X

Memperkenalkan Kembali: Gauth

by Sendhi Anshari Rasyid / 7 months ago / 493 Views / 0 Comments /

Mari berkenalan dengan Gauth, sebuah nama yang sering terlupakan ketika membicarakan pergerakan musik skramz di Kota Bandung.


Para insan skramz/screamo di seluruh dunia kini tengah berbahagia, karena Orchid akhirnya reunian sekaligus menjalankan tur paska 22 tahun berhenti bermusik bersama. Salah satu band yang diamini merupakan generasi awal dari kemunculan musik ‘real emo’. Berdasarkan hal tersebut, saya tetiba jadi tergelitik untuk (kembali) memperkenalkan salah satu entitas yang juga memiliki peran penting dan memiliki legacy untuk ranah skramz Bandung (bahkan Indonesia) hingga saat ini. Namun ironisnya, nama mereka tak terlalu banyak diperbincangkan meskipun beberapa personilnya kini masih menjadi salah satu poros utama dari keberlangsungan jenis musik ini di Indonesia. Band tersebut adalah Gauth.

Gauth merupakan kuartet beranggotakan Latif Prabowo (Swarm, Liris), Rafi Rahman (Swarm, PEEL, Bricks), Diaz Guntara (Sheeka), dan Zacky Ahmad Saleh (Bleeding Tragedy, ex-personil Grief.) yang sudah merintih dan menangis meraung di berbagai panggungan bawah tanah sejak 2012 silam. Bagi kamu yang baru mulai mengenal musik skramz lokal di era Swarm saat ini, saya yakin akan asing dengan nama tersebut, karena memang jarang diperbincangkan. Padahal menurut saya, mereka merupakan the one who start it all dalam konteks kancah skramz Kota Bandung.

Gauth memainkan musik skramz dengan menarik garis referensi kepada para sesepuh seperti Orchid, Saetia, Ampere, dan lainnya. Membuat musik mereka terdengar raw dan cukup tradisional. Ekspresi kegundahaan yang disampaikan secara chaotic, juga limpahan energi yang meledak tak karuan akan seketika kamu rasakan ketika mendengar materi ataupun menonton live performance mereka. Sempat menjadi bagian dari album kompilasi ‘V/A Revolution Autumn #1‘ (2014), membuat Gauth termasuk sebagai salah satu generasi awal yang memperkenalkan musik ‘real emo/screamo’ di tanah air.

Secara timeline, tahun 2012-2017 mungkin bisa dibilang tahun efektif Gauth aktif berkarya. Pada medio tersebut, mereka menelurkan satu EP, satu split EP, berkontribusi pada sebuah album kompilasi, dan sebuah rilisan diskografi. Pada tahun 2015 identitas Gauth semacam memasuki masa kritis, karena dari tubuh yang sama, muncul entitas baru bernama glare. Sebuah proyek musik besutan Latif dan Rafi bersama Akbar Karunia (PEEL, Grief.), additional player Gauth.

Kehadiran glare semacam menjadi pertanda dan persiapan untuk mengistirahatkan Gauth. Kalau boleh berbagi analisa gembel, hal tersebut saya simpulkan karena beberapa hal. Pertama, kedua band tersebut sempat berbagi akun Instagram yang sama dengan handle [at] gauthglare. Kedua, pada ‘masa peralihan’ tersebut, Gauth dan glare kerap berbagi waktu dalam satu set yang sama, di mana setengah set awal bermain sebagai Gauth dan setengah set sisanya bermain sebagai glare. Meskipun sampai saat ini saya belum pernah mengonfirmasinya langsung apakah hal tersebut merupakan sesuatu yang intentional atau bukan; atau bahkan dua hal yang sama sekali tak berhubungan.

Berdasarkan dokumentasi yang bisa saya telusuri, nama Gauth terakhir terdengar sebagai pengisi acara pada tahun 2017. Lalu akun Instagram mereka pun kini sudah berubah identitas sepenuhnya menjadi [at] glareviolence. Sehingga sah rasanya untuk menyebut glare sebagai evolusi termutakhir dari Gauth alias Gauth v2.0. Walaupun secara musik, terdapat sedikit perbedaan di antara keduanya. Jika dibandingkan dengan Gauth, musik glare lebih terdengar straight to the point, cepat, dan padat dengan durasi rerata per treknya di bawah dua menit ala band-band emoviolence.

Namun, kontribusi mereka untuk kancah skramz di Bandung tak sebatas sebagai pelaku di atas panggung saja. Di luar panggung, Latif dan Rafi juga membuat sebuah record label bernama Benalu Records yang sempat merilis Gauth, glare, When I Despair, the verlived orchestra, Deerhouse, dan Aillis. Meskipun record label dan band-band asuhannya kini sudah tak lagi aktif, setidaknya eksistensinya berhasil menjadi penanda zaman bahwa pergerakan jenis musik ini di Bandung sudah dimulai sejak pertengahan tahun 2010. Harus diakui, perjalanan panjang memperkenalkan jenis musik ini baru bisa memetik hasilnya yang berhasil didengar oleh telinga awam di era post-pandemi beberapa tahun terakhir.

Secara pribadi, saya ingin berterima kasih kepada teman-teman Gauth atas semua kontribusinya, apa yang dimulai pada 12 tahun lalu kini akhirnya bisa berbuah manis. Karena mereka merupakan salah satu gerbang perkenalan saya dengan jenis musik ini dan berhasil membuat saya menyukainya hingga saat ini. Meskipun nama mereka tak pernah muncul ke permukaan dan malah semakin tenggelam tak terhiraukan, tapi setidaknya buah dari perjalanan panjang untuk memperkenalkan jenis musik ini akhirnya bisa dipetik. Kini semakin banyak orang yang mendengarkan musik skramz bahkan jadi salah satu indikator kekerenan dan smulai munculnya penggiat baru di Kota Bandung yang bermunculan. Setelah selama sekian tahun hanya berputar di lingkaran pertemanan Gauth dan turunannya saja.

Semoga suatu saat nanti ada kesempatan buat mereka comeback di tengah kesibukan dengan proyek musik masing-masing. Dalam rangka menyambut Orchid yang tetiba tur ke Indonesia mungkin?

Tagged

#glare #skramz #emo #consumed magazine #consumed