X

Avhath dan KUNTARI dalam Ephemeral Passage: Spirit Melibas Batas dan Spontanitas

by webadmin / 4 weeks ago / 213 Views / 0 Comments /

Menggali lebih lanjut kelindan antara Avhath dan KUNTARI yang akhir tahun lalu membuahkan Ephemeral Passage, bentuk keselarasa dalam melibas batas dan melanjutkan spontanitas. 


Meski tahun 2024 sudah berlalu, namun belum lega rasanya untuk ikut melewatkan salah satu rilisan menarik yang dieksekusi Avhath dan KUNTARI, sebuah album dengan tajuk Ephemeral Passage dan berhasil mengudara pada awal Desember kemarin.

Salah satu titik unik dari dua nama ini adalah spirit mereka untuk menembus batasan dari masing-masing koridor musik. KUNTARI sudah jelas, tak ada sekat yang bisa memagari ranah kreatifnya (meskipun Tesla Manaf, salah satu otak di baliknya enggan untuk menyebut KUNTARI eksperimental) sebagai unit musik. Di sisi lain Avhath adalah unit black metal/post-metal urban yang lekat dengan fleksibilitas, dalam artian kuintet tersebut tentunya jauh dari pola pikir ortodoks yang serba terpaku. 

Dua semangat ini pun akhirnya kawin selaras antara bebunyian asing dengan mentah dan dinginnya logam hitam, menyajikan pengalaman lain yang mungkin sangat langka untuk dirasakan persis. Namun, siapa sangka kalau ide dengan buah brilian ini justru muncul dari sebuah spontanitas yang ditindaklanjuti. Hal itu juga yang membuat keduanya saling melanjutkan impresi mereka satu sama lain. 

Dalam rangka menggali hal ini lebih lanjut, saya pun sengaja menghubungi mereka untuk interview daring lantaran gagal menemuinya langsung karena jadwal mereka di Bandung untuk syuting live session di Dago Pakar Desember lalu urung dilaksanakan.

Tesla tidak berangkat sebagai penggemar musik metal ekstrim akut, sosok penggemar nu metal tersebut mengaku justru baru mengenal Avhath lewat merchandise mereka yang bisa dibilang cukup masif serta visualnya yang seringkali catchy dalam dua tahun terakhir.

“Aku pribadi emang nggak terlalu ngikutin metal ekstrim dan sekitarnya, paling banyaknya band-band temen aja yang didenger. Tapi karena sering liat merchandisenya Avhath, sekitar tahun 2022 penasaran dan baru mulai rajin dengerin mereka, buka Bandcampnya dan akhirnya nggak lama dari situ sampai lah message dari Ekrig buat proyek Ephimeral Passage ini. Nggak mikir panjang tuh, langsung gas,” ujarnya.

Sementara motif Avhath yang saat itu diwakili oleh Rezky Prathama atau akrab disapa Ekrig (vokal) dan Indra (bass) tak menyangkal kalau memang hal yang mendorong mereka untuk akhirnya menggapai KUNTARI adalah semangat untuk terus membuat sesuatu yang melampaui karya-karya sebelumnya.

“Sebenernya dulu tau KUNTARI itu pas tau mereka rilis Last Boy Picked (2022). Karena album ini kan emang rame dibahas di media atau webzine gitu-gitu. Terus sekitar 2023 akhir baru kepikiran buat proyek ini karena tahun itu kita cuman rilis satu rilisan doang kan, si “Return To Sender”, dan ngutip dari gitaris kita, Rey, dia tuh tipe orang yang setiap lagu baru Avhath itu jadi lagu favorit barunya dia. Tapi itu juga bikin tanda tanya baru buat dia buat ngelampauin rilisan kita. Nah, karena aku sendiri selalu denger itu dari Rey, aku jadi mikir ‘ngapain lagi ya kita ke depannya?’. Terus ya langsung kepikiran buat kolaborasi dan nama yang kepikiran langsung KUNTARI, spontan aja gitu. Btw, aku pun ketika message Tesla belum kenal secara personal,” terang ex-vokalis For The Flames Beneath Your Bridge tersebut. 

“Kalo gue ngibaratinnya ini kayak combat sport, seorang petinju itu bakal lebih jago ketika ketemu lawan yang sama jagonya. Jadi kalo dari kacamata kita, ketika Avhath ketemu unit musik yang beyond, berharapnya bisa ngeluarin sisi beyond-nya Avhath juga”, timpal Indra.

“Tapi, dari sekian banyak kemungkinan kenapa musik seperti KUNTARI ini yang dipilih buat kolaborasi? Apa emang Avhath sendiri punya ketertarikan lebih ke musik-musik noise demikian?” timpal saya. 

“Kalo aku pribadi awam banget sebenernya, paling Avhath beberapa kali pernah main barengan sama yang line-up-nya main musik gitu semua,” aku Ekrig.

“Avhath pernah split sama band noise sebenernya, namanya Aneka Digital Safari, meski pun itu juga gara-gara gue yang doyan aja sih sebenernya, hahaha,” tambah Indra.

Melanjutkan ide tersebut, Avhath secara natural berhasil membuahkan lima lagu yang akhirnya punya muatan cukup untuk dijadikan satu paket album. Meskipun mereka memang bilang tak pernah punya target buat rilisan barunya, bahkan hal itu selalu jadi statement atau bahkan cara kerja band hunian lima orang tersebut, semuanya berjalan dengan satu kata kunci: spontan.

“Berkaca ke yang lalu-lalu, kita tuh ada aja kayak misal beberapa lagu yang baru bikin pas mau nge-take gitu-gitu dan buat rilisan ini juga cara kerja kita masih nggak jauh beda sebenernya”, pungkas Indra.

“Ya, kalo banyak band lain punya tabungan lagu atau apa gitu, kita nggak punya sama sekali. Bank riff mungkin Yudha atau Rey punya, tapi itu masih mentah banget. Kita emang cenderung bikin sesuatu yang saat itu juga,” Ekrig melengkapi.

Mungkin itu juga alasan mereka tak pernah punya album penuh. Proses yang panjang dan kompleks membuat intensitas penggarapan menurun dan hal itu yang tak diharapkan Avhath. 

Jika berbicara di Ephemeral Passage, prosesnya mungkin bisa dibilang mulus. Avhath memulainya dengan riff yang kemudian ditimpali oleh drummer mereka hingga akhirnya Tesla merespon bunyi yang dihasilkan. Dengan bekal workshop sekali di Jakarta dan sisanya dikerjakan jarak jauh. 

 Tapi di satu lagu yang bertajuk “TRAVERSAL”, KUNTARI memutar cara kerjanya, di mana ia yang ambil kendali lebih dulu untuk akhirnya Avhath turuti.

“Di lagu ini mungkin bisa dibilang prosesnya dituker, kalo biasanya Avhath duluan yang mulai dan kita mengikuti, ini kebalikannya, tapi akhirnya bisa berbuah jadi sedemikian rupa yang bahkan kita nggak kepikiran sama kita sebelumnya.”, terang Tesla.

Itu Avhath dalam kacamata Tesla, namun melihat KUNTARI sendiri, mereka menghindari approach yang sama dengan eksekusinya bersama Ssslothhh yang pernah dilakukan. Di sini, KUNTARI berusaha memunculkan karakter suara ‘kampungan’ secara menonjol dan ditempatkan di tempat yang tepat, sehingga elemen ini tak hanya jadi pemanis, namun  bisa menciptakan hook tersendiri buat pendengar. 

“Hal yang jadi pembeda di sini adalah dramaturginya harus bagus, supaya dari awal sampe akhir orang tuh nyimak dan setelah habis, mereka penasaran buat dengerin lagi. Menurutku bunyi terompet, rebana, bahkan penempatan Kuntari keseluruhan di waktu yang tepat itu ngulik dramaturginya susah banget, dan itu yang sebenernya lebih banyak ngambil porsi mikirinnya buat KUNTARI”, jelasnya.

“Ceritain lebih lanjut dong tentang unsur rebana di sini!” Indra menimpal.

Dengan sedikit terkekeh, Tesla menuturkan, “Kebetulan beberapa tahun terakhir itu speaker masjid deket rumah itu baru ganti, jadi mereka cobain terus tuh speaker-nya. Setiap kosidahan itu selalu kedengeran jelas banget ke rumah. Meski pun nggak apa-apa juga sih sebenernya, malah itu asyiknya Indonesia, karena kita nggak punya keterbatasa noise, makanya kita itu tinggal di negara noise, hahaha.”

Musisi noise yang hampir tak pernah mendengarkan noise itu tak menyia-nyiakan ide mentah yang muncul dari speaker masjid dekat rumahnya tersebut. Setelah kurang lebih dua tahun terakhir selalu dijejali kosidahan, akhirnya sekelebat terlintas buat mengkawinkannya dengan musik Avhath, ia mengakui sespontan itu. Dari sana, buahnya kamu bisa dengar unsur-unsur tersebut kental menimpali haunting-nya lantunan Avhath di deretan trek dalam Ephemeral Passage

Cemerlangnya eksekusi ini tak lepas dari sang produser Lafa Pratomo yang padahal ini jadi portofolio pertamanya mengerjakan musik ekstrim. Meski demikian, secara proses album ini berjalan selaras antar dua musisi begitu pun produsernya sehingga ini jadi pengalaman yang menyenangkan buat ketiganya, meski sebenarnya mereka sedang memasak musik yang jauh dari kata itu. 

“Di sini peran Lafa besar banget. Kalo ngga ada Lafa, kayaknya kita udah adu ego aja”, ungkap Ekrig,

Ephemeral Passage akhirnya lebih dari sekedar keselarasan eksperimentasi musik dan bebunyian, ini perkawinan spirit. Jika hal yang mendasari mereka untuk membuat sesuatu sudah cocok, maka output-nya akan mewarisi rasa suka cita dari sang kreator. Meski jadi buah eksperimen yang tak begitu lazim, namun album ini tak pula kemudian terdengar pretensius–melainkan jadi cerminan karakter masing-masing saat dilebur jadi satu.

“Berdasarkan gimana kita bikin album ini sih gue ngerasa aklau Avhath dan Kuntari kawin karena emang kita mau ngelanjutin spontanitasnya. Berdasar dari pengalaman Avhath emang kalo dipikirin terlalu keras gitu output-nya malah lebih mantep yang spontan gini. Mungkin gue ngerasa spontan itu lebih jujur kali ya”, tutup Indra.

Dengarkan Ephemeral Passage di sini!