi yang diseduhkan ke penonton, berubahnya aspect ratio yang lumayan menarik dan sound design-nya yang sangat atmosferik. Sayangnya, setelah keluar dari bioskop 95 menit kemudian, daripada merasa senang dengan kualitas filmnya, saya malah lebih kagum bagaimana pemasaran film ini dapat benar-benar menipu semua orang untuk berpikir bahwa ini adalah film horror, yang ternyata Longlegs ini adalah film thriller kriminal/detektif.
Bagi saya ini bukan hal besar, malah sebuah kejutan yang menarik, saya suka film detective thriller dan Longlegs termasuk film yang bagus, tapi saya yakin orang-orang atau netizen pasti kecewa.
Hal terbaik dan terburuk tentang pemasaran Longlegs adalah bagaimana ia dapat menggoda tanpa mengungkapkan terlalu banyak. Terutama poster dan billboard yang dipajang di sekitar daerah-daerah di Amerika menjelang rilis film. Beberapa di antaranya menampilkan foto-foto out of context yang menakutkan namun dipotret dengan sangat berseni dengan informasi minimal, yang hanya menambah intrik film.
Yang paling menonjol adalah billboard di Los Angeles yang menampilkan nomor telepon yang menyambungkan penelpon ke klip audio yang ominous dari film. Trailer Longlegs juga menunjukkan cukup banyak untuk membuat penonton tertarik tetapi tidak memberikan detail penting.
Karakter yang dimainkan Nicolas Cage, Longlegs, hampir tidak ditampilkan, namun suaranya digunakan dalam musik latar, membuat trailer semakin menakutkan. Ini cukup untuk memberikan kesan bahwa Longlegs adalah film horor, diklaim sebagai “film teror terbesar dekade ini.” Hal ini tidak benar, karena walau Longlegs mempunyai momen-momen mengerikan, banyak adegan dari film ini yang membuat saya tertawa.
Longlegs mempunyai strategi pemasaran yang sangat mirip dengan The Blair Witch Project, walau dengan perbedaan teknologi dan psikis penonton yang sudah sangat jauh dengan tahun ‘90-an. Zaman sekarang, para pemasar film harus berputar otak membuat strategi yang luar biasa untuk bisa mendapatkan perhatian penonton. Penonton-penonton yang cara berfikirnya sudah sangat jauh dan unfortunately, mempunyai daya konsentrasi dan interest pendek.
Menurut saya, dengan mengeluarkan banyak budget untuk pemasaran, Longlegs berhasil menarik banyak penonton yang mulanya mungkin tidak berniat menonton film ini. Mengeksploitasi kecenderungan manusia untuk masuk dalam histeria massa dan bergerak seperti domba, Longlegs berhasil menghasilkan NEON opening weekend terbesar mereka dalam beberapa tahun terakhir ini. Tapi, in my opinion, Longlegs is quite a silly film. Tapi sebelum itu, saya harus jelaskan sedikit tentang film ini.
Longlegs ini sebenarnya bercerita tentang Lee Harker (Maika Monroe), seorang agen FBI, diberikan tugas oleh Agent Carter (Blair Underwood) untuk investigasi serangkaian pembunuhan yang dilakukan oleh seorang satanis yang dikenal dengan julukan “Longlegs” (Nicolas Cage).
Konsep ceritanya cukup sederhana: pembunuhan terus terjadi seiring Harker semakin mendekati pelaku, Longlegs, yang ternyata telah memainkan permainan berbahaya dengan Harker sejak awal.
Aspek paling menarik dari film ini sebenarnya adalah bagian investigasi, bagaimana Lee memecahkan kode Longlegs dan dengan perlahan menemukan petunjuk yang semakin lama semakin berbau supranatural. Sayangnya hal ini tidak dibahas dengan dalam, perpindahan akan mood film dari thriller ke supranatural juga terasa sangat mendadak, dengan pendekatan satanis yang menurut saya lumayan entry-level. Sulit untuk memahami dengan jelas apa yang ingin dibahas dengan film ini ketika perkembangan alur cerita tidak bisa divisualisasikan dengan baik di layar, bahkan dari sudut pandang visual. Estetika klinis yang disajikan cocok dipasangkan dengan adegan-adegan penyelidikan polisi namun bagian 16mm lebih berfungsi sebagai hiasan indah yang diselipkan dibeberapa bagian film.
Namun, untuk hiburan semata, film ini sangat amat menghibur. Saya sangat suka penampilan Nicholas Cage di film ini, jadi memang pemasaran film di mana mereka menjanjikan penampilan yang luar biasa dari Nicholas Cage memang terpenuhi. Cage memerankan Longlegs dengan banyak pendekatan “camp”, wajahnya juga lebih mirip dengan drag queen Chad Michaels dibanding setan mengerikan (hal ini bisa dipandang sebagai hal yang transfobik untuk beberapa komunitas marjinal).
Adegan terakhir di mana Longlegs memecah dinding keempat dan melihat penonton sambil bergestur centil dan adegan di mana ia mendadak menyanyikan lagu improvisasi, bisa dibilang hal yang lucu untuk saya daripada harus dibilang disturbing. Jika penonton ingin merasa disturbed ketika menonton Longlegs, saya pikir adegan ini terasa kurang memuaskan.
Sutradara Longlegs, Osgood Perkins (anak dari aktor Norman Perkins dari Psycho) memang cenderung condong ke teknik “style over substance” dengan dua film terakhirnya The Blackcoat’s Daughter (2015) dan Gretel and Hansel (2020) yang mempunyai gaya mirip dengan Longlegs : atmospheric, slow burn horror with beautiful cinematography. Ia menghadirkan gaya visual yang menawan di setiap karyanya. Bahasa visual ini memang didesain untuk menggelitik penonton, membuat penonton merinding menunggu kejadian selanjutnya. Namun, sayangnya ia tidak dapat menjalankan ini dengan benar karena ia terus menyimpang dari premis sederhananya untuk mengungkapkan hal-hal konyol dan tematik yang tidak cocok.
Tapi selain pembahasan teknis ini, ya, saya suka melihat Nicholas Cage menjadi fans band T-Rex dan teriak-teriak menyanyikan lagu karangan sendiri.
Longlegs rating : 3/5
Teks: Ula Zuhra