X

White Men Can’t Jump (2023) Hanya Berhasil Jadi Tribute

by Abyan Nabilio / 2 years ago / 752 Views / 0 Comments /

White Men Can’t Jump baru saja mendapat reboot tahun ini, tapi apakah lebih baik dibanding versi sebelumnya?

White Men Can’t Jump merupakan salah satu film basket terbaik sepanjang masa. Jika bukan yang terbaik, saya tetap tidak bosan biarpun entah kali keberapa saya menonton film tersebut kemarin untuk keperluan tulisan ini. Dialog kocak super duper kebut yang pasti menyulitkan Pein Akatsuki atau Lebah Ganteng, setelan belel namun monumental yang masih jadi referensi berfesyen saya sampai sekarang, dan yang paling saya ingat, film ini merupakan film basket pertama (yang saya tonton) yang tak melulu hip-hop karena menyempil lagu Jimi Hendrix.

Film-film basket lain yang saya tonton (seperti Above the Rim atau Coach Carter) terasa terlalu serius dan kalau sempat memutar lagu, pasti rap atau alunan R&B lah yang keluar. Apa lagi di zamannya, AND1 besar dengan Mixtape Tour yang memantapkan bahwa basket haruslah pakaian serba gombrang. Bagi saya yang tidak terlalu mengikuti kancah musik tersebut tapi menyukai basket, tak ada film yang lebih berkesan dibanding White Men Can’t Jump. Saya bicara soal White Men Can’t Jump (1992) bukan White Men Can’t Jump (2023).

Reboot yang keluar tahun ini memang juga tidak melulu hip-hop. Tapi, Bung, Ed Sheeran? Film aslinya dengan halus mengangkat perbedaan ras melalui musik. Sidney Deane (Wesley Snipes) mempermasalahkan Billy Ho (Woody Harrelson) saat memutar “Purple Haze” di mobil. Ia berpendapat orang kulit putih hanya “listen to Jimi” sedangkan cara yang benar adalah “hear Jimi”, entah apa yang ia maksud, tapi pendapat itu bisa dipatahkan langsung oleh Billy karena anggota Jimi Hendrix Experience sisanya adalah kulit putih. Padahal, Sidney hobi mendengarkan lagu Cypress Hill (yang punya B-Real juga DJ Muggs dan lebih lekat ke Latin dibanding hitam). Billy, di sisi lain, mempertanyakan kenapa Ray Charles terdengar seperti koboi sembari mendengarkan “Careless Love”.

Musik adalah salah satu daya tarik White Men Can’t Jump (1992). Adegan awalnya memutar tembang gospel klasik “Just A Closer Walk with Thee” yang dikemas aransemen kocokan gipsi dilengkapi akapela trio pengamen homeband film ini, Venice Beach Boys, mengiringi Billy Ho menghampiri lapangan Venice pinggir pantai yang legendaris itu.

Setelah menonton film ini berulang-ulang, adegan ini merupakan salah satu yang saya tunggu-tunggu setelah opening 20th Century Fox versi funk masuk. Musiknya memang lebih tua, namun visual latar dan setelan para karakter merupakan paket lengkap memorabilia awal “90-an serta akhir “80-an. Kombinasi keduanya memberi kesan nostalgia bagi saya yang menonton film tersebut di pertengahan 2000-an, biarpun apa yang dirasakan para penonton saat film ini baru rilis bisa jadi berbeda.

Adegan tersebut dilanjut dengan pick up game legendaris penuh no look pass, handshake bergaya, trash talk kulit hitam, body shamming, dan ejekan soal ibu yang tidak bisa ditandingi oleh versi 2023-nya. Dialog di sana sungguh padat, jelas, dan jenaka. “Shut your anorexic, malnutrinitioned, tape worm having, overdosed Dick Gregory Bahamian diet drinking ass up,” ujar Sidney setelah kalah melawan Billy kepada teman cekingnya, Junior yang meminjaminya uang untuk taruhan menembak bola dari spot klasik, top of the key. Saya yakin Snipes (sebagai aktor bukan Sidney sebagai karakter) menahan tawa saat mengambil adegan tersebut. Nuansa yang sama berlanjut sepanjang film. Biarpun nyerempet tepi jurang kerasisan dan ke-bodyshaming-an, hal ini lah yang menghibur dan menjadi daya tarik utama White Men Can’t Jump (1992).

Ron Shelton (sutradara) terkenal dengan film olahraga dengan dialog-dialog tajam yang natural. Bull Durham, film soal bisbolnya yang dirilis pada 1988 juga punya karakter utama, Kevin Costner, yang karismatik dilengkapi setumpuk dialog komikal. Karena itu, di film ini pun ia menunjukkan senjata andalannya dengan mantap. Lebih lagi, dialog macam ini bukan hanya terjadi di foreground adegan, sempilan-sempilan karakter yang ada di background pun tidak kalah menggelitik jika diperhatikan dengan seksama.

Tulisan ini harusnya menjadi ulasan White Men Can’t Jump (2023) namun maaf saya malah keasyikan bernostalgia dengan film aslinya karena yang itu lebih enak dibahas. Membuat sebuah remake atau reboot memang punya kesulitan tersendiri. Penonton akan punya ekspektasi lebih apa lagi kalau karya orisinalnya sudah kelewat bagus. Karena itu, hasil besutan Calmatic ini terasa tanggung. Alih-alih membuka film dengan adegan menghantam seperti pick up game di film aslinya, ia malah berkutat pada backstory karakter melalui flashback macam filler Naruto yang kadang kali tidak perlu.

Selain itu, budaya dulu dan sekarang juga berbeda. Pembuat ulang film harus berpikir konteks lain dengan nuansa yang serupa. Di sisi ini, Calmatic cukup berhasil. Stereotip orang kulit putih yang culun dalam berbasket ria sudah hampir punah. Bahkan, orang-orang percaya bahwa mereka lebih baik dalam menembak tiga angka, biarpun masih kalah dengan “milk chocolate” (mengutip Jeremy yang diperankan Jack Harlow) macam Steph Curry.

Namun, biarpun banyak yang mengulas buruk, film ini bukannya tanpa kelebihan. Peran Kenya Barris sebagai penulis naskah yang sudah berpengalaman dalam serial macam Black-ish lumayan membantu, biarpun penggambaran Jonah Hill jago basketnya di You People gagal total.  Dialog yang ia buat “cukup” membuat White Men Can’t Jump (2023) bisa dinikmati sebagai feel good movie, apa lagi buat pecinta basket. Ditambah dengan pembawaan tengil Jack Harlow, karakter Jeremy berhasil mencuri perhatian dan beberapa kali membuat saya terkikik, seperti saat ia membahas kelembekan Kamal (Sinqua Walls) sebagai hitam tulen dan referensi Dumbo kepada karakter bertelinga caplang.

Tema besarnya masih sama, dynamic duo beda warna kulit yang bertaruh pada basket dengan meng-hustle lawan memanfaatkan tampang culun si kulit putih. Namun, seperti dibahas sebelumnya, ada konteks yang harus diubah. Warna kulit Jeremy tidak bisa lagi dipakai sebagai senjata untuk menyembunyikan kehebatannya, jadi ia konsisten digambarkan dengan setelan macam murid instruktur yoga. Kamal pun mengaku bahwa ia tertipu bukan karena warna kulit Jeremy melainkan setelan culunnya. Game basketnya pun tak bisa lagi berfokus kepada pertandingan dua lawan dua, karena itu bergeser ke pertandingan lima lawan lima dan tiga lawan tiga yang lebih musim sekarang dan masuk akal jika dibuat turnamen. Selain itu, kedua karakter utama juga “dicoba” dibikin relevan dengan masa sekarang.

Kedua karakter merupakan mantan atlet gagal yang berakhir menjadi hustler. Jeremy adalah salah satu pelatih-pelatih dalam jaringan yang biasa kita temukan di explore Instagram atau TikTok. Orang macam dia  lah yang mebuat pemain-pemain sekolah zaman sekarang bermain macam Ball bersaudara. Ia bisa saja menjadi pemain bintang dan ikut di liga besar, tapi terhalang cedera lutut.

Di sisi lain, Kamal merupakan bintang lapangan di SMA yang punya masalah mengatur emosi. Ia tak melanjutkan karier basketnya karena tidak enak kepada ayahnya (yang menurut saya alasan dangkal yang tidak masuk akal).

Biarpun berhasil memutakhirkan konteks, karakter-karakter White Men Can’t Jump yang baru tidak begitu kuat. Karakter adalah keunggulan Ron Shelton yang lain. Hampir semua karakternya relevan. Sedangkan di sini, menurut saya hanya Jeremy yang punya karakter cukup kuat, karena itu ia lebih mudah di deskripsikan  dibanding Kamal.

Dibanding istri Kamal, saya lebih melihat istri saya di istri Sidney, penuntut karena keadaan memang menuntut. Motif keluarga Sidney mendapat uang adalah untuk keluar dari lingkungan tempat tinggal mereka yang memang tidak baik untuk tumbuh kembang anak. Sedang istri Kamal adalah pendukung sejati seperti perempuan-perempuan di biopik orang-orang sukses dengan semboyan seksis, “di balik orang hebat ada perempuan hebat”.

Ini mungkin kurang relevan melihat Kamal sudah punya tanggungan anak. Kamal tidak melanjutkan karier basket karena masalahnya sendiri, bukan memikirkan masa depan keluarga. Buktinya, istrinya mendukung Kamal mengejar passion-nya dan di sini ia beruntung karena ada jutaan pebasket di Amerika Raya yang mengejar masuk liga, bukan hanya NBA tapi bahkan liga sampingan macam G-League atau liga-liga di Eropa atau Tiongkok. Dengan desakan keadaan, tidak banyak yang mendapat dukungan untuk hal kurang realistis macam itu dari keluarganya. Joey Haywood a.k.a. King Handles dari Kanada mungkin salah satu contoh yang kurang berhasil biarpun konsistensinya membuka pintu rezeki lain.

Istri Kamal merupakan salah satu contoh saja. Sebenarnya, hampir semua karakter sampingan film ini terasa seperti NPC di ­game-game RPG, perannya mentok memberi petunjuk pada pemeran utama setelah itu bisa dilupakan. Di sisi lain, karakter-karakter White Men Can’t Jump (1992) punya motif masuk akal. Ini juga yang membuat Billy berpisah dengan kekasihnya di akhir cerita.

Secara keseluruhan, White Men Can’t Jump (2023) terasa terlalu positif, terlalu harfiah. Di sisi lain, film aslinya lebih terasa realistis. Dari pesan keragaman rasialnya, White Men Can’t Jump (2023) bisa diibaratkan “Black or White”-nya Michael Jackson sedang White Men Can’t Jump (1992) adalah kolaborasi Paul McCartney dan Stevie Wonder di “Ebony and Ivory”. Yang kedua lebih memanfaatkan metafora tapi lebih terasa dekat dan indah tentunya, seperti love hate relationship Billy Ho dan Sidney Deane.

Seperti dibahas sebelumnya, film ini lumayan menghibur. Tapi, film ini hanya berhasil jika dianggap sebagai tribute. Macam Karaoke Night Oasis atau kumpulan musisi Ibu Kota, The Mets, yang berencana cosplay jadi The Strokes, White Men Can’t Jump (2023) hanya berhasil mengangkat sisi nostalgia versi 1992-nya tanpa memberi kenikmatan menonton karya aslinya.

Ini merupakan film kedua Calmatic. Sebelumnya, ia membuat ulang House Party (1990). Ia sudah dikenal sebagai sutradara video musik kenamaan. “Old Town Road” dari Lil Nas X salah satunya. Namun, entah mengapa ia lebih memilih membuat ulang film dibanding membuat karya orisinalnya sendiri. Padahal, ia bisa saja mengambil judul White Men Can Shoot atau What Can’t Milk Chocolate Do? dan mengangkat fenomena basket yang relevan kini tanpa harus terikat ekspektasi film lama tapi tetap bisa menjadikannya referensi dalam film.

Tagged

#Woody Harrelson #White Men Can't Jump #Wesley Snipes #Calmatic #Jack Harlow