Pembungkaman Seni: Dari Masa ke Masa, dari Orde Baru hingga Kini

Melihat kasus Sukatani dan suguhan pola lama di mana kritik dibungkam dan diintimidasi untuk menutupi ketakutan penguasa.
Sepanjang sejarah, seni selalu jadi alat perlawanan terhadap ketidakadilan. Karya sering berbicara ketika kata-kata tak lagi didengar. Namun, kekuatan seni ini pula yang bikin jadi target represi oleh mereka yang berkuasa. Dari Orde Baru hingga era reformasi yang seharusnya lebih demokratis, kebebasan berekspresi terus diuji, terutama ketika kritik diarahkan kepada institusi tertentu.
Kasus terbaru datang dari Sukatani, band punk new wave asal Purbalingga. Lagu mereka, “Bayar Bayar Bayar” (Gelap Gempita, 2023), yang diduga mengandung kritik terhadap oknum polisi, harus ditarik dari peredaran. Mirisnya, hal ini diikuti dengan unggahan video permintaan maaf kepada Kapolri dan institusi Polri. Di penghujung video, mereka pun menegaskan bahwa pernyataan tersebut dibuat tanpa adanya tekanan dari pihak mana pun–sebuah kalimat yang terdengar ironis di tengah situasi yang ada.
Sialnya, kasus semacam ini bukan lah hal baru di Indonesia. Sejarah mencatat, represi terhadap seni telah terjadi sejak lama. Pada era Orde Baru, karya-karya Pramoedya Ananta Toer dilarang beredar, sementara teater dan sastra yang dianggap berafiliasi dengan pemikiran kiri diberangus. Musik pun nggak luput dari tekanan–lagu-lagu Iwan Fals sempat dicekal, Doel Sumbang, SID, dan Slank pernah berhadapan dengan ancaman pembredelan akibat lirik-lirik kritis mereka.
Memasuki era reformasi, yang digadang-gadang sebagai zaman keterbukaan, nyatanya praktik pembungkaman masih terus berlangsung. Karya seni yang menyinggung isu-isu sensitif sering kali mendapat tekanan dari pihak berwenang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang berubah hanyalah caranya: jika dulu seniman diasingkan atau dipenjara, kini mereka dipaksa meminta maaf, menarik karyanya, atau menghadapi konsekuensi sosial yang membuat mereka memilih diam.
Tapi yang bikin kasus ini menuai banyak perhatian adalah timing-nya yang benar-benar zonk buat mereka. Di saat rakyat lagi turun ke jalan dalam gerakan #IndonesiaGelap, mereka malah memberikan bukti langsung betapa otoriternya sistem yang mereka jaga. Alih-alih meredam kritik, tindakan represif ini justru makin menunjukan wajah asli kekuasaan–bahwa kebebasan berekspresi di negeri ini masih jauh dari aman.
Yang lebih geramnya lagi, bukan cuma lagunya yang coba dibungkam, tapi identitas personel Sukatani juga ikut diekspos. Ini bukan sekadar usaha buat nge-stop kritik, tapi juga bentuk tekanan mental yang lebih luas. Ketika seseorang berani buka suara, yang diserang bukan cuma opini atau karyanya, tapi juga kehidupannya secara pribadi–mengingat Sukatani adalah band anonim yang tampil tanpa menunjukan identitas.
Strategi model begini sudah sering dipakai rezim-rezim dalam menjaga kekuasaannya secara licik. Sejarah menunjukan bahwa teknik menelanjangi identitas itu dipakai buat bikin orang takut, biar mikir dua kali sebelum ngomong lagi. Dalam kasus Sukatani, aparat jelas-jelas sedang memberikan sinyal ke semua seniman: “Lihat tuh, kalau kalian berani melawan, siap-siap aja!”
Tapi ada hal yang tak disadari mereka: cara seperti ini justru bisa jadi bumerang. Makin ditekan, makin banyak yang sadar, makin banyak yang lawan. Tindakan ini malah menambah bukti betapa represifnya sistem yang sedang mereka lindungi. Semakin keras mereka menekan, semakin jelas terlihat bahwa mereka takut pada satu hal—suara rakyat.
Kasus ini nunjukin banget kalau pemerintah dan aparat kita masih punya mental diktator yang anti-kritik. Bukannya buka ruang diskusi atau introspeksi, mereka malah buru-buru ngebungkam suara-suara yang berani ngomong. Ini bukan sekadar soal lagu “Bayar Bayar Bayar” yang ditarik, tapi gambaran lebih besar soal gimana negara ini menanggapi kritik.
Jika lagu “Bayar Bayar Bayar” bahkan dianggap bahaya, justru mereka sedang mengakui kalau isinya benar adanya. Simpelnya, jika memang Sukatani salah, semestinya cukup lakukan hal yang bertolak belakang dengan yang dikatakan Sukatani, bukan menutup mulut mereka.
Satu hal lagi yang fatal, aksi represif ini membuat gaung lagu yang ingin mereka redam malah semakin meluas. Yang tadinya orang nggak tahu lagu ini–atau bahkan Sukatani itu sendiri–akhirnya malah semakin mencari tahu. Lucunya, ini malah jadi ibarat trik marketing yang kerap digunakan unit-unit usaha di pinggiran jalan dengan seruan “Jangan lihat sini!” tapi justru bertujuan memantik penasaran pelintas jalan.
Dalam dunia digital, ada fenomena yang disebut Efek Streisand–semakin suatu informasi coba disembunyikan atau dilarang, semakin banyak orang yang ingin tahu dan menyebarkannya, di mana tentunya upaya aparat membungkam Sukatani justru menciptakan efek ini, bahkan beberapa entitas jadi terpantik untuk mengupayakan penggubahan kembali lagu tersebut.
Yang lebih lucu (tapi miris), ini bukan sekadar soal musik, tapi bagian dari pola pemerintah yang hobi membungkam kebebasan berekspresi, seakan menunjukan ketakukan besar akan kritik karena sadar kalau rakyat makin melek, makin susah diperdaya. Seharusnya ini jadi tamparan keras (lainnya) kalau tindakan represif adalah senjata makan tuan. Tak heran kalau #IndonesiaGelap terus bergema sampai sekarang.
Kasus Sukatani tak berdiri sendiri. Intimidasi terhadap musisi, seniman, dan aktivis sudah lama menjadi pola di Indonesia. Beberapa contoh lain yang mencerminkan bagaimana suara kritis selalu mendapat tekanan:
- Pelarangan dan pembredelan film seperti The Act of Killing (2012) dan The Look of Silence (2014), yang mengungkap kekejaman 1965.
- Pemusnahan mural yang mengandung kritik sosial, seperti mural bertuliskan “Tuhan Aku Lapar” di Tangerang dan “404: Not Found” di Batam.
- Kriminalisasi aktivis dan jurnalis yang mengungkap skandal besar, seperti kasus kriminalisasi terhadap jurnalis Narasi beberapa waktu lalu.
- Kelompok Teater Payung Hitam batal mementaskan pementasan yang berjudul “Wawancara dengan Mulyono”.
- Pembatalan Pameran tunggal Yos Suprapto bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” yang dianggap vulgar dan mirip Jokowi.
Setiap kali kritik muncul, bukannya meresponsnya dengan dialog terbuka, aparat dan pemerintah justru memilih jalur intimidasi dan sensor. Sejarah membuktikan bahwa seni bukan hanya sekadar ekspresi, tetapi juga senjata perlawanan. Dari musik hingga mural, seni selalu menjadi medium yang paling efektif untuk melawan tirani. Contohnya
- Uni Soviet: Penyair seperti Osip Mandelstam dihukum kerja paksa karena puisinya yang mengkritik Stalin. Banyak seniman lain yang karyanya dilarang, bahkan dipenjara atau diasingkan.
- Amerika Serikat: Hiphop lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap diskriminasi dan brutalitas polisi. Lagu seperti “Fuck tha Police” dari N.W.A. sempat dilarang di beberapa stasiun radio, tetapi justru jadi nomor paling antemik soal penyelewengan aparat.
- Timur Tengah: Saat Arab Spring meletus, mural dan graffiti menjadi alat perlawanan paling kuat. Salah satu contoh adalah karya El Seed, seniman Tunisia yang melukis pesan-pesan revolusi di dinding-dinding kota.
Deretan kasus tadi menunjukan kalau setiap pemerintahan yang takut dikritik, ujung-ujungnya memilih untuk ngebungkam seni, karena mereka tahu seni punya kekuatan buat nyadarin banyak orang.
Mungkin ini juga sudah jadi alasan yang lebih dari cukup untuk tidak menganggap sepele apapun bentuk kritik dan menaruh perhatian untuknya, karena melihat situasi saat ini, tak menutup kemungkinan pembredelan karya atau seni terjadi lagi, bahkan mengantarkan medium kritik dari seni dan karya jadi sesuatu yang ilegal.
Kasus Sukatani kembali menyadarkan kita kalau Ini bukan sekadar urusan satu band atau bahkan satu lagu, tapi menunjukan bagaimana negara melihat kebebasan berekspresi secara nyata–di balik karya-karyanya yang sudah cukup frontal. Hari ini yang kena musisi, besok bisa saja seniman lain, jurnalis, penulis, atau bahkan kita semua yang sekadar berani ngomong jujur.
Karena itu, penting untuk terus ngerawat ruang-ruang perlawanan, sekecil apa pun itu. Musik, film, mural, puisi, apa saja yang bisa jadi medium buat melawan kebisuan yang dipaksakan. Mereka mungkin bisa menyensor satu lagu, menutup satu pameran, atau merusak satu mural, tapi ide-ide yang sudah menyebar–bahkan lewat tindakan mereka sendiri–rasanya akan masih terus bergerilya. Padahal dari kritik lah perubahan bisa terjadi, karena perlu diingat, tak ada bangsa yang maju kalau rakyatnya dibiarkan hidup dalam ketakutan buat sekadar berbicara kebenaran.
Kasus Sukatani sekaligus membuktikan kalau perjuangan kebebasan berkesenian di Indonesia masih jauh dari selesai dan memberikan kita alasan untuk terus melawan. Tentu hal yang tragis jika kita berakhir hidup dalam kebisuan yang dipaksakan dan hanya punya satu corong suara—suara mereka yang berkuasa. Karena ketika seni dihalalkan untuk dibungkam, yang tersisa hanya lah #IndonesiaGelap yang semakin pekat.
Teks: Rain