TRACK TALK: Suissac – Magnanimous (EP, 2023)

Pembuktian perdana dari Suissac sebagai supergrup yang punya misi menerobos disiplin sonik dari bayangan band-band mereka sebelumnya.
Format supergrup tak selalu jadi jaminan kalau entitas tersebut bakal terdengar kelewat mewah dan sempurna dibanding band-band terdahulunya, kemungkinan untuk menjadi medioker atau malah lebih butut akan selalu ada.
Ambil contoh, proyekan industrial metal besutan Shane Embury (Napalm Death/Brujeria) bernama Blood From The Soul yang mengajak beberapa nama tersohor macam Jacob Bannon (Converge), Lou Koller (Sick Of It All) hingga personel Megadeth dan Nasum.
Jika dibayangkan dari latar belakang para personelnya, Blood From The Soul bakal menghasilkan eksekusi yang maksimal atau industrial metal yang tak pernah diprediksi sebelumnya. Nyatanya? Grup ini tak sespesial itu, musiknya tergolong medioker. Contoh lainnya? Saya langsung terbesit nama Killer Be Killed.
Killer Be Killed adalah band hunian Greg Puciato (The Dillinger Escape Plan), Troy Sanders (Mastodon), Max Cavalera (Sepultura) dan Ben Koller (Converge). Grup ini bahkan tak punya kelebihan kentara meskipun tergolong supergrup dari band-band kawakan di ranah di musik ekstrem. Katalog musiknya tak lebih dari metal komersial medioker yang kalau mengingat siapa saja sosok di baliknya bakal buat dadamu terasa sesak.
Menengok ke ranah lokal, saya tak ingat pasti ada fenomena supergrup butut semacam dua nama tadi. Namun jika kancah dunia barat yang jadi kiblat bermusik kita pun pernah melorot soal karya yang mengatasnamakan supergrup, maka pasti di sini pun pernah terjadi hal serupa. Saya hanya tak terpikirkan namanya sekarang. Sayang tak ada banyak waktu buat memikirkannya lantaran tulisan ini mesti segera usai agar tumpukan review lainnya bisa segera digarap meski jarang kalian simak.
Jika kita melihat kualitas supergrup dari siapa saja sosok di belakangnya, sebenarnya, tak ada alasan buat meragukan Suissac. Dengan menyimpan dua nama; Eky Darmawan (Polyester Embassy) dan Angga Kusuma (Asiaminor/Collapse/Ssslothhh) saja sebenarnya sudah cukup menjanjikan. Belum lagi masih ada Alan Davison (Lamebrain) dan Emyr Farand (Asiaminor) yang menjadikan formasi mereka paripurna. Namun kembali lagi, sosok di baliknya bukan jaminan, hal itu mungkin sebatas gerbang belaka.

Meskipun kalau dipikirkan, mungkin bukan perkara sulit bagi Suissac untuk membuat terobosan yang akurat lewat musiknya, lantaran mereka punya otak-otak yang siap menopang berbagai macam ide dan eksplorasi agar terwujud. Buah kreatifnya pun ditunjukan dalam satu paket EP bertajuk Magnanimous, setelah memperkenalkan debutnya lewat single dan video musik salah satu nomor di dalamnya, “Chrome Colosseum”.
Memulai perkenalan dengan musik yang tak dapat terdeteksi istilah pastinya memang terobosan yang tak punya titik tengah–antara bagus atau butut sekalian. Meski selera dan pengamatan musik saya tak se-wah penulis musik lainnya, namun EP Suissac ini masih saya nilai terlalu mewah buat masuk kolom rilisan jelek.
Menyomot rasa dari The Mars Volta dengan gaya vokal yang death rock-ish, Suissac meramu keenam materi di dalamnya jadi megah dengan eksplorasi sound dan komposisi visioner, susunan nomor yang solid (bahkan untuk seukuran rilisan EP), serta visual sampulnya yang minimalis nan memikat.
Secara narasi, EP ini adalah memorandum dari perjalanan hidup yang bisa menghabiskan waktu berdekade-dekade – termasuk melewati berbagai dinamika penguras emosi serta memungut ceceran makna akan hidup ini – bak menyusun puzzle makna keterhubungan satu manusia dan lainnya. Rilisan ini mampu menggambarkan sikap bijak tersebut lewat tatanan sonik yang mungkin agak tak masuk akal untuk dijabarkan.

Penempatan dari nomor ke nomor terasa seakan dipikirkan matang-matang demi experience yang maksimal dalam mendengarkannya, terutama secara urut. Penyusunan trek berpengaruh pada flow emosi yang terlibat dari EP-nya. Impresi yang timbul bisa dibilang intens, meskipun musik yang diusung Suissac bukan tipikal musik yang straight forward. Itu jadi faktor yang saya nilai mereka berhasil dalam membangun atmosfer serta delivering message lewat sonik.
Kalau boleh name-dropping agar lebih mudah dibayangkan, Suissac adalah lambang akurat dari fusi antara gaharnya dan agresifnya Ssslothhh yang berpadu dengan eksentriknya Polyester Embassy plus dilengkapi sakaw eksplorasi macam Fuzzy, I. Sepertinya poin terakhir muncul berkat keterlibatan sosok Alyuadi dalam rilisan ini yang duduk di bangku produser.
Bagi saya pribadi, Magnanimous adalah experience baru dari mendengarkan supergrup yang tidak butut. Suissac bukan cuma sekedar basa-basi soal ingin menerobos batasan sonik dan menjadi grup yang stand out dengan eksplorasi. Debut EP ini layak untuk disimak tanpa harus melihat siapa para punggawa di dalam band-nya. Tapi dengan rilisan debut sebagus ini, tentu rilisan berikutnya patut diantisipasi. Semoga energi eksplorasi mereka tidak langsung habis di rilisan perdananya saja.