Alkateri: “Nggak Puas Kalo Cuman Jadi Crew!”
Perkenalkan Alkateri. Unit pop baru dari kota Bandung yang memulai band-nya karena tidak puas jadi kru band.
The Panturas. Yaaa nama itu memang kini sudah menjadi bintang. Grup yang barang pasti kita endus keberadaannya di berbagai helatan musik skala nasional atau kita jumpai lagunya di ruang publik macam pusat perbelanjaan atau coffee shop.
Di lingkungan terdekat, hampir tak ada satu pun teman sebaya yang tak mengenal kuartet asal Jatinangor itu. Baik pemerhati atau yang acuh terhadap musik. Yaaa minimal pasti ada lah segelintir kepala yang familiar dengan nomor gacoan “Sunshine”. Di sisi kolega, banyak kawan seangkatan mereka yang bilang kalau The Panturas adalah “band yang mujur” – berkat tenggang waktu kemunculan dan mutu musikalitasnya yang mereka tawarkan benar-benar dalam kesempatan yang tepat.
Berhubungan dengan masyhurnya The Panturas, saya yakin pastinya kamu menikmati bagaimana kualitas suara mereka di atas panggung, bagaimana tatanan sonik dalam materi mereka digubah sedemikian rupa hingga siap untuk dihidangkan ke telinga kalian – atau didokumentasikan guna dibagikan penggemarnya di berbagai kanal.
Di balik semua itu, sebenarnya ada beberapa orang yang menahan asanya untuk sama-sama jadi penampil namun mesti melakoni peran sebagai crew – atau untuk konteks The Panturas, mereka didaulat menggunakan nama Lifeguard Panturas.
Nah sekarang mari kita tekankan poin ‘menahan asa untuk menjadi penampil’ yang saya paparkan di paragraf sebelumnya. Apa jadinya kalau sebagian dari kru The Panturas ini akhirnya menumpahkan semua hasrat dan asa itu untuk menjadi penampil? Jawabannya adalah Alkateri, sebuah grup indie/alternative pop anyar dari Bandung yang 60% isinya adalah bagian dari kru dari band asal Jatinangor tersebut.
Mereka adalah entitas musik anyar yang terbentuk di paruh akhir 2021. Alkateri dihuni oleh enam orang; Fauzan Ghifari (vokal), Reza Zulmi (gitar), Galuh Ilham (gitar), Hadiyan Fazari (bass), Rifqi Maulana (synth) dan Felmy Herdianto (drum). Sejauh ini, mereka sudah melepas dua nomor terpisah, “Egosentris” di tahun lalu dan yang terbaru adalah “Lebih Dari”. Alkateri pun sudah beberapa kali menjejali panggung – mulai dari yang intimate sampai skala festival – dan kini sedang disibukan menggarap album.
Secara musikal, mereka memainkan musik (indie) pop dengan taburan post-rock atau shoegaze di sana-sini. Musik Alkateri menimbulkan impresi yang beragam dari kawan-kawan terdekat hingga akhirnya ada satu kalimat yang diamini oleh opini kami: Pop-nya Bandung banget. Namun ketika bicara barometernya, jawabannya selalu bias dan tak memuaskan. Mungkin karena kami penghuni atau band yang kita dengar berasal dari kota tersebut membuat penilaian macam itu jadi mudah hinggap.
Saya mencoba menuntaskan penasaran saya sekaligus mengulik profil mereka lebih lanjut via wawancara online. Ya. Online. Karena ternyata mereka adalah band pop antar provinsi yang kini beberapa dari personelnya terpisah karena kesibukan masing-masing. Bahkan untuk wawancara ini pun, tak semua personil berhasil saya kumpulkan secara lengkap.
Silahkan simak obrolannya di bawah ini!
Bicara soal asal muasal kalian dulu, kenapa menamai diri sebagai Alkateri dan siapa pencetus awalnya?
Felmi (F): “Awalnya tuh kita mau ngasih nama yang ‘ribet’, kayak misal (diambil) dari bahasa Inggris, terus beberapa kata gitu kayak Molten Young Lovers, misal. Nggak kepikiran buat nama dari Bahasa dan satu kata kayak gini.”
Zulmi (Z): “Yang awalnya nyebut nama itu tuh Kuya (drummer The Panturas) waktu kita lagi nongkrong-nongkrong di satu coffee shop di Bandung. Kebetulan coffee shop-nya terletak di bilangan Jl. Alkateri, dan dari beberapa nama yang dilontarkan Kuya (beberapanya juga bercanda), nama itu yang nyantol dan akhirnya kita setujui.”
Fauzan (O): “Terlebih kalo kita cari history-nya, konon jalan ini tuh full of story tapi bisa dibilang underrated untuk diketahui banyak orang (dibanding jalan-jalan lain di Bandung).
Kalian kan sekarang mungkin lagi pada sibuk masing-masing nih, sebenernya kalo di band sendiri lagi sibuk ngapain?
O: Setelah ngeluarin dua single sebelumnya, sekarang kita lagi ngerampungin album. Ini juga bakal ikut ngerangkum dua single yang udah kita lepas kemarin-kemarin.
Album kalian mendatang ini bakal ada berapa nomor nanti di dalamnya? Dan apa yang pengen kalian angkat lewat rilisan ini?
O: “Totalnya ada delapan lagu. Kalau apa yang pengen diangkat, sebenernya kita pengen ngeluapin hasil kontemplasi kita di era pandemi.”
Nggak takut basi ngangkat tema pandemi? Melihat kan sekarang kayaknya isu itu udah nggak relevan lagi, ya?
O: “Nah justru itu, kita mencoba buat ngemasnya nanti nggak terlalu kelihatan lagi ngomongin pandemi. Jadi sesimpel sebagai rangkuman dari apa aja yang terjadi sama masing-masing dan jadi kontemplasi dari kita di era itu, terus ditulis dan dijadiin lirik.”
Apa yang bikin pendengar kalian (atau pembaca tulisan ini) mesti menyimak/mengantisipasi lahirnya album Alkateri nanti? Apa yang bakal kalian ‘jual’?
O: “Karena kita menawarkan ketulusan dan kejujuran di sini.”
F: “Kesedihan juga masuk, tuh!”
O: “Yah kesedihan juga masuk, hahaha. Jadi intinya, kita bakal menyuguhkan musik dengan lirikal yang jujur dan apa adanya, tapi tetep ditulis dengan seapik mungkin. Selain itu juga kita mau nyuguhin (lagi) musik indiepop yang merepresentasikan Bandung.”
F: “Lewat album kita kayak nyoba buat ngebawa balik nuansa indiepop (khususnya) Bandung era Dada Rosada tuh, tapi dengan bungkusan yang tetap “keren” alias relevan hari ini. Ibaratnya, di album ini kita menjual nostalgia tapi dengan tampilan yang fresh. “
O: “Sekaligus jadi ajang rehat dari gemerlap musik keras di Kota Bandung yang sekarang juga sedang naik-naiknya.”
Z: “Selain itu, di salah satu lagu (di album) kita ada juga yang bakal featuring bareng Tomy Herseta, jadi di lagu itu bakal ada part elektroniknya dan… ya udah tunggu aja pokoknya!”
F: “Malah salah satu materinya ada juga yang kayak RHCP, hahaha.”
Nah bicara soal musik pop “Bandung banget” yang sempet kalian sebut tadi, emang menurut kalian, musik pop Bandung itu punya karakteristik yang kayak gimana, sih?
O: “Kalo secara sound ya, menurut aku sih karakternya tuh easy listening, modulasi delay gitar yang padet, lirik apa adanya, repetitif tapi catchy dan suasananya sih yang adem. Poin terakhir mungkin ngerepresentasiin cuaca Bandung yang juga cenderung adem.”
Z: “Di luar ranah indiepop juga, mungkin Peterpan cocok tuh buat direpresentasiin musik pop yang Bandung banget. Salah satu influens terbesar juga dalam band ini.”
F: “Selain The Cure, hahaha.”
Oke, good luck buat proses albumnya nanti, ya. By the way, sepengetahuan saya sebagian besar dari kalian kan sebenernya udah sering kerja bareng ya sebagai crew atau sebutannya Lifeguard Panturas, kenapa tuh masih mau buat band barengan? Apa nggak puas menjadi crew?
F: “Nggak karena kita juga punya keinginan buat tampil. Berhubung kita di The Panturas itu kerja, di mana kita nggak bisa nyetir itu band, beda kalau kita yang jadi player, story atau prosesnya bisa lebih dapet (as a band) jadi ya tentu jawabannya nggak puas.”
Hadyan (H): “Selain itu juga, Alkateri buat kita tuh ‘me time’, tempat buat ngelepas semua kejenuhan kita di dunia kerja (termasuk menjadi crew).”
F: “Kita jadi banyak belajar dari The Panturas. Kayak misal ada konflik atau apapun yang nggak asyik di sana, jangan sampe itu terjadi lagi di sini, jadi kita terapinnya hal-hal yang asyiknya aja. Padahal, kalau dipikir-pikir ini band isinya alpha semua, hahaha.”
H: “Nah itu, makanya ini band emang aneh!”
Berarti bisa dibilang Alkateri itu band yang minim konflik, ya? Itu ngaruh nggak sih karena kalian udah cukup lama kerja bareng?
F: “Nggak sih, malah kita kalo as a crew lebih banyak cekcoknya, cuman kalo di band ini kita semua udah berprinsip supaya ngejadiin Alkateri ajang senang-senang aja. Meskipun semuanya alpha cuman di sini doang mereka bisa saling paham dan ngerti tapi tetep ego masing-masing tersalurkan dengan baik.”
Z: “Meskipun LDR, tapi bisa dibilang proses dari band ini tuh seru, malah kadang aneh juga. Misal kalau umumnya ngeband itu ngulik dulu materi baru di-record, kita tuh malah sebaliknya, recording dulu baru diulik sama masing-masing personel. Tapi itu hal yang bikin band ini seru. Itu juga yang nggak kita dapatkan di band-band yang kita crew-in dan mungkin experience-nya berbeda jadi kita ngejalaninnya enjoy, bukan karena kita sering kerja bareng.”
H: “Iya bener, lagian dunia kerja udah bikin mumet kalo band ini bikin mumet juga mah ngapain kita ngeband.”
F: “Iya, mending bubar aja, hahaha.”
***