X

Morgue Vanguard: “Ini Lagu Untuk Kawan-Kawan yang Merasa Hal-Hal Kecil yang Dilakukan Di Antara Rentetan Kekalahan Itu Sia-Sia…”

by webadmin / 2 years ago / 14373 Views / 2 Comments /

Obrolan bersama Morgue Vanguard tentang keterlibatannya di lagu terbaru Efek Rumah Kaca dan bagaimana caranya menyikapi harapan.

Kabar baik sekaligus bara itu sudah dilantangkan sejak tanggal 27 Januari 2023. Berselang tujuh tahun setelah hadirnya Sinestesia, Efek Rumah Kaca resmi merilis album keempatnya yang bertajuk Rimpang. Album yang kabarnya dirajut sejak tahun 2016 itu sekaligus menggambarkan formasi baru Efek Rumah Kaca – yang kali ini berisi Cholil Mahmud (vokal, gitar), Akbar Bagus Sudibyo (drum), Poppie Airil (vokal, bas) dan Reza Ryan (gitar) – tanpa kehadiran Adrian Yunan, mantan personel yang telah memutuskan mundur sejak tahun 2017 silam.

Di penghujung bulan Maret 2023, album Rimpang akhirnya dirilis dalam format CD dan diedarkan luas oleh jaringan distribusi demajors. Peluncuran Rimpang dalam wujud cakram padat itu diikuti dengan sesi dengar audio visual yang serentak digelar di beberapa kota dari Medan sampai Surakarta, bahkan di Kuala Lumpur dan Penang, Malaysia, pada tanggal 8-9 April 2023.

Sudah banyak kuping yang telah mendengarkan Rimpang sejak pertama kali dirilis. Itu kalau mau kita mau telusuri dari unggahan di aneka media sosial para penggemar Efek Rumah Kaca, baik fans lama maupun yang baru. Juga lumayan membuka topik perbincangan di tongkrongan, pastinya. Alhasil, album itu menuai banyak reaksi dan resensi positif dari banyak sisi. Memang karya yang bagus, dengan tracklist yang kuat serta lagu-lagu yang memikat.

“Biarpun Rimpang penuh dengan renungan bahkan kritik sosial, lagu yang menjadi tema sentral album ini, ‘Rimpang’, justru terdengar penuh harapan dan menjadi sebuah pengingat tidak ada upaya-upaya kecil yang terbuang percuma,” tulis Yudhistira Agato dalam ulasannya di Vice Indonesia. “Nomor ‘Bersemi Sekebun’ mengutarakan semangat yang sama namun dalam konteks yang lebih spesifik dan kelam: mereka-mereka yang ‘kalah’ ketika berhadapan dengan kekerasan dan senapan aparat pemerintah, dalam konteks demonstrasi atau ‘insiden’ lainnya.”

“Bersemi Sekebun” memuat suara dan larik dari Morgue Vanguard a.k.a Herry Sutresna selaku kolaborator. Ini adalah sebuah lagu yang menurutnya perlu diberi catatan kaki tebal: “Tentang sengkarut kuasa yang menguat, tentang kekalahan, tentang hari-hari dikonsumsi lelah…”

Ada satu baris penting di situ: “Beberapa perang bukan untuk dimenangkan / Beberapa kemenangan bukan untuk dirayakan…”, yang mendukung sebuah harapan untuk perubahan, sekaligus menjadi inti dari gagasan Rimpang.

Memang sebenarnya kita tidak perlu terlalu kaget kalau akhirnya Efek Rumah Kaca dan Morgue Vanguard bakal bertemu di satu ruas yang sama dan berjalan seiring. Lantas mereka tiba-tiba bersepakat untuk membuat sesuatu bersama, sebagaimana yang mungkin pernah terpikir atau diimpikan oleh benak kecil kita. Apalagi, seperti yang pernah diceritakan oleh Harlan Boer: “Sejak masa awal ERK merilis album pertamanya, Ucok Homicide salah satu teman baik yang kerap menonton pertunjukan ERK di Bandung dan berbincang bersama…”

Oke, berarti itu hanya soal waktu saja khan. Toh, akhirnya hal itu sudah terwujud hari ini.

Saya coba menanyakan beberapa hal kepada Morgue Vanguard seputar lagu “Bersemi Sekebun”. Tentang bagaimana kolaborasinya itu tercipta, seperti apa proses rekamannya, dari mana inspirasinya, seperti apa menyikapi harapan yang datang dari pelan nyala sekam dan rentetan kekalahan, serta siapa yang kudu bertahan sedikit lebih lama dan musti tumbuh liar serupa gulma.

Pertama, sejak kapan anda mengenal Efek Rumah Kaca dan bagaimana impresi anda kepada mereka? 

Tahun 2007 sih, kayaknya sama dengan pengalaman banyak orang di era itu pas pertama kali denger debut album mereka. Takjub aja. Musik syahdu dengan rasa Jeff Buckley di sana-sini, dengan lirik yang memikat. Sejak itu saya dan istri saya jadi fans, dari mulai nonton debut konser kecil mereka di Common Room sampe konser besar. Tapi pertama ketemu Cholil justru bukan di konser musik, tapi di acara kampanye ngelawan militerisme circa 2007-2008 pas sama-sama jadi pembicara di Toko Buku Ultimus, Bandung.

Bagaimana ceritanya anda diajak Efek Rumah Kaca untuk mengisi lagu “Bersemi Sekebun”?

Kabar awalnya sih sebetulnya dari istri saya. Dia suka chat dengan Cholil dan suatu saat ngabarin, “Cholil tadi nanya mau gak featuring di lagu baru ERK katanya?” Ya tentu sajalah. Meski sebetulnya saya ragu, karena sebagai fans saya khawatir saya malah merusak lagu mereka, haha. Kalau secara tematik kayaknya gak begitu sulit nemu titik temu. Karena biasanya kalo ERK manggung di Bandung saya sering ngobrol dengan Cholil tentang banyak hal dan kegelisahan-kegelisahan kita. Sharing cerita-cerita pengalaman di ruang-ruang pengorganisiran dan sebagainya. Cholil awalnya menawarkan opsi dua lagu, “Rimpang” dan “Bersemi Sekebun”. Saya yakin mereka menawarkan dua lagu itu karena isinya gak jauh dari apa yang selama ini kita selalu bicarakan. Dua lagu itu bertema senada dan punya keterkaitan yang signifikan. Saya memilih lagu yang kedua, karena potensi saya untuk merusak lagunya lebih kecil, haha.

Lantas seperti apa proses produksi pas rekaman lagu tersebut?  

Take vocal di studio Cutz Chamber, ruang rekam kecil kami di Grimloc. Dibantu Jaydawn buat eksekusinya. Gak ada yang aneh-aneh selama prosesnya, mirip proses take rutin di Grimloc aja. Latihan sekali, lalu one take, that’s it. Kayaknya gak nyampe 15 menit prosesnya, karena saya udah melatih cadence rima itu di rumah sebelumnya, udah cukup hafal teknisnya harus gimana. Ada perubahan sedikit di akhir lagu, awalnya empat baris terakhir itu gak di situ letaknya, tapi Cholil menyarankan buat ditimpahin aja di atas vokal dia yang sebetulnya saya ragu karena khawatir malah ganggu vokal dia.

Berapa lama baris itu anda persiapkan untuk “Bersemi Sekebun”?

Gak lama, seingat saya hanya di satu subuh nulis di rumah. Hanya ngalamin perubahan sekali aja. Awalnya saya bikin model spoken words biasa, tapi setelah dipelajari lagi, saya memutuskan untuk ritmik, persis kayak ngerap tapi pelan. Ini cukup ngaruh ke teknis, saya ubah liriknya menyesuaikan ruang yang ada di ritmenya. Saya itung ulang jumlah suku katanya, nulis lirik yang baitnya persis bait rap 16 bars total. Dilantunkan ritmik ngikutin ritme dan swing melodi. Ini susah-susah gampang, karena cukup sulit merangkum banyak hal yang saya ingin sampaikan hanya dalam kurang lebih 16 baris. Bait saya harus efektif dengan hanya 16 baris rima bersilabel dan dengan jumlah suku kata yang gak banyak dan gak bisa dipadatin merepet. Inspirasinya gak jauh-jauh kok, dari pengalaman di lapangan dengan banyak kawan-kawan. Inspirasi utamanya ya kawan-kawan dan warga-warga yang sedang berjuang. Itu aja. Diksi-diksi yang saya pakai seputar rizomatik dan desentralisasi ini tidak asing di lingkar-lingkar anti-otoritarian. Memang sudah waktunya dijadikan pembendaharaan baik secara bahasa atau gagasan di ruang yang lebih luas.

“Bertahanlah sedikit lebih lama, tumbuhlah liar seperti gulma…”, kepada siapa sebenarnya pesan itu ingin anda sampaikan? 

Pada banyak kawan-kawan. Terutama mereka yang sedang bertahan di titik-titik konflik. Di Dago Elos Bandung, Sibolangit, Deli Serdang, dan Bara-Baraya Makassar dan kota-kota lain yang sedang berhadapan dengan penggusuran. Kawan-kawan di Cikandang, Pakel, Wadas, hingga Halmahera yang sedang berhadapan dengan kriminalisasi dan perampasan lahan. Kawan-kawan yang sedang membangun kolektif-kolektif, serikat-serikat, saling menguatkan di depan politik upah murah. Kawan-kawan yang membangun kooperasi dan kolektif-kolektif ekonomi mandiri di banyak tempat. Mereka yang membangun hal-hal remeh temeh penting yang tidak heroik tapi esensial, seperti membangun dapur umum, mutual aid, perpustakaan warga, ruang-ruang belajar otonom, aktivasi ruang-ruang kampung kota, dan lain sebagainya. Juga bagi mereka yang membangun sel-sel pertahanan, warga yang membakar pabrik yang merampas mata air mereka, membuat barikade, membakar beko dan alat berat tambang yang mengancam ruang hidup mereka, dan lain sebagainya. Karena kita sama-sama paham, cara-cara legal formal prosedural seringkali gak ada gunanya meski tetap harus dilakukan. Juga karena kita paham rezim pun gak selalu bermain kepatuhan hukum, omong-kosong tai anjing lah mereka bermain legal formal. Kita juga tahu mereka kayak gimana di lapangan dengan kuasa dan uang mereka. Ini juga untuk kawan-kawan yang sedang berada di balik jeruji dan mereka yang sedang melatih solidaritas tanpa komando terpusat dari hari ke hari, malam ke malam. Mereka yang berada di jalan sunyi pengorganisiran, berjejaring acak macam akar rimpang.

Ada yang memandang “Bersemi Sekebun” itu layaknya lagu bagi orang-orang yang kalah tapi terus bertahan. Atau bisa juga lagu tentang harapan. Sebenarnya, apa pesan utama yang ingin kalian sampaikan pada lagu tersebut? 

Kami pengen bikin lagu buat kawan-kawan yang merasa bahwa hal-hal kecil yang dilakukan saat ini di antara rentetan kekalahan-kekalahan itu sia-sia. Sesederhana itu sebetulnya. Yang kita lawan adalah kuasa gargantuan. Leviathan. Dengan disahkannya undang-undang drakonian (RKUHP dan Omunibus Law) hari-hari ke depan gak akan lebih mudah. Ada alasan mengapa kata “merajut” yang saya pakai, karena memang sesabar dan sesunyi itu yang harus dilakukan. Kekuatan warga tidak dibangun dalam satu malam. Tapi lahir dari upaya geliat hari ke hari. Bertahan, berjejaring, bersolidaritas, saling menguatkan. Berproses dan belajar. Cholil memang gak pernah cerita, tapi saya merasa tema album desentralistik dan diaspora ERK ini salah satunya belajar dari pengalaman mereka bereksperimen pragmatis dengan demokrasi kotak suara pas zaman copras capres so-called presiden popular anti militeristik yang notabene sami mawon. Serta mulai membangun wacana dan dukungan pada praktek-praktek demokrasi langsung serta perjuangan warga di akar rumput.

Anda sudah cukup puas dengan hasil produksi dan respon pendengar terhadap lagu “Bersemi Sekebun”?

Diajak kolaborasi aja udah lebih dari puas. Ketika mereka puas dengan hasil kontribusi saya, buat saya itu melegakan. Sekali lagi; ketakutan terbesar saya adalah malah merusak lagu mereka yang udah bagus. Jadi apapun hasilnya ketika itu udah dirilis, pendapat saya gak penting-penting amat. Kecuali satu hal mungkin; lagu itu udah mulai didengar dan dipakai banyak kawan-kawan di lapangan, seperti di lingkar-lingkar perjuangan di Pakel dan Bandung. Senang melihat lagu itu bekerja di ruang-ruang yang tidak bisa dijangkau oleh lagu-lagu saya yang berisik dan gak enak itu, haha.

Lantas, bagaimana anda melihat album Rimpang secara keseluruhan? 

Album ini lebih “sulit” dibanding Sinestesia. Sejauh ini bagi saya sebagai fans, Rimpang adalah album terbaik yang pernah mereka tulis. Tapi masih perlu waktu buat saya untuk tumbuh dengan album ini. Dan kayaknya, dengan album ini makin sulit buat kita denger ERK nemu jalan pulang untuk balik bersuara seperti di era album awal mereka.

Dengan adanya “Bersemi Sekebun”, apakah memungkinkan untuk melihat sosok anda sepanggung dengan Efek Rumah Kaca di suatu momen nanti? 

Bagusnya sih enggak. Saya sudah sangat menikmati posisi saya di depan panggung menonton mereka bersama istri saya dan fans ERK lainnya, haha.

Oke, ini yang terakhir, boleh tahu lima buku puisi/sajak favorit anda selama ini?

Lokal aja ya? Biar gak terlalu pusing milihnya. Selain Aku Ingin Jadi Peluru dan Aku Ini Binatang Jalang, tentunya: Ayat-ayat Api (Sapardi Djoko Damono), Akheiron (Rifki Syarani Fachry), Sahabat (Agam Wispi), Melihat Api Bekerja (M. Aan Mansyur), Post Kolonial dan Wisata Sejarah dalam Sajak (Zeffry Alkatiri). Ah banyak sih, tapi kalo lima yang kepikiran di kepala ya itu dulu…

Wawancara eksklusif oleh: Samack

Tagged

#grimloc records #samack #interview #morgue vanguard #homicide

Leave a Reply