Lika-Liku Pemberian Nilai pada Sebuah Review Rilisan Musik
Serius kami penasaran, seberapa penting atau efektifnya sih untuk menggunakan sistem angka penilaian pada sebuah review rilisan?
Entah kenapa pada beberapa waktu belakangan, sesuatu mengenai musik arus pinggir sedang ramai diperbincangkan oleh warga internet, terutama di kanal Twitter. Seakan tak ada habisnya, mulai dari kepopuleran frasa “skena” yang mulai menyentuh kalangan awam, korelasi antara musik midwest-emo dengan pendapatan seseorang, dan yang teranyar adalah hadirnya meme review rilisan lokal ala Pitchfork lengkap dengan verdict-nya. Salah satu highlight-nya adalah ketika sang empunya karya yang tercantum pada meme tersebut turut serta dalam percakapan. Suatu hal yang kemudian berimbas pada munculnya desakan dari para penggemarnya yang menagih pertanggungjawaban terhadap penilaian pada meme tersebut. Epik sekali.
Singkat kata, sang pembuat meme pun memenuhi permintaan dengan mengeluarkan essay berisikan elaborasi dan alasan mengapa dirinya memberi nilai rendah pada rilisan tersebut. Tapi keributan tak lantas berhenti, respon pro-kontra masih tetap bergulir. Setelah coba ditelaah, saya simpulkan kalau semua keriuhan ini dipantik oleh final verdict yang dinilai dengan angka kuantitatif. Pemberian nilai 3.9 dalam skala 10 tentunya bukan merupakan nilai yang besar. Selain itu, terdapat juga persepsi bahwa memberikan suatu rilisan dengan nilai yang rendah = membenci atau tidak menghargai karya si musisi.
Padahal menurut saya tidak seperti itu. Izinkan saya membagikan secuil isi pikiran saya akan keriuhan ini.
Menurut saya, menulis review merupakan bentuk dokumentasi sederhana dari apresiasi yang bisa kita persembahkan sebagai pendengar jika ditulis secara proper. Bukan hanya tulisan yang berisi sumpah-serapah atau pun pujian kosong tanpa alasan yang jelas. Selain itu, saya rasa sebuah review juga bisa diberi peran sebagai time capsule untuk si penulis itu sendiri, bahwa ada masanya di mana dia membenci/menyukai suatu rilisan tertentu. Walaupun sangat besar kemungkinan akan terjadinya perubahan selera di kemudian hari, lalu merevisi apa yang telah ditulis seperti apa yang Pitchfork lakukan pada beberapa artikel ulasannya.
Pada dasarnya semua artikel review itu bersifat subjektif. Sangat terpengaruh berdasarkan selera, referensi, dan pengetahuan yang dimiliki oleh si penulis. Hal tersebut pun sedikit banyak berpengaruh terhadap bagaimana si penulis mengambil sebuah kesimpulan dan merepresentasikannya ke dalam sebuah angka penilaian. Sehingga tak bisa disamaratakan antara satu dengan yang lainnya. Itulah alasan mengapa mungkin kamu lebih nyaman membaca tulisan si A daripada si B untuk review dari rilisan yang sama. Karena mungkin secara selera dan referensi kamu lebih mendekati si A.
Jadi, kalau kamu kurang setuju alangkah lebih baik (dan seru) kalau membuat ulasan tandingan sebagai bentuk respon. Guna membantah poin-poin yang menurutmu keliru dan menjelaskan apa yang menurutmu menarik. Dibanding melakukan debat kusir yang tak ada habisnya berdasarkan sebuah tulisan saja. ‘Kan seru jadi muncul sebuah diskursus.
Tapi kalau untuk saya pribadi, saya sebisa mungkin menghindari format pemberian nilai kuantitatif pada saat membuat sebuah review. Karena selain berpotensi menimbulkan keributan yang tak perlu di luar konteks, juga berpotensi membuat perhatian pembaca teralihkan dari poin yang saya jelaskan, dan berfokus kepada verdict akhirnya. Selain itu, alasan lainnya adalah saya tak ingin pusing-pusing membuat sebuah pedoman penjelasan dari penilaian yang saya lakukan sebagai bentuk tanggung jawab dari penilaian yang diberikan. Meskipun sebenarnya tak ada kewajiban juga dari setiap penulis untuk menjelaskan sistem penilaiannya secara rinci. Tapi kalau mau terlihat lebih proper penilaiannya, itu merupakan salah satu detail kecil yang cukup penting dijabarkan.
Terlepas dari itu, tak bisa saya pungkiri bahwa penilaian dengan angka tersebut bisa membantu melakukan kategorisasi untuk menentukan sebuah album dapat disebut bagus, medioker, atau jelek. Namun tetap dengan catatan: metrik penilaiannya harus dijelaskan secara detil sehingga tak menimbulkan pertanyaan lanjutan lain yang melenceng dari konteks awal tulisannya dibuat.
Kembali pada twit yang sedang ramai diperbincangkan tadi. Jujur, sebelumnya saya cukup skeptis kalau masih ada orang yang aktif/rajin membaca dan mencari ulasan dari sebuah rilisan. Karena untuk contoh kasus Consumed Magazine sendiri, berdasarkan data yang saya amati dari lalu lintas pengunjung situs kami, segmen review rilisan ‘TRACK TALK’ bukanlah halaman yang banyak dilirik oleh mereka – rata-rata total page view dari keseluruhan tulisan yang tak lebih dari 500 page views saja. Sedih.
Namun, keriuhan ini bagi saya sedikit banyak membuktikan bahwa asumsi tersebut salah. Ternyata masih banyak -atau setidaknya ada- yang peduli terhadap pendapat seseorang mengenai sebuah rilisan (terlepas mungkin karena terpantik oleh penilaian yang rendah). Khususnya para fandom yang akan seketika bergeriliya berbekal slogan “defend [insert artist name here]” ketika menemukan ada seseorang yang dirasa tidak menghargai karya idolanya.
Satu hal yang pasti, kini review rilisan jadi sesuatu yang menarik lagi untuk dibahas. Bahkan untuk kalangan awam yang statusnya sebagai casual listener, bukan hanya para penggiat yang aktif di lingkungan musik. Semoga ke depannya akan lebih banyak review dari kekaryaan musisi lokal yang lebih elaboratif, dan tidak hanya disampaikan melalui testimoni singkat bernada benci/cinta buta saja.
Dengan keberadaan sosial media, kini siapapun juga bisa menyampaikan pendapatnya melalui berbagai format, tanpa perlu terafiliasi dengan media manapun. Termasuk kamu. Tak perlu terlalu pusing memikirkan bentuk review rilisan yang akan kamu buat. Karena tak ada suatu pakem atau format khusus yang harus diikuti bagi seseorang yang ingin melakukannya. Semua dengan bebas bisa mengulas berdasarkan preferensi dan gayanya masing-masing. Baik menggunakan sistem angka penilaian ataupun tidak. Tak ada yang benar ataupun salah.