X

Mempertahankan Jiwa di Era Algoritma

by webadmin / 4 weeks ago / 174 Views / 0 Comments /

Seni, Mesin, dan Manusia: menilik bagaimana AI mengubah dunia seni, mengaburkan etika, dan tanggapan kreator terhadap situasi ini.


When the flush of a newborn sun fell first on Eden’s green and gold,   

Our father Adam sat under the Tree and scratched with a stick in the mold;   

And the first rude sketch that the world had seen was joy to his mighty heart,   

Till the Devil whispered behind the leaves: “It’s pretty, but is it Art?”

–Rudyard Kipling

Puisi “The Conundrum of the Workshops” karya Rudyard Kipling ini menggambarkan pertanyaan mendasar tentang apa yang membuat sebuah karya menjadi sebuah karya seni. Bagaimana setiap karya seni, begitu selesai, langsung dihadapkan dengan pertanyaan: “Apakah ini cukup bagus? Apakah ini memiliki makna?

Dalam konteks saat ini, munculnya “seni” yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (Al) menantang pemahaman kita tentang esensi seni itu sendiri. Membawa kembali perdebatan kuno tentang apa itu esensi seni, apa itu seniman, dan bagaimana kita menilai sebuah karya yang dibuat oleh non-manusia. Sementara itu, seni tradisional adalah upaya untuk mengekspresikan pengalaman manusia, cerminan perspektif unik seniman yang didasari oleh keinginan akan kebaruan. Namun, “seni” yang dibuat oleh kecerdasan buatan (AI) tampaknya kurang memiliki kualitas fundamental ini, karena penciptanya-algoritma tanpa kesadaran—tidak memiliki apa pun untuk diekspresikan.

Seni selalu menjadi medium bagi manusia untuk mengekspresikan emosi, pemikiran, dan pengalaman mereka. Setiap karya seni adalah manifestasi dari perjalanan pribadi seniman, refleksi dari perasaan dan perspektif mereka terhadap dunia. Misalnya, lukisan-lukisan Frida Kahlo ataupun Vincent van Gogh tidak hanya menampilkan pemandangan atau objek; mereka juga mencerminkan gejolak emosional dan pandangan uniknya terhadap kehidupan.

Di sisi lain, Al meskipun dapat belajar mereproduksi gaya dan bentuk artistik, tidak memiliki pengalaman hidup, emosi, atau kesadaran diri. Algoritma Al bekerja dengan menganalisis data dan mengenali pola untuk menghasilkan output yang menyerupai karya seni. Namun, tanpa emosi atau pengalaman pribadi, output ini sering kali terasa hampa dan kurang memiliki kedalaman atau “soul” yang biasanya ditemukan dalam karya seni yang dibuat oleh manusia.

Selain itu, Al cenderung menghasilkan karya yang homogen, karena algoritma didasarkan pada data yang ada dan pola yang dikenali. Ini dapat menyebabkan kurangnya orisinalitas dan inovasi dalam karya yang dihasilkan, yang bertentangan dengan sifat seni yang selalu berkembang dan mencari kebaruan.

Untuk memahami implikasi moral dan etika dari “seni” Al, menurut saya penting untuk mengetahui bagaimana model Al dilatih. Machine learning, khususnya model generative Al, memerlukan sejumlah besar data untuk belajar dan menghasilkan output yang bermakna. Data ini sering kali diperoleh melalui proses yang dikenal sebagai “data scraping,” di mana algoritma secara otomatis mengumpulkan informasi dari internet, termasuk foto, karya seni, dan konten lain yang tersedia secara publik. Namun, praktik ini menimbulkan pertanyaan serius tentang hak cipta dan privasi, terutama ketika data yang dikumpulkan adalah karya berhak cipta yang digunakan tanpa izin atau kompensasi kepada penciptanya.

Seperti yang dicatat oleh IAPP (International Association of Privacy Professionals), perusahaan yang menggunakan alat Al generatif menghadapi “serangkaian tuntutan hukum” karena diduga menggunakan “volume data yang sangat besar dari internet” untuk melatih program mereka.

Penggunaan Al dalam penciptaan seni menimbulkan masalah hak cipta dan kepemilikan intelektual. Pada 18 Maret 2025, U.S Court of Appeals for the District of Columbia Circuit, sebuah pengadilan banding AS mengeluarkan putusan penting dalam kasus Thaler v. Perlmutter. Pengadilan memutuskan bahwa karya seni yang dihasilkan oleh Al tanpa input manusia tidak memenuhi syarat untuk perlindungan hak cipta. Pengadilan menegaskan bahwa hanya karya dengan creator atau author manusia yang dapat dilindungi hak ciptanya. Putusan ini menguatkan bahwa kepengarangan manusia adalah prasyarat fundamental untuk perlindungan hak cipta.

Selain itu, ada kekhawatiran bahwa Al dapat menggantikan peran seniman manusia, mengurangi nilai pekerjaan kreatif, dan mengarah pada homogenisasi budaya. Beberapa pekerja kreatif telah menyuarakan ketakutan mereka tentang dampak Al terhadap industri mereka, dengan beberapa mengalami penurunan permintaan untuk layanan mereka karena munculnya Al.

Tapi di balik semua kekhawatiran itu, ada hal yang sering luput dibicarakan: bagaimana seniman yang benar-benar hidup dari karya mereka merasakan perubahan ini secara langsung. Bukan dari sudut pandang akademis atau teknis, tapi dari pengalaman sehari-hari mereka sebagai pembuat. Mereka yang selama ini berkarya dengan intuisi, rasa, dan proses panjang, kini harus berhadapan dengan realita baru bahwa gambar, konsep, bahkan estetika yang dulu butuh waktu dan tenaga, kini bisa dibuat hanya dalam hitungan detik oleh mesin. Di sini lah pentingnya mendengar cerita mereka. Bukan untuk mencari siapa yang salah atau benar, tapi untuk memahami bagaimana rasanya berada di tengah pusaran teknologi yang bergerak lebih cepat dari pemahaman kita.

Dalam sebuah obrolan hangat bersama ilustrator arus pinggir lokal, Danus Darmawan alias Steel Reaper dan Reyandi Mardian atau dikenal dengan moniker Timtimebroy, perbincangan tentang Al dalam seni visual terasa seperti diskusi yang sudah lama dipendam: bingung, penasaran, kritis, tapi juga nggak sepenuhnya sinis. Lewat wawancara santai ini, kita disuguhi perspektif jujur dari pelaku kreatif yang sehari-harinya berkecimpung di dunia ilustrasi, musik, dan fashion alternatif. Mereka hanya ingin jujur soal apa yang mereka lihat dan rasakan, di tengah banjir visual buatan mesin.

Baik Danus maupun Reyandi sepakat: penggunaan Al dalam seni itu sah-sah saja. Tapi bukan berarti asal comot hasil generate terus di-upload. Ada batas yang mereka rasa perlu ditegaskan. Bagi Reyandi, Al seharusnya dijadikan alat bantu, bukan mesin pengganti. la mengibaratkan Al sebagai teman brainstorm saat otak sudah mentok. Tapi ketika seniman mulai malas mikir dan terlalu tergantung, di situlah esensi seni mulai tergerus.

“Kalau kita selalu berpaku sama Al, otak manusia bisa adiksi. Jadi males mikir,” ujar Reyandi.

Danus bahkan menyebut Al dalam pameran seni sebagai hilang esensi, kecuali jika ada proses retouching yang menunjukkan keterlibatan manusia. Tanpa itu, menurut mereka, Al hanya lah mesin duplikasi yang kehilangan jiwa.

Salah satu isu yang muncul dari diskusi ini adalah perbedaan antara seni dan gambar yang terlihat keren. Menurut Danus, banyak karya Al yang secara teknis “sempurna” yaitu gradasi halus, tekstur mulus, komposisi warna yang sedap dilihat. Tapi justru kesempurnaan ini lah yang bikin mereka curiga.

“Gambar sedetail dan (tampak) se-effort itu, bisa posting tiga kali sehari, ya aneh lah. Nggak masuk akal,” kata Danus.

Buat mereka, seni adalah soal proses. Soal energi, waktu, emosi, bahkan kegagalan. Ketika semua itu diloncati lewat sebuah prompt, maka yang tersisa hanyalah hasil visual yang tanpa narasi–kosong dari ‘dapur kreatif’.

Satu hal yang terus diulang oleh keduanya adalah pentingnya kejujuran. Kalau karya dibuat dengan Al, ya bilang saja. Jangan mengklaim itu sebagai buatan tangan manusia.

“Kalau menurut aku sih sah-sah aja. Cuman lebih bagusnya ada keterangannya. Al, illustrator misal, gitu,” ujar Danus.

Di platform seperti ArtStation, misalnya, mereka mengapresiasi bahwa beberapa Al artist dengan jujur mencantumkan status karya mereka. Dengan begitu, publik bisa menilai dengan adil. Tanpa label, menurut mereka, muncul potensi penipuan yang melecehkan proses kerja kreator manusia.

Ketika ditanya apakah penggunaan style artis terkenal dalam Al termasuk pencurian, mereka kompak menjawab: tidak, selama bentuk dan objeknya berbeda. Mereka justru membandingkan hal itu dengan proses belajar para seniman di masa lalu yang juga banyak meniru gaya guru atau pelukis terdahulu.

Menurut mereka, selama eksplorasi masih terjadi dan tidak hanya copy-paste, maka seni tetap hidup. Yang berbahaya justru ketika Al bisa meniru dengan sangat presisi, lalu manusia tak lagi merasa perlu belajar atau mengembangkan sesuatu yang baru.

Ada bagian menarik ketika Danus membandingkan seniman zaman dulu yang mengandalkan Google Image untuk referensi, dengan anak sekarang yang tinggal prompting Al. Intinya, alat boleh berubah, tapi soal niat dan proses tetap menjadi tolok ukur keaslian dan etika.

“Dulu tuh googling dulu gambarnya, ditembak pake infocus ke tembok, terus digambar. Sekarang tinggal prompt, langsung jadi,” jelasnya.

Apakah ini berarti generasi baru jadi kurang belajar? Belum tentu. Tapi menurut mereka, sangat mungkin jadi lebih instan. Dan, ironisnya, lebih sering diklaim sebagai karya orisinal, padahal meloncati banyak proses.

Apakah para Al artist ini jadi ancaman untuk ilustrator manusia? Jawabannya: tidak langsung. Menurut Danus, selama klien masih menghargai proses dan kualitas, mereka akan tetap memilih ilustrator manusia untuk proyek-proyek serius, apalagi yang melibatkan nilai artistik dan orisinalitas tinggi seperti artwork band, poster gigs/acara, atau koleksi galeri.

“Klien tuh biasanya, kalau untuk band ya, mereka nggak akan pilih yang Al,” tambah Danus.

Yang menjadi bahaya bukan Al-nya, melainkan publik yang terlalu cepat puas, dan institusi yang malas memberi edukasi.

Reyandi mengakui bahwa kehadiran Al membawa dua sisi. Di satu sisi, ia membuka peluang baru—membantu ide berkembang lebih cepat, menyediakan variasi visual yang luas, hingga mempercepat workflow. Tapi di sisi lain, Al juga berpotensi membunuh daya eksplorasi, membuat orang malas berpikir, dan menciptakan ekosistem seni yang superficial: semua instan, semua bisa, semua jadi.

Danus pun menambahkan bahwa banyak karya Al sekarang tampil di tempat-tempat komersial, tapi belum tentu bisa diterima di ruang galeri. Karena galeri butuh proses. Butuh narasi. Butuh keunikan. Al, meski secanggih apapun, tetap hanya mesin pengumpul data.

Dari obrolan ini, jelas terlihat bahwa para kreator seperti Danus dan Reyandi tidak memusuhi Al. Mereka bahkan mengakui potensinya. Tapi mereka juga memiliki sikap. Bagi mereka, Al hanya akan berguna jika ditempatkan sebagai asisten kreatif, bukan pengganti seniman. Seni bukan hanya soal hasil akhir, tapi soal perjalanan, pengalaman, dan identitas kreator.

Sementara itu, di sisi lain, perusahaan teknologi berdalih bahwa penggunaan karya seniman untuk melatih Al berada dalam cakupan fair use. Namun dalam hukum hak cipta (khususnya di AS) mensyaratkan bahwa penggunaan harus transformatif, tidak mengganggu pasar ekonomi dari karya asli, dan hanya menggunakan sebagian kecil dari konten. Masalahnya, Al generatif menggunakan jutaan bahkan milyaran karya utuh—dari DeviantArt, Pinterest, hingga Flickr melalui proses yang disebut web scraping, tanpa sepengetahuan atau izin pencipta asli. Penggunaan ini bukan hanya tidak transformatif, tetapi mereplikasi gaya, warna, hingga komposisi dengan presisi tinggi.

Model Al seperti Midjourney dan Stable Diffusion menggunakan dataset raksasa seperti LAION-5B, yang berisi lebih dari 5,8 miliar pasangan teks-gambar. Dataset ini dikumpulkan dengan teknik web scraping, yaitu pengambilan otomatis data dari situs-situs publik di internet. Dalam proses pelatihan ini, model belajar mengasosiasikan kata-kata seperti “sad eyes”, “sunset skies”, atau “impresionism” dengan pola visual yang sesuai, lalu membentuknya ulang dalam bentuk baru.

Namun, masalah muncul ketika pola ini sebenarnya bukan netral, mereka mencerminkan karya, gaya, dan identitas seniman tertentu. Ketika model menghasilkan gambar yang nyaris identik dengan karya asli, dan kemudian dijual atau digunakan secara komersial, terjadi pembajakan intelektual secara sistemik yang disamarkan sebagai “kemajuan teknologi.”

Efek domino dari Al tidak berhenti pada penciptaan seni. Profesi seperti desainer grafis, penulis konten, jurnalis, hingga voice actor kini menghadapi ketidakpastian. Bahkan di tahun 2025 ini, banyak pekerjaan di sektor IT mulai digantikan oleh AI. Pengangguran di bidang ini melonjak dari 3,9% jadi 5,7% hanya dalam sebulan karena perusahaan lebih memilih investasi AI daripada merekrut orang baru. Alat seperti GitHub Copilot dan ChatGPT-4 bikin satu engineer bisa ngerjain tugas tiga orang, jadi junior developer pun makin tersingkir. Bulan Januari saja, ada 152.00 PHK di sektor ini, termasuk dari raksasa seperti Meta, Google, dan Microsoft.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana Al membentuk ekspektasi baru dalam industri: kualitas instan, estetika seragam, dan efisiensi maksimal. Dalam iklim seperti ini, keunikan manusia dipandang sebagai “gangguan,” bukan keunggulan.

Tentu saja seniman tidak tinggal diam. Dari ranah teknologi sendiri muncul Glaze, alat pelindung gaya seni yang dikembangkan oleh University of Chicago. Glaze bekerja dengan menambahkan distorsi imperceptible dalam gambar digital, membuat Al gagal mengenali pola gaya yang khas dari seniman tersebut. Ini seperti lapisan pelindung tak terlihat yang menipu mesin tanpa merusak estetika visual bagi mata manusia.

Namun, pertahanan ini belum cukup. Glaze bersifat reaktif, bukan preventif. la tidak menghentikan Al dari terus dilatih dengan jutaan karya yang sudah terlanjur dikumpulkan. Di sini lah muncul urgensi akan kerangka hukum yang lebih progresif dan protektif.

Menyadari kekosongan hukum, Council of Europe meluncurkan Framework Convention on Artificial Intelligence—kerangka hukum internasional pertama yang mencoba mengatur Al secara etis dan bertanggung jawab. Dalam waktu bersamaan, Kantor Hak Cipta AS menetapkan bahwa karya yang sepenuhnya dihasilkan Al tidak berhak atas perlindungan hak cipta. Ini adalah langkah awal penting untuk membedakan antara karya manusia dan mesin.

Namun, hukum masih tertinggal jauh. Banyak negara termasuk Indonesia belum memiliki peraturan yang secara eksplisit mengatur hak cipta atas dataset pelatihan Al. Bahkan, tidak sedikit yang belum menyadari bahwa web scraping bisa dianggap sebagai bentuk pencurian data intelektual, bukan sekadar pengumpulan informasi publik.

Kita sedang hidup dalam paradoks. Di satu sisi, Al menjanjikan kemudahan, efisiensi, dan inklusivitas. Di sisi lain, ia mengancam pondasi paling mendasar dari penciptaan: waktu, emosi, dan orisinalitas manusia.

Jadi ketika kita menyambut Al sebagai bagian dari masa depan seni, mungkin pertanyaannya bukan lagi “Al itu boleh atau tidak?”, melainkan: “Bagaimana kita bisa tetap menjadi manusia dalam seni, di tengah dunia yang makin terotomatisasi?”

Teks: Gren Rain