Memperkenalkan Kembali: tricot

Mari berkenalan kembali dengan tricot. Salah satu band yang berhasil mendefinisikan sound japanese math-rock yang kita kenal saat ini.
Sejak satu dekade lalu, nama tricot dan math-rock merupakan dua hal yang tak dapat terpisahkan. Meskipun bukan yang pertama, kehadiran kuartet beranggotakan Ikumi ‘Ikkyu’ Nakajima (Vokal, Gitar), Motoko ‘Motifour’ Kida (Gitar, Vokal Latar), Hiromi ‘Hirohiro’ Sagane (Bass, Vokal Latar) dan Yusuke Yoshida (Drum) tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan sound dan kepopuleran musik math-rock di era modern. Terlebih ketika berbicara mengenai kancah math-rock Jepang. Sehingga tak heran kalau ternyata di antara kamu ada yang berhutang budi terhadap tricot yang bertindak sebagai gerbang awal dalam mengenal musik kompleks nan ribet ini.
Meskipun begitu, pada awal terbentuknya tricot sendiri tak bermaksud untuk membuat sebuah band math-rock. Karena ketika para founding member-nya merumuskan jenis musik yang akan dimainkan, mereka sama sekali tidak familiar dengan istilah dan musik math-rock. Sehingga output yang dihasilkan dan terdengar pada karya awal tricot, murni merupakan hasil eksperimen para personilnya dengan tujuan untuk bersenang-senang. Tanpa berusaha terlihat pretensius atau apapun.
Dibanding koleganya di ranah populis macam toe atau LITE, tricot memiliki karakter sound yang kuat dan berbeda. Kuartet tersebut memiliki ciri khas yang memainkan aransemen musik kompleks dengan vokal yang mengalun lembut ala J-Pop di atasnya. Sesuatu yang terdengar fresh, membuat mereka dapat diterima dengan baik di dua ranah sekaligus, yaitu ranah populis/mainstream dan juga para penggemar math-rock puritan. Sebuah formula yang kurang lebih berhasil mensolidifikasi sound Japanese math-rock yang kita kenal saat ini.
Formula musik tersebut secara sempurna mereka presentasikan melalui debut album berjudul T H E (2013) yang langsung mendapatkan respon positif dari komunitas math-rock global. Bahkan dinobatkan sebagai salah satu rilisan math-rock paling inovatif di era modern. Tak hanya berhenti di situ, setelahnya juga tricot tetap produktif dengan merilis karyanya secara rutin, entah dalam bentuk single, EP, ataupun album. Selain itu, melakukan tur antar benua dalam rangka mempromosikan karyanya sudah bukan merupakan hal yang aneh bagi tricot. Panggung di berbagai negara di dataran Asia, Eropa, dan Amerika sudah mereka singgahi untuk dijajal. Namun sayangnya, di antara ratusan panggung tersebut nama Indonesia belum pernah muncul sekalipun dalam destinasi tur mereka.
Setelah pada tiga rilisan perdananya, T H E (2013), A N D (2015) dan 3 (2017) dirilis secara independen melalui label mereka sendiri, Bakuretsu Records. Pergerakan mereka pun berhasil dilirik oleh label besar bernama Cutting Edge, yang merupakan salah satu turunan dari perusahaan konglomerat Jepang bernama Avex Inc. Bersama Cutting Edge, tricot kemudian membuat sebuah label baru sebagai successor dari Bakuretsu Records yang diberi nama 8902 Records. Sejak 2019, di bawah naungan label barunya tersebut tricot telah mengeluarkan beberapa rilisan. Di antaranya adalah album Black (2020), 10 (2020), Jodeki (2021), dan Fudeki (2022).
Secara umum, menurut saya formula yang tricot bawakan terbilang berhasil untuk urusan mendefinisikan sound Japanese math-rock yang diisi dengan bagian vokal yang kita kenal saat ini. Sehingga kalau ada band yang membawakan formula serupa, kita dapat dengan mudah mengidentifikasinya dan berucap, “ini band math-rock Jepang ya?” terlepas bahasa apapun yang digunakan untuk menyampaikan liriknya. Karena kalau kamu dengarkan secara seksama memiliki pendekatan yang cukup berbeda dibandingkan dengan band-band math-rock asal Britania Raya ataupun Amerika Serikat.
Di tengah perbincangan mengenai math-rock di sosial media yang semakin hari semakin ramai terdengar di ranah lokal. Tak sabar menantikan kehadiran band lokal yang mengadaptasi formula musik ala tricot. Atau jika itu terlalu muluk, minimal memiliki visi yang sama dengan tricot, yaitu berfokus pada melakukan eksperimentasi bunyi ataupun aransemen terlepas dari label jenis musik apa yang nantinya akan tersematkan. Sudah bosan rasanya saya menemukan band so-called “math-rock” baru yang muncul dengan pendekatan ala midwest-emo yang sudah terlalu menjamur itu.