X

Indonesia Gagal Piala Dunia U-20: Boikot Budaya yang Gagal Karena Pencetusnya Kurang Keren

by Abyan Nabilio / 2 years ago / 1156 Views / 0 Comments /

Mungkin kalau ada tokoh yang lebih kalcer yang menolak polemik timnas U-20 Israel pendukungnya bakal lebih banyak.

Mimpi Indonesia untuk masuk Piala Dunia kembali pupus setelah FIFA mencabut status tuan rumah negara tersebut beberapa waktu lalu. Setelah 85 absen di Piala Dunia dan terakhir kali tim U-20-nya masuk Piala Dunia U-20 pada 1977, wajar kegagalan jalur tuan rumah ini disesalkan kebanyakan warga Indonesia yang menjadikan sepak bola sebagai olahraga nomor satu biarpun lebih banyak prestasi di bulu tangkis.

Biarpun FIFA hanya mencantumkan alasan “due to current circumstances”, banyak ahli Bahasa Inggris di Twitter yang menyimpulkan bahwa pemantik keputusan ini adalah penolakan I Wayan Koster (Gubernur Bali) dan Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) terhadap timnas U-20 Israel yang akan bermain di gelaran tersebut. Mayoritas awam menyesalkan pernyataan mereka dengan alasan mematahkan harapan anak bangsa, sebagian yang tua dan semi semi konservatif mendukung mereka dengan alasan dukungan kemanusiaan untuk Palestina (aneh memang melihat ayah saya yang rajin mengaji setuju pada kader PDI-P), sebagian yang lebih muda nyerempet progresif mengalhamdulillahkan keputusan FIFA karena Kanjuruhan pun belum beres. Namun kalau ditilik dari sisi lain, penolakan Koster dan Ganjar bisa dilihat sebagai aksi kemanusiaan, sebuah boikot budaya, yang sungguh bernas dan adiluhung.

Kejadian serupa pernah terjadi pada Radiohead pada 2017. Saat itu, mereka dijadwalkan untuk bermain di Tel Aviv, Israel namun sebuah surat terbuka dilayangkan melalui laman Artist for Palestine UK dari beberapa tokoh yang mendukung Boycott, Divestment, Sanctions (BDS), sebuah gerakan yang mendukung kemerdekaan, keadilan, dan kesetaraan bagi Palestina.

Surat terbuka ini diaminkan oleh berbagai kalangan, seperti Roger Waters (Pink Floyd), Thurston Moore (Sonic Youth), Ken Loach (sutradara Kes, The Wind That Shakes the Barley), hingga Desmond Tutu (teolog sekaligus aktivis antiapartheid Afrika Selatan). Mereka menuntut agar Thom Yorke dkk. mempertimbangkan kembali panggung di Tel Aviv karena, mengutip laporan PBB, “sistem apartheid terhadap orang Palestina” terjadi di Israel. Belum lagi keputusan Radiohead bertolak belakang dengan gerakan mereka sebelumnya untuk membebaskan Tibet dan panggung mereka di peringatan 50 tahun Universal Declaration of Human Rights.

Surat terbuka tersebut ditutup dengan, “Tolong lakukan apa yang dilakukan para seniman di Afrika Selatan saat masa-masa penindasan: menjauh, sampai apartheid selesai.”

Serupa dengan orang-orang yang berpendapat untuk memisahkan olahraga dan politik di kasus kegagalan Piala Dunia U-20 Indonesia, Thom Yorke pun merespons dengan kekecewaan. Menurutnya, dengan bermain di Tel Aviv, bukan berarti mereka mendukung Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sama seperti mereka tetap bermain di Amerika Serikat tapi tidak mendukung presiden saat itu, Donald Trump. Lagi pula, surat terbuka Roger Waters dkk. dapat menyinggung gitaris Radiohead, Jonny Greenwood, yang memiliki beberapa teman dari Israel juga Palestina dan beristri Yahudi Arab (sejarahnya pernah ditindas bangsa Arab).

Ada yang bilang kalau menolak Israel di Piala Dunia U-20 adalah hal yang percuma, toh mereka tetap main di sana, Palestina pun masih tetap main di Piala Asia. Malah Indonesia yang nasibnya nahas kena sanksi FIFA. Akan tetapi, sejarah menunjukkan bahwa boykot budaya semacam ini pernah punya hasil.

Surat terbuka yang ditujukkan untuk Radiohead menyebut Afrika Selatan karena memang di sana lah gerakan macam ini “bisa dibilang” pernah berhasil. Beberapa pihak melakukan boykot besar-besaran dari sisi ekonomi, budaya, akademik, bahkan olahraga terhadap negara yang orang kulit putihnya menindas kulit hitam. Biarpun memakan waktu sekitar tiga dekade, gerakan Anti-Apartheid Movement (AAM) membantu membangun kesadaran global akan isu rasial tersebut dan punya andil pada bebasnya Nelson Mandela pada 1990. Buntutnya lumayan panjang. Organisasi nasionalis kulit hitam, African National Congress, mengesahkan kebijakan tentang ini.  Gram Parsons keluar dari The Byrds karena bandnya berniat untuk melakukan tur ke Afrika Selatan. Bersama organisasi Artists Against Apartheid, Jerry Dammers (The Specials) menggagas beberapa konser antiapartheid di beberapa titik di Eropa. Selain itu, ada juga Artists United Against Apartheid yang merilis sebuah lagu protes,”Sun City”. Musikus yang membantu dalam trek tersebut termasuk Joey Ramone, Bob Dylan, Lou Reed, Ringo Starr, Keith Richards, dan masih banyak lagi. Kebanyakan dari mereka menolak untuk bermain di negara yang menerapkan sistem apartheid.

Dari sisi olahraga, tim kriket Afrika Selatan pernah tidak dianggap secara internasional karena perdana menterinya saat itu menolak tur tim kriket Inggris yang berisi seorang ras campuran, Basil D’Oliveira. Kasus ini merentet dengan ditolaknya banyak tim olahraga lain negara terebut dari kompetisi internasional.

Dengan dampaknya yang masif, gerakan tersebut tetap tidak selalu mendapat dukungan. Seperti kasus Roger Waters dan Thom Yorke, ada juga beberapa musisi yang tetap bermain di Afrika Selatan tanpa melihat ketegangan rasial di sana, seperti Queen, The Beach Boys, Rod Stewart, bahkan beberapa musikus kulit hitam macam Millie Jackson dan Ray Charles.

Apakah sah menyamakan kasus Afrika Selatan dengan Israel? Setidaknya pakar PBB dan lembaga kemanusiaan nirlaba, Amnesty Interational, menganggap apa yang dilakukan Israel merupakan praktik apartheid. Lagi pula, biarpun ketegangan Israel-Palestina sangat kompleks dan sudah berjalan begitu lama, agak mengherankan bagaimana wilayah pemukiman Israel di Tepi Barat makin tahun makin bertambah biarpun banyak pihak yang melihat pendudukan mereka di sana sebagai semacam penjajahan biarpun belum tentu.

Mengikuti perdebatan musisi BDS dan Radiohead di masanya begitu menarik. Secara subjektif, saya lebih merasa bisa menghargai tingkah polah keduanya, mungkin karena kedua sisi punya nama-nama yang saya idolakan, dan mereka orang-orang yang saya anggap keren. Yang seru adalah memikirkan bagaimana teman-teman progresif saya yang biasa bicara soal kemanusiaan lebih memilih membahas Kanjuruhan tapi tidak berbarengan dengan ketegangan Israel-Palestina. Mungkin karena setuju pada politisi di negeri ini bukan tindakan yang dianggap intelek. Mungkin juga, bicara Israel Palestina di sini sudah terlalu banal karena saya lebih sering mendengar tema tersebut di khotbah Jumatan dibanding diskusi-diskusi ilmiah bawah tanah di warung kopi atau gorong-gorong kampus.

Biarpun pernyataan Ganjar dan Koster mendukung kemanusiaan, sayangnya mereka politisi. Sayangnya, mereka satu partai. Sayangnya, pernyataan mereka sejalan dengan wacana partai mereka. Sayangnya, tahun depan pemilu. Sayangnya, kasus Kanjuruhan itu salah angin. Sayangnya, PSSI tuh apaan ya? Sayangnya, TNI masih sibuk mengamankan Freeport. Sayangnya, Ganjar dan Koster kurang keren. Mungkin kalau tokoh yang lebih kalcer yang menolak timnas U-20 Israel pendukungnya bakal lebih banyak. Jerinx, mungkin? Mungkin.

Tagged

#Palestina #Ganjar #Israel #Piala Dunia U-20 #Koster

Leave a Reply