X

Spotify, Royalti dan Polemik

by webadmin / 3 weeks ago / 113 Views / 0 Comments /

Menelisik singkat; kemudahan, kontroversi dan alternatifnya.


Hari ini mendengarkan musik sudah banyak opsi dan medium. Apalagi berbicara dengan fenomena digital music platform yang kian membahana dari hari ke hari dan kata kuncinya: aksesnya sungguh mudah.

Ya jelas bila kita tarik ke belakang, dahulu bila ingin mendengarkan lagu, harus ngubeg-ubeg kaset atau CD juga piringan hitam, lantas mendapat keribetan saat memutarnya di perangkat music player. Atau kalau mau yang agak modern, harus mengunduh serpihan MP3 satu per satu, kemudian pindahkan ke ponsel, lalu baru bisa dengerin. Sekarang? Jelas semua ada di genggaman. Cukup buka aplikasi, ketik judul lagu, dan voila! Musik mengalun tanpa hambatan. Berkat platform sejenis Spotify, dunia rasanya jadi lebih simpel. Tapi di balik kemudahan itu, ada satu pertanyaan besar: ini enaknya cuman buat kita sebagai pendengar, atau musisi juga ikut senang?

Spotify muncul di tahun 2008, saat industri musik lagi morat-marit dihajar pembajakan. Pada 1999, industri musik masih punya pemasukan sekitar 14,6 miliar dolar. Tapi satu dekade kemudian, jumlah itu anjlok hampir setengahnya. Saat itu lah Spotify datang membawa konsep baru: musik bisa diakses tanpa harus beli satuan, cukup bayar langganan atau nikmati gratis dengan iklan. Solusi brilian? Mungkin. Tapi apakah ini berarti para musisi akhirnya bisa bernapas lega? Eits, tunggu dulu.

Sistem Spotify ternyata jauh berbeda dari era kaset atau CD. Kalau dulu musisi dapat uang dari tiap keping album yang terjual, sekarang mereka dibayar per jumlah streaming. Keliatannya adil, sampai lo tahu angkanya. Spotify disebut-sebut membayar sekitar $0,006 sampai $0,0084 per stream. Dengan kata lain, kalau lagu lo diputar sejuta kali, baru bisa dapat sekitar 6.000 dolar—dan itu belum dipotong label atau manajemen. Kebayang kalau cuma dapat ratusan ribu stream atau bahkan kurang?

Makin besar labelnya, makin besar pula jatahnya. Label-label indie sering kali cuma kebagian sisa-sisanya. Jadi kalau lo bukan Taylor Swift atau BTS, siap-siap aja berjuang lebih keras buat dapet penghasilan layak.

Bukan cuma pendengar kritis yang mempertanyakan sistem ini, tapi juga para musisi sendiri. Salah satunya Reggie Watts, rapper sekaligus komedian yang terang-terangan menyebut Spotify “mengubah musik jadi permainan angka.” Menurutnya, Spotify cuma menguntungkan pemegang saham, sementara seniman yang menciptakan musik malah dibayar “remah-remah.”

Pernyataan Watts ini bukan sekadar curhat. Björk, ikon avant-garde asal Islandia, juga ikut bersuara. Dalam wawancara baru-baru ini, dia bilang Spotify adalah “hal terburuk yang pernah terjadi di dunia musik.” Menurutnya, musisi zaman sekarang lebih sibuk mengejar algoritma dan daftar putar ketimbang benar-benar mengasah keterampilan mereka.

Ini masuk akal. Algoritma Spotify memang punya kuasa besar. Musik lo bisa jadi viral kalau masuk playlist yang tepat, tapi kalau nggak? Bisa aja tenggelam di lautan jutaan lagu lain. Jadilah banyak musisi yang sekarang merasa harus “bermain sesuai aturan” demi tetap relevan.

Sekarang pertanyaannya: kalau sistemnya begitu, harusnya kita berhenti pakai Spotify? Jawabannya nggak sesimpel itu. Mau bagaimana pun, Spotify tetap platform terbesar yang memungkinkan musisi menjangkau lebih banyak pendengar. Boikot total mungkin bukan solusi yang realistis, tapi ada cara lain buat lebih mendukung artis favorit kita. Misalnya? Beli album atau merchandise mereka langsung. Datang ke show mereka, entah skalanya gigs atau konser. Kalau memang mau streaming, coba pakai platform lain yang lebih ramah musisi. Nah, kalau Bandcamp udah sering disebut sebagai opsi terbaik kan, berikut beberapa alternatif lain yang bisa kalian coba, khususnya untuk pangsa pasar Indonesia:

Joox 

Bisa dibilang ini pesaing terbesar Spotify di Indonesia. Joox lebih populer di Asia, terutama di Hong Kong dan Indonesia. Selain menyediakan banyak lagu dari artis global, Joox juga punya banyak katalog musisi lokal dan fitur “Karaoke” yang bikin pengalaman streaming lebih seru.

Langit Musik 

Platform streaming asli Indonesia ini punya keunikan sendiri: bebas kuota bagi pengguna Telkomsel. Langit Musik juga lebih mendukung musisi lokal dengan royalti yang lebih transparan dibanding Spotify.

Resso

Anak perusahaan ByteDance (pemilik TikTok) ini mulai naik daun di Indonesia. Resso menawarkan pendekatan lebih interaktif, di mana pendengar bisa berkomentar langsung di lagu yang diputar. Platform ini juga banyak mempromosikan artis independen dan lagu-lagu lokal.

Deezer 

Meski kurang populer di Indonesia dibanding di Eropa, Deezer tetap bisa jadi pilihan buat yang mau streaming dengan kualitas audio lebih baik daripada Spotify. Deezer juga memiliki pendekatan lebih transparan dalam pembayaran royalti musisi.

Apple Music 

Opsi premium buat mereka yang ingin kualitas suara lossless dan tanpa iklan. Apple Music menawarkan sistem pembayaran royalti yang lebih adil dibanding Spotify, karena mereka tidak menggunakan sistem prorata. Jadi, semakin banyak lo mendengarkan satu musisi, semakin besar pendapatan mereka dari langganan lo.

YouTube Music 

Karena YouTube sudah jadi platform utama konsumsi musik di Indonesia, YouTube Music otomatis jadi alternatif yang solid. Langganan YouTube Premium bisa jadi win-win solution karena selain dapat akses YouTube bebas iklan, musisi juga tetap mendapat bagian dari royalti.

Tidal 

Meski belum sepopuler platform lain di Indonesia, Tidal punya nilai plus dalam membayar musisi dengan lebih baik. Kualitas audio juga jauh lebih tinggi, cocok buat yang benar-benar peduli soal sound fidelity.

***

Spotify dan layanan streaming lainnya memang bikin hidup lebih gampang. Tapi di balik kenyamanan itu, ada ketimpangan yang harus kita sadari semua. Musik bukan cuma soal lagu-lagu yang enak didengar, tapi juga soal bagaimana para musisinya bisa tetap berkarya dengan layak dan apresiatif tentunya.

Teks oleh: Karel