The Current Dynamics of Hip-hop in Indonesia

Menilik dinamika hiphop lokal lewat kacamata tiga musisi emerging: Dzulfahmi (Defbloc), Quest* (Preachja) dan Nara (Krazy Brazy).
Media sosial belakangan ini ramai memperbincangkan gebrakan fusion hiphop dan dangdut yang diperkenalkan Tenxi lewat single “Garam dan Madu”. Banyak yang mengapresiasi keberaniannya dalam menjembatani dua genre yang dianggap kontras–hiphop yang urban dan dangdut yang tradisional.
Diskusi pun meluas, beberapa warganet menyebut karya ini sebagai bukti inovasi musik Indonesia yang semakin inklusif, sementara lainnya mempertanyakan apakah campuran ini akan memiliki daya tahan di pasar. Meski menuai pro dan kontra, satu hal yang jelas: Tenxi berhasil memancing dialog yang relevan tentang batasan kreativitas dalam musik.
Di sisi lain, kritik terhadap fusion ini juga bermunculan di media sosial. Beberapa pihak menganggap penggabungan ini terlalu dipaksakan dan justru mengurangi esensi masing-masing genre. Penikmat hiphop garis keras, misalnya, menilai bahwa elemen dangdut dalam “Garam dan Madu” terlalu dominan sehingga mereduksi ciri khas hiphop yang berakar pada lirik kuat dan beat yang agresif. Begitu pun pecinta dangdut tradisional merasa elemen hiphop membuat lagu kehilangan unsur kerakyatannya.
Dari sisi lain, fusion hiphop dengan genre lain kini sering ditemukan di Indonesia, menciptakan perpaduan unik yang memikat berbagai kalangan. Di ranah mainstream, salah satu contohnya adalah pencampuran hiphop dengan musik tradisional seperti gamelan atau keroncong yang dilakukan oleh Rich Brian dalam single “Kids” memberikan sentuhan nasionalisme dengan elemen tradisional yang kental, meskipun dengan pendekatan modern.
Selain itu, grup seperti Weird Genius menggabungkan hiphop dengan electronic dance music (EDM), menghasilkan karya yang energik dan segar. Tidak ketinggalan, beberapa musisi yang bergerak di ranah independent juga mencoba memadukan hiphop dengan jazz seperti yang dilakukan BAP. atau KidQuest yang menciptakan suasana laid-back yang penuh improvisasi. Tren ini menunjukkan bahwa hiphop di Indonesia tidak hanya beradaptasi, tetapi juga menjadi medium untuk melestarikan sekaligus memperbarui identitas musik lokal.
Perkembangannya juga terus menunjukkan grafik yang bisa dibilang menaik, dengan semakin banyaknya musisi dan komunitas yang berkontribusi memperkaya genre ini. Label-label lokal seperti Defbloc, Preachja, dan Krazy Brazy menjadi salah satu motor penggerak utama dalam mempopulerkan hiphop di berbagai kota. Masing-masing label membawa warna unik, Defbloc dengan pendekatan old school-nya, Preachja menaungi roster yang eksploratif di arah opium, hingga Krazy Brazy yang menawarkan musik-musik ala UK drill lewat album Pionir (2024) dari K3BI atau yang lebih santai dengan album NOO (2023) dari Muria.
Kehadiran label-label tadi tak hanya memperluas cakupan hiphop, tetapi juga menciptakan ekosistem yang mendukung regenerasi, dan distribusi musik secara independen, menjadikan hiphop Indonesia semakin beragam dan dinamis.
Tak bisa dipungkiri untuk saat ini Gen-Z juga menjadi salah satu target pasar paling potensial dalam ranah musik hiphop lokal. Dengan karakteristik yang cenderung terbuka terhadap eksplorasi genre dan kemudahan akses ke berbagai platform streaming, generasi ini telah mendorongnya untuk berinovasi. Tren lirik yang relevan dengan isu-isu personal, seperti kesehatan mental, hubungan sosial, dan pemberdayaan diri menjadi hal-hal yang menonjol.
Di sisi lain, Gen-Z juga kembali lagi tak bisa dijauhkan dengan media sosial yang terus memainkan peran vital dalam mendobrak batasan geografis dan menghubungkan para musisi dengan penggemar di seluruh pelosok negeri. Lewat platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube, musisi hiphop kini dapat membangun komunitas penggemar mereka sendiri sekaligus memperluas jangkauan karya mereka. Tren ini juga memberikan peluang bagi musisi independen untuk menampilkan gaya unik mereka tanpa harus tunduk pada aturan-aturan industri mainstream, yang sering kali membatasi kreativitas.
Namun, tantangan tetap ada. Dukungan dari industri musik mainstream di Indonesia terhadap hiphop masih tergolong terbatas, dengan fokus yang lebih besar pada genre-genre populer seperti pop dan dangdut. Selain itu, meskipun kolaborasi lintas genre semakin diterima, masih ada resistansi dari beberapa kalangan yang memandang hiphop sebagai genre imported dan kurang autentik. Namun, dengan berbagai macam inovasi dan kegiatan berkolektif yang terus terbangun di antara para pelaku hip-hop, tahun 2025 menjadi saksi bagaimana genre ini terus berevolusi dan memberikan kontribusi signifikan pada keberagaman musik Indonesia.
Untuk mendapat point of view yang baru, kali ini saya berkesempatan untuk melakukan wawancara singkat dengan tiga pelaku hiphop segenerasi yang bisa dibilang juga emerging Dzulfahmi, Quest* dan juga Nara. Dalam wawancara berikut, ketiganya berbagi pandangan mereka tentang tantangan, inspirasi, dan langkah konkret yang diperlukan untuk memperkuat posisi hiphop di tanah air, sekaligus menjawab bagaimana mereka melihat masa depan genre ini di tengah arus perubahan yang terus berkembang.
***
Bagaimana lo melihat perkembangan hiphop di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir?
Dzulfahmi: Beberapa tahun terakhir ini gue melihat hiphop di Indonesia sangat variatif dan eksperimental. Mereka mulai mencoba untuk menghancurkan sekat genre dan kerangka lagu. Kalau ditarik dari era Pesta Rap yang mempunyai kerangka lagu verse-chorus-verse-chorus dengan rhyme simpel, sekarang ada beberapa musisi yang meletakkan chorus hanya di belakang atau pun hanya verse saja dengan teknik penulisan yang lebih rumit dan delivery yang variatif.
Quest* (Envy*/Preachja): Kalau dua tahun kebelakang seru banget ya, banyak rilisan lagu hiphop dari berbagai kalangan lifestyle dan makin banyak yang bikin pakai Bahasa Indo (which I think it’s cool walau susah).
Nara (Krazy Brazy): Very interesting, there’s a lot of things going on. Tapi, on top of that aku lihat way many ‘Angin Segar’ way way too many. And that’s good.
Apa tantangan terbesar yang lo hadapi sebagai pelaku hiphop di Indonesia, baik dari segi produksi musik, distribusi, maupun pengakuan industri?
Dzulfahmi: Sebelumnya, gue sangat sepakat bahwa rapper itu berawal dari miskin, banyak mau dan sombong. Tantangan terbesar yang gue pribadi hadapi adalah minimnya budget untuk memproduksi sebuah karya dan income yang tidak sebanding dengan industrinya. Untuk di Industri musik Indonesia sendiri pun hiphop masih tergolong segmented dan saya yakin kalau berbicara musik secara keseluruhan, penikmatnya masih sangat sedikit.
Quest*: Tantangan terbesarnya nggak ada sih, paling how to get paid well. Tapi menurut gue itu proses buat artisnya masing-masing dalam pembuatan sampai cara deliver-nya, soalnya gue percaya kalo musiknya bagus everything comes along with it (beneran bagus ya, bukan keren doang).
Nara: Secara produksi, sedikit banyak mirip yang aku lihat di luar. Some of those are home productions, lempar ke engineer, lempar lagi buat preview, etc. Final lempar ke record label. Submit. ‘Pengakuan’ industri rasanya kayak ada dan nggak ada ya, for me, i suppose, for now. But if there’s any chance. Buat grow bigger in ‘industry’, I have no problem in that.
Menurut lo, seberapa besar peran media sosial dan platform streaming dalam mendukung pertumbuhan kancah hiphop di Indonesia?
Dzulfahmi: Media Sosial tentunya sangat penting untuk berjejaring dan memperlihatkan branding. Bisa juga sebagai portofolio untuk musisi itu sendiri. Berbicara tentang platform streaming, saya pribadi tidak terlalu melihatnya sebagai pemberi income untuk musisi bertumbuh, karena banyaknya potongan royalti dan peraturan-peraturan yang menurut saya cukup merugikan musisi. DSP hanya alat kami untuk mempermudah pendengar menjangkau karya kami. Justru pertumbuhan hiphop di Indonesia didukung dengan menjamurnya kolektif-kolektif hiphop di Indonesia.
Quest*: Besar banget sih, sekarang kan kalau ada apa-apa liatnya di medsos. Update, link up, nyari inspirasi. Banyak juga pasti yang mulai bermusik atau ketemu teman musik di medsos/internet dulu.
Nara: Sangat besar, karena seperti apa yang kita lihat. Medsos jatuhnya udah kayak portofolio atau CV yang di-serve dari artis ke pendengar, so, semenarik dan ‘convincing‘ itu, plus ditambah karya yang bagus, sama dengan goal.
Bagaimana lo melihat fenomena fusion genre di hiphop beberapa tahun ke belakang? Seperti menggabungkan hip-hop dengan dangdut/koplo. Apakah itu mempengaruhi identitas hiphop Indonesia?
Dzulfahmi: Keren sih, menurut gue hip-dut (hip-hop dangdut) gitu genrenya cuma Indo yang punya. Karena dangdut is the music of my country. OOT, Project Pop tuh menurutku salah satu roots-nya hiphop indo sih. Liriknya tematik, ada punch line, ada rimanya.
Quest*: SERU POL, jadi nggak bosen semuanya punya approach dan community movement-nya masing-masing. Meski belum banyak yang pop off, tapi kayaknya sudah banyak yang mulai aware how to get their things done dengan adanya TikTok? Lagu kayak apa juga bisa masuk asal message dalam lagu lo tersampaikan, entah itu lirik, vibe, beat atau apapun yang lo push tapi jelas pesannya menurut gue akan nyampe ke aja sih.
Tenxi sama Toxicdev pecah banget. Gue agak nggak peduli dan nggak aware sebenarnya di lagunya mereka campurin musik tradisional apa. Yang gue tau kalo enak, ya enak aja, hahaha. Identitas yang paling penting adalah identitas diri sendiri.
Nara: I always believe in pushing boundaries whatever the platform is, mau seni musik, seni rupa, seni pertunjukan, atau apa pun itu. Menurutku, apapun yang didasari dengan bagasi ‘pengetahuan’ yang luas, fleksibel, dan konkrit. Bentuk ‘distorsi’ yang dikeluarkan sudah seharusnya mumpuni, atau bahkan keren.
Menurut lo, siapa rapper lokal yang masih bisa dibilang underrated tapi sudah siap untuk mendapat spotlight lebih di tahun ini?
Dzulfahmi: Ken Amok, Flyzad, Rai Anvio. Prediksi gue untuk 2025 nama-nama tersebut bakal rilis album keren di tahun ini.
Quest*: Gue, hahaha.
Nara: Wah, banyak sih. Mungkin dari teman-teman sendiri, they make a lot of damn good music. And they deserve more. Kalo disebutin satu-satu ada banyak, coba trust your ears and listen to them one by one. You’ll get me.
Pertanyaan terakhir, apa langkah konkret yang bisa diambil oleh pelaku hiphop dan label rekaman untuk menciptakan ekosistem yang lebih kuat dan berkelanjutan bagi hiphop di Indonesia?
Dzulfahmi: Bentuk kolektif yang terorganisir dan lingkungan yang sehat sih. Jangan curangi temen aje brok.
Quest*: Modalin diri sendiri, bikin target rilisan, kerja bareng temen yang lo percaya, bikin ekosistem dari circle yang lo bangun. Dari musik-promo-business biar temen temen lo yang percaya sama lo ambil peran.
Walau kecil asal serius dan konsisten pasti gerak perlahan. Sama stop underestimate diri lo sendiri. Start have your self respect. Kerjain musik lo jangan sesuai mood. Sama for now jangan kegocek major label. Mereka semua nggak ada yang ngerti, suka, bahkan percaya kalo musik hiphop bisa besar.
Nara: Very good question. Aku lihat banyak dan sedikit yang aku tau. Yang mungkin dirasakan juga oleh teman sesama pelaku, yaitu kurangnya bentuk apresiasi yang menyeluruh, gampangnya masih banyak free gigs (yang sifatnya bukan charity ya) or dibayar seadanya atau dibayar pakai ‘sisa’ kas, yang menurutku dengan adanya opsi konsep sponsorship rasanya bisa sekali diusahakan untuk paid the artist well, seperti halnya membayar stage, venue, atau sound system. Karena akhirnya, menghasilkan karya yang dinikmati bersama pun dibuat pakai uang. Ditambah siapa sih yang tidak sedang berusaha untuk sesuatu atau seseorang di luar sana. How can we talk about the ecosystem, kalau kehidupan per individunya pun belum hidup.
***
Pada intinya hiphop di Indonesia pada tahun 2025 telah menunjukkan kemajuan signifikan, baik dari segi kreativitas, inovasi, maupun penerimaan publik. Fusion genre seperti yang dilakukan oleh Tenxi dan musisi lainnya membuktikan bahwa hiphop dapat menjadi medium untuk menyatukan berbagai budaya, menciptakan identitas baru yang semakin beragam dan inklusif. Meski, mengundang pro dan kontra, hal ini justru menunjukkan bahwainovasi selalu menarik perhatian, namun jangan lupa masih ada tantangan untuk menyatukan beragam preferensi dan ekspektasi dari pendengar yang berbeda.
Di tengah tantangan ini, para pelaku hip-hop seperti Dzulfahmi, Quest*, dan Nara terus memberikan kontribusi positif dengan berfokus pada eksplorasi genre, dan membangun ekosistem yang mendukung regenerasi. Meski industri mainstream belum sepenuhnya membuka pintu lebar untuk hiphop, media sosial dan kolektif independen telah menjadi senjata utama untuk memperluas jangkauan dan membangun komunitas yang kuat. Dengan semangat inovasi dan kolektif yang terus terjaga, hiphop Indonesia tidak hanya beradaptasi, tetapi juga menjadi salah satu pilar penting dalam keberagaman musik lokal.
Teks dan interview oleh: Freykarensa