Menguak Tabir Entitas Wota ‘Skena’ di Fandom JKT48
Fenomena wota ‘skena’ fandom JKT48 layak dibahas lebih dari sekedar ‘musik heavy metal tapi hati heavy rotation’.
Oke. Saya akui judul itu memang lumayan menggelikan. Bahkan terlalu menggelikan. Saya pun bingung untuk memulai tulisan ini seperti apa tapi rasanya judul itu cukup mewakili apa yang akan saya bahas sekarang.
Begini, saya ingin sekali menganggapmu sudah tahu siapa itu JKT48. Tapi yaaa, demi kemaslahatan konteks, saya akan jelaskan sedikit siapa mereka.
JKT48 adalah sebuah idol group (atau lebih mudah disebut sebagai girlband dalam konteks industri musik populis) yang diinisiasi oleh entertainment group bernama AKS – grup hiburan di balik suksesnya AKB48 yang seluruh konsepnya diprakarsai oleh seorang produser asal Jepang, Akimoto Yasushi.
AKB48 sendiri bisa dibilang lebih cocok disebut sebagai sebuah industri dibandingkan grup musik. Pasalnya grup musik ini tak hanya besar di negara asalnya mereka sendiri – tapi waralaba 48 pun merambah ke beberapa negara lain dan proyek pertamanya adalah JKT48 yang berasal dari Indonesia. Untuk menekankan aspek industri, 48 group besutan korporasi AKS tak hanya mengandalkan produk musiknya saja. Banyak anggota dari 48 group (terutama di Jepang) pun disebar untuk ‘menyusup’ ke beberapa aspek dunia hiburan lainnya macam aktris film, pembawa acara bahkan komedian. Dengan cara itu, positioning 48 di bermacam sudut industri hiburan pun minimal bisa tertancap dengan mulus sejauh ini.
Untuk JKT48 sendiri, mereka lumayan terlambat untuk melakukan positioning seperti yang telah dilakukan oleh sister groups-nya di Jepang. JKT48 sempat mengalami fase ‘eksklusif’ ketika mayoritas penggemar mereka masih berkutat di skena Jejepangan – meskipun di masa itu eksposur mereka sudah menembus ke industri hiburan populis lewat kemunculannya di berbagai publikasi populis macam TV dan media nasional.
Ini mungkin terdengar lebih menggelikan daripada judul tulisan ini, tapi izinkan saya memaparkan opini saya soal ini: Mungkin belum banyak yang tahu kalau JKT48 sempat mengalami fase segmented dari segi stereotip penggemar. Take this opinion from someone who was a die-hard wota back in the days.
Di sekitar tahun 2011 sampai 2016, ada pemandangan menarik yang terjadi di dalam keriaan fandom JKT48. Pada saat itu, ada beberapa wajah familiar yang biasa saya temui di kancah musik (skena) independen juga turut menikmati fandom grup yang mempunyai teater mall FX Sudirman tersebut – mulai dari berbagai punggawa band favorit khalayak ramai sampai para penggiat skena arsirannya macam zine mau seni rupa. Saya pun yang kala itu sempat larut di dunia fandom tersebut (yang kerap kali diidentifikasikan sebagai lingkup wota), merasa tak terlalu asing ketika berkecimpung di keriaan JKT48.
Seringkali di masa itu, para penggemar JKT48 ‘edgy’ ini pun tak hanya aktif sebatas menggemari idol group tersebut. Ada beberapa karya yang terlahir dari mereka di bidangnya masing-masing. Ada yang membuat lagu untuk para oshi-nya (istilah untuk member favorit dari sebuah idol group dan juga diterapkan di JKT48 oleh para penggemarnya), ada yang membuat zine membahas seluk beluk dunia fandom juga trivia tentang oshi-nya.
Bahkan yang paling monumental adalah hadirnya sebuah acara musik bernama Bingo! yang jajaran line-up band-nya meng-cover lagu-lagu JKT48. Band-band ‘skena’ macam Tarrkam, Muchos Libre, Talking Coasty, Much bahkan unit indiepop legendaris Clover pun sempat bermain di helatan yang sudah digelar sekitar empat kali selama satu dekade ke belakang tersebut. That’s how intertwined they are with JKT48.
Fenomena akan ‘anak skena’ yang menggemari JKT48 di kala itu pun sempat menuai berbagai komentar dari khalayak ramai juga pengamat ‘skena’ secara beriringan. Bahkan Vice Indonesia sempat membahas topik itu secara spesifik tentang Azis – vokalis band pop punk seminal asal Jakarta bernama Failing Forward – yang menggemari JKT48 dan memberikan perspektif soal kesamaan JKT48 dengan etos punk rock yang ia yakini.
Tentu perspektif dari Aziz yang ia kemukakan di feature Vice Indonesia akan ketertarikannya terhadap JKT48 itu adalah salah satu dari sekian banyak trigger utama kenapa seseorang yang lumrah dikenal dari ‘skena’ yang dianggap jauh dari fandom macam itu bisa tergaet ke poros dunia idol group macam JKT48.
Menyambung dari perspektif Aziz di artikel Vice tersebut, saya pun ingat akan interaksi yang pernah saya tempuh dengan beberapa kawan ‘skena’ kala itu yang seringkali ber masa aktif ber-wota-ria untuk mengetahui faktor apa yang sebenarnya membuat mereka akhirnya suka JKT48.
Dari beberapa paparan yang saya ingat, ada beberapa faktor utama yang saya bisa ambil sebagai faktor dominan akan aspek tersebut:
Satu, ada aspek perihal pancingan nostalgia akan musik JKT48 yang mereka anggap terasa familiar yang menjadi faktor utama dari para wota ‘skena’ kala itu dibalik intensi mereka menggemari JKT48.
Ada salah satu kawan saya yang tak ingin disebutkan namanya (spoiler, dia salah satu personil dari band rock terkemuka di Ibu Kota) juga menyatakan bahwa lagu-lagu JKT48 terasa nostaljik dan menghangatkan hati – bak mendengarkan lagu-lagu opening anime yang ia sering tonton di televisi ketika masih duduk di bangku sekolah.
Pernyataan darinya tentunya lumayan masuk akal mengingat sejak awal kemunculan JKT48 sampai akhirnya mereka merilis single orisinalnya, “Rapsodi” (2020), mereka masih membawakan ulang lagu-lagu para sister group-nya dari Jepang yang liriknya diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Tentu dengan lagu asli ciptaan tangan dingin produser Nihonjin, struktur dan nuansa musiknya pun akan terasa sangat Jepang sekali.
Ungkapan teman saya yang tak ingin disebutkan namanya itu kurang lebih seperti opini satu kawan saya lainnya, Surya ‘Kuya’ Fikri dari The Panturas. Meski kiprah menggemari JKT-nya tak bisa mengkategorikan dirinya sebagai wota, ada perspektif menarik yang saya dapatkan akan eksposur pertama JKT48 kepada seseorang – dan pada kenyataannya memang momentum yang kurang lebih senada dengan kebanyakan wota ‘skena’ JKT48 di awal kemunculannya: “Awal suka JKT48 sejujurnya ke-trigger gara-gara iklan Pocari Sweat haha!” ujarnya.
Dia pun lanjut menjelaskan, “Iklan pocari pas zaman SMA tuh lumayan nempel kayak lagu Ryutaro Makino yang ‘Youth Sweat Beautiful’. Nah iklan Pocari Sweat yang pake lagu ‘Heavy Rotation’ ini sensasinya mirip.” “Entah kenapa pas denger 3 lagu JKT48 awal-awal (‘Heavy Rotation’, ‘Aitakatta’, ‘Karena Ku Suka Dirimu;) kayak ada perasaan nostaljik nonton film kartun jepang dengan lirik bahasa Indonesia,” tutupnya.
Dua, masih berdekatan dengan aspek pertama di atas tadi, namun ada penekanan di mana para wota ‘skena’ ini terpikat oleh eklektiknya musik dan narasi yang ada di katalog rilisan JKT48 – dan bagaimana aspek tersebut relatable-nya kepada kehidupan mereka. Bagi kamu yang masih awam akan katalog musik JKT48 (dan grup 48 lainnya), mereka punya banyak lagu yang disajikan dalam berbagai genre. Mulai dari basic J-pop, rock n roll sampai evergreen ballad.
Tak hanya genre ‘normies’ saja, ada beberapa lagu JKT48 yang nuansanya sangat kental akan beberapa ceruk musik yang dinaungi dan didengarkan oleh kebanyakan wota ‘skena’ yang memang terlibat langsung dengan kancahnya. Contoh paling gamblang adalah lagu-lagu macam “Bel Sekolah Adalah Love Song”, “Punkish” atau “Hanya Lihat ke Depan” yang sangat kental akan nuansa pop-punk Jepang ala Mongol800 atau Water Closet – lengkap dengan ketukan ala skate rock dan singalong-able chorus. Ada pun lagu macam “Only Today” yang bernuansa ska maksimal. Untuk para metalheads, hasrat headbang pun bisa tersalurkan dengan manis lewat lagu “Joan Of Arc di Dalam Cermin”. Bahkan untuk para party goers yang gemar akan musik danceable ala new wave, JKT48 pun punya lagu macam “Switch”. They have almost everything for any kind of music fan, I’d say.
Tiga, seklise dan se-cringe apa pun faktor ini, nyatanya memang faktor ini memegang penting dalam entry point beberapa wota ‘skena’: eskapisme alternatif dari gelembung habitat ‘skena’ mereka masing-masing.
Artinya semua aspek pertunjukan (musik, sosok dan suasana) dari JKT48 merupakan penyegaran bagi para wota ‘skena’ yang sempat (atau masih) menggemari JKT48. Ambil contoh skena musik punk rock, metal, hardcore atau apa pun yang terkesan citra dan lingkungannya terbilang masih cenderung maskulin.
Ketika banyak penggiat skena dari kancah tersebut sudah sering berkecimpung di ceruk tersebut dan paham jelas akan suasana yang akan mereka hadapi di dalamnya, pertunjukan JKT48 seakan memberikan suasana menyegarkan dari hingar bingar yang mereka sudah biasa temui di gigs musik.
Aspek itu sempat saya dapatkan dari banyak kawan wota ‘skena’ saya kala itu – salah satunya adalah Aduy (drummer The Jansen) yang bahkan sampai hari ini tak malu untuk mengungkapkan rasa sukanya ke JKT48 di berbagai kesempatan.
“Sebenernya aing suka JKT48 sesimpel pada cantik dan lucu member-nya hahaha! Ya enggak apa-apa juga ‘kan?,” celoteh Aduy ketika saya bertanya akan alasan awal ia mulai menyukai sister group pertama AKB48 yang berasal dari luar Jepang itu. Dia pun lanjut menjawab, “Kayak ada bosennya aja gitu nonton acara punk ‘kan gitu-gitu aja. JKT48 teh semacam refreshing lah. Lagunya enak, performance-nya semangat, fun aja we lah pokoknya.”
Namun di balik keseruan spektrum stereotip penggemar di fandom JKT48, sempat hadir momentum akan meredamnya kuantitas eksistensi wota ‘skena’ yang jumlahnya lumayan signifikan itu. Wajah-wajah ‘skena’ yang sempat lalu lalang di pertunjukan JKT48 dan juga di timeline media sosial lambat laun mulai berkurang. Masih ada beberapa yang istiqomah tapi rasanya tak semeriah di era awal-awal JKT48 menggeliat.
Bisa jadi pengurangan kuantitas itu terjadi berkat faktor growing up di mana semua hal di ruang lingkup hidupnya mulai bertransisi – macam sirkel pertemanan, selera musik atau bahkan ketertarikan akan suatu karya spesifik yang terkoneksi dengan orang tersebut. Namun kala itu masih tetap ada beberapa kawan wota ‘skena’ yang masih konsisten aktif di fandom tersebut dan tetap memberikan kontribusi ‘subkultur’ ke dalamnya – macam helatan Bingo Revival yang sukses, berbagai zine untuk beberapa member JKT48 sampai berbagai portal media seputar grup 48 yang dikemas se-niche mungkin.
Tapi lucunya, ketika saya sudah mulai meyakini bahwa era wota ‘skena’ akan mengalami kemunduran, dalam dua tahun ke belakang ini saya malah menyadari banyak teman-teman di ‘skena’ mulai membicarakan soal JKT48. Ain’t life odd?
Usut punya usut, kini mulai hadir lagi ketertarikan yang sporadis akan JKT48 di beberapa sirkel pertemanan saya yang aktif di berbagai ‘skena’ yang sudah saya paparkan di atas. Ada yang mulai tak sungkan untuk memutar lagu “Flying High” (2022) dan berbagai katalog musik dari JKT48 di berbagai tongkrongan yang saya sambangi, ada juga beberapa kawan saya yang mulai membahas beberapa akun media sosial member JKT48 bahkan ada yang sampai menggunakan foto beberapa member JKT48 sebagai wallpaper gawai mereka. Tidak. Sama sekali tidak aneh. It’s a common thing in the 48 fandom and I did that too.
Saya pun sempat mengobrol bersama kawan saya Mirza Pahlevi (bassist unit post-punk partisan Leipzig yang sempat menjadi wota kelas ringan di masa lalu) akan fenomena benih-benih ketertarikan akan JKT48 di kawan-kawan lingkup kami itu. Dia pun beropini, “Kayanya emang siklus deh. Malah kayaknya pas JKT48 main di festival (musik) di mana barudak main kayak Pestapora kemarin itu jadi salah satu faktor yang ngaruh buat perkenalan JKT48 ke barudak (skena).”
Opininya lumayan masuk akal bagi saya. Sebagai orang yang sempat hadir di fandom JKT48 di awal kemunculannya dan sampai beberapa tahun perjuangan mereka di industri hiburan lokal, memang kala itu JKT48 masih terbilang terlalu lekat dengan identitas Jejepangan mereka. Tentu hal yang wajar karena memang mungkin segmentasi grupnya sendiri besar di lingkup itu dan kebanyakan fans mereka di kala itu datang dari segmen itu.
Tapi ketika akhirnya ada momen ketika JKT48 merubah manajemen dan kebijakan mereka untuk urusan bermanuver di industri pada paruh akhir tahun 2020, JKT48 serasa hidup kembali dan sukses menaiki ombak industri tanpa ada batasan segmentasi penonton seperti di awal perjalanan mereka. Salah satu manuver yang turut memberikan konteks lebih akan bahasan ini adalah, kini JKT48 mulai sukses merambah panggung-panggung musik populis macam festival bersama para pengisi acaranya yang notabene memang aktif di ‘skena’ – maka tak mengherankan kalau kini banyak penggiat atau pun penggemar musik dari berbagai demografis mulai terpapar dengan pesona JKT48.
Bahkan saya sedikit punya firasat bahwa fenomena wota ‘skena’ akan kembali marak dalam waktu dekat. Salah satunya berkat aksi unit metal-ceria Bonga Bonga yang sudah mengambil satu langkah lebih ekstrim dalam upaya peleburan kembali dunia wota dan ‘skena’ di sebuah acara musik yang mereka sambangi. Pada panggung yang diadakan di Bogor itu, mereka berkolaborasi dengan tiga ex-member JKT48 yang reputasinya top pada masanya. Plus mereka membawakan “Heavy Rotation” – the ultimate 48 song ever.
“Sebenernya udah ada rencana buat kolebs ama mereka (ex-member JKT48) itu buat rilisan Bonga nanti. Lagu sendiri malah,” tutur Daniel Mardhany (vokalis Bonga Bonga) ketika saya tanyakan akan intensi di balik kolaborasi itu. “Tapi kemarin panitia acara itu ngebet pengen liat Bonga Bonga main bareng tiga oshi mereka. Niat bener mereka sampe urusin performing rights si lagu ‘Heavy Rotation’ haha!” tuturnya.
Daniel pun lanjut menjelaskan, “Kita emang pengen (kolaborasi) gitu sih. Soalnya Bonga enggak mau keliatan macho atau metal gitu sebagai band. Pas kemarin kita main bareng (ex)member JKT itu, kita malah kepikirannya kayak Baby Metal aja. Seru.”
Rasanya fenomena wota ‘skena’ ini mungkin akan tetap menjadi pemandangan yang menarik untuk dibahas. Karena saya rasa, ada sesuatu yang lebih menarik dibandingkan membahas anekdot ‘kenapa anak punk suka JKT48’ atau ‘aneh banget kok main musik heavy metal tapi hati heavy rotation’ ketika topik ini dikemukakan. Malah saya tertarik apakah peleburan dua gelembung dengan massa jenis berbeda ini bisa menghasilkan sesuatu yang menarik dari aspek kekaryaan mau pun sudut pandang alternatif dari sang penggemar ketika melihat dunia sekelilingnya.
Karena setidaknya itu yang saya sempat alami ketika menyelami dua gelembung ‘skena’ yang berbeda itu di masa lalu. Ketika punk rock mengajarkan saya untuk melihat kehidupan dari sisi yang gamblang nan penuh akan narasi kebanalan, musik dan lirik JKT48 kurang lebih mengajarkan sisi optimisme yang sepatutnya digunakan untuk menyeimbangkan perspektif guna tak gelap mata dan membabi buta.
Untuk aspek yang lain, saya tak akan menjelaskan di sini. You can come and ask me directly because it’s a bit personal. Tapi intinya, sepertinya dua gelembung ini akan bisa berjalan lebih beriringan dibandingkan pemaksaan dikotomi seperti yang terjadi di masa lalu. We’ll see.