Memperkenalkan: Forests
Perkenalkan, Forests. Sebuah band yang menurut kami berjasa membuat kancah musik alternatif Singapura menjadi sedikit lebih terdeteksi.
Pada ranah musik alternatif, berdasarkan pengamatan awam saya, ada dua band yang berjasa to put Singapore on the map. Pertama adalah Wormrot, band grindcore kawakan yang sudah rajin bolak-balik melakukan tur hingga ke Eropa dan sekitarnya; dan yang kedua adalah Forests, salah satu idola baru yang populer sejak beberapa tahun terakhir di lingkup penikmat musik midwest-emo/math-rock.
Kepopuleran tersebut sudah mulai terasa saat Forests merilis album perdananya, Sun Eat Moon Grave Party (2017) yang mendapatkan respon positif dan apresiasi oleh para warga komunitas Bandcamp. Kemudian mendapatkan tambahan eksposur lainnya ketika melakukan perilisan sophomore albumnya, Spending Eternity in a Japanese Convenience Store (2019), dan album ketiganya, Get In Losers, We’re Going to Eternal Damnation (2022), yang bekerja sama dengan Dog Knights Productions. Sebuah label yang sudah memiliki katalog panjang di ranah per-emo-an dengan merilis band-band seperti Tiny Moving Parts, Suis La Lune, Marietta, hingga Turnover. Momen tersebut membuat nama Forests semakin dikenal, bahkan di luar lingkup kancah emo sekalipun.
Salah satu hal yang membuat musik yang dibawakan Forests terdengar menarik dibandingkan para koleganya, yaitu memainkan musik midwest-emo dengan pendekatan nuansa yang lebih fun. Meskipun sebenarnya bercerita mengenai hal-hal yang menyedihkan seperti band emo pada umumnya. Trio tersebut memiliki sudut pandang yang unik dalam mengemas narasi setiap lagunya.
Mengambil berbagai referensi pop culture dengan bumbu humor, membuat lirik-lirik mereka terasa sangat witty dan terdengar menarik. Coba saja simak salah satu penggalan lirik “excuse me, are you Björk? Cause you’re out of this world” dari trek “Kawaii Hawaii” yang sangat cocok untuk dijadikan pick-up line di aplikasi dating apps andalanmu. Ataupun lirik “let’s make out to shoegaze, until we fall asleep” dari trek “Tamago” sebagai ajakan bercumbu bersama pasanganmu yang edgy itu. Sukar rasanya menemukan band yang melakukan pendekatan serupa pada liriknya. Oleh karena itu, formula yang Forests gunakan membuat saya tak butuh waktu lama untuk memasukkan nama mereka ke dalam daftar putar harian saya.
Merujuk pada pernyataan saya pada paragraf awal, saya merasa kepopuleran Forests sedikit banyak pada akhirnya membuat banyak orang penasaran dan melek terhadap kancah musik di Singapura. Hal tersebut terbukti, di mana saat ini kini kita bisa melihat nama-nama seperti sobs dan Subsonic Eye yang sedang mendapatkan eksposur besar-besaran oleh para scenester di Amerika Serikat sana. Bahkan keduanya kini telah terdaftar sebagai roster dari salah satu label independen ternama, Topshelf Records.
Entah kamu sadari atau tidak, Forests juga sempat berkunjung ke Indonesia pada tahun 2019 dan 2022. Keduanya dilakukan sebagai bagian dari rangkaian tur untuk mempromosikan album kedua dan ketiganya. Beruntungnya saya berkesempatan untuk menonton di kedua kesempatan tersebut, dan sama sekali tidak menyesal. Bahkan, energi yang mereka keluarkan pada saat live jauh lebih terasa dibanding ketika mendengarkan karyanya melalui medium lain. Alias masuk dalam band yang bisa mempertanggung jawabkan karya yang sebelumnya telah dirilis. Keren. Oh iya, sedikit fun fact. Darell sang frontman, sebenarnya merupakan orang Indonesia yang telah lama tinggal di Singapura. Jadi, kalau next time ada media lokal yang akan membuat tulisan “Band Internasional dengan Personil Orang Indonesia”, maka Forests wajib jadi bagian artikel tersebut. Hehehe.
Sebagai sebuah negara kecil, Singapura sebenarnya menyimpan banyak band-band potensial lain yang menunggu untuk ditemukan. Forests hanyalah salah satu di antaranya. Pada kesempatan berikutnya mungkin saya akan mencoba untuk membuat daftar dari band-band menarik asal Singapura yang saya temukan dalam bentuk sebuah listicle. Nantikan, yha~