X

Apakah Perlu Malu Menjadi ‘Skena’?

by webadmin / 9 months ago / 954 Views / 0 Comments /

Izinkan kami untuk mengutarakan sedikit sudut pandang kami soal semua dinamika kecenderungan stereotip istilah ‘skena’ hari ini.

Ya ya ya, kami tahu kami sangatlah telat untuk merespon keriuhan soal kecenderungan publik akan memaknai konotasi kata ‘skena‘ beberapa waktu lalu. Kami pun mengakui kalau Consumed selama ini masih jauh dari sebuah entitas media yang cepat ‘tanggap’ macam beberapa media musik favoritmu di luar sana yang serba gercep membuat konten yang paling up-to-date. Jadi, mohon maafkanlah kami dan izinkan kami mencoba lebih baik ke depannya. Semoga permintaan maaf kami diterima dan diiringi dengan haturan semangat darimu. It will mean a lot to us, honestly.

Kembali lagi ke bahasan kali ini. Skena. Terminologi dadakan tersebut jadi pembahasan hangat di dunia populis karena sempat dijadikan satu topik di salah satu konten seleb internet lokal bernama Bayem Sore – dan mungkin berkat pembawaan narasi di kontennya yang komikal dan proyeksi algoritma yang membuat penonton kontennya semakin tak terkontrol, banyak khalayak yang memaknai diksi ‘skena’ dengan sebuah stereotip yang *konon* banal –  dalam artian hanya mengeneralisir aspek tampilan dan visual dari para penggiat/penikmat dari ceruk sosial yang jatuh ke kategori skena saja.

Belum lagi ditambah beberapa polemik dunia ‘skena’ yang sempat terkuak ke ranah konsumsi arsiran populis macam kasus penipuan tiket Arctic Monkey oleh salah satu solois ‘skena’, beberapa kasus spall-spill urusan selangkangan dari beberapa pelaku ‘skena’ atau bahkan kasus internal soal permasalahan finansial dari salah satu solois (atau band?) ‘skena’ yang di bawa ke media sosial sehingga banyak orang di luar ‘skena’ turut menikmati keruwetannya.

Tapi bagi kami di Consumed, sepertinya banyak sudut pandang yang ditumpulkan ketika pembahasan diksi ‘skena’ berkonotasi campur aduk itu bergulir sampai akhirnya kami mendengar langsung kabar beberapa orang di lingkungan terdekat dan semi-dekat kami risih sendiri dengan ruang lingkup di mana mereka berkegiatan tersebut. Belum lagi kami mendengar dari beberapa paparan menarik dari kawan kami yang umurnya relatif lebih muda soal dinamika perguliran stereotip individu ‘skena’ ini.

Maka izinkan kami – tim penulis di Consumed – untuk mengutarakan sedikit sudut pandang kami soal semua dinamika kecenderungan stereotip istilah ‘skena’ itu.

“‘Skena’ hanya bagian kecil dari dunia luar, semua keburukan bisa terjadi di dalamnya”
Oleh Ilham Fadhilah

Terminologi ‘skena’ hari ini lumayan bikin jijik buat kebanyakan orang. Selain terkesan sok eksklusif alias berbeda dari arus utama, di dalamnya juga konon identik dengan orang-orang problematik dan dramatis. Agak miris memang, kata yang seharusnya jadi cakupan suatu lingkup atau ekosistem tertentu sudah berubah artian jadi penggambaran behavior dan karakteristik personal.

Bukan keberatan atau terlalu ambil pusing, saya pribadi pun sejujurnya tidak peduli dengan akan ke mana arahnya kata ‘skena’ atau bagaimana mayoritas orang mengartikannya. Mau media-media mainstream sampai (mirisnya) alternatif dengan konten-konten bitesize alias recehannya, hingga kelakar orang-orang di media sosial X melanggengkan miskonsepsi ini, rasanya tak akan membuat saya rela menghabiskan energi demi meluruskan hal tersebut. Ironis memang, ungkapan itu keluar saat saya sedang menulis tulisan ini. 

Tapi serius, mau itu jadi bahan olok-olokan atau apapun, saya tak pernah tertarik untuk terlibat di dalamnya. Toh, miskonsepsi yang terlampau jauh ini memang nampaknya sudah tak tertolong lagi. Jadi biarkan saja kata ‘skena’ identik dengan orang-orang problematik atau apapun itu yang sedang berlaku sekarang. Bukan apa-apa, sudah terlalu sulit untuk memaksakan itu kembali pada artian semestinya, karena tak semua orang menganggap ini hal penting yang mesti punya penjelasan komprehensif. No offense, but they’re just having fun over it without really know what are they talking about.

Saya hanya berharap miskonsepsi tersebut tak memunculkan penyakit otak baru dengan nama “skenaphobia”.  Saya rasa, tak ada satupun orang yang ingin dihindari atau dikucilkan atas kesukaan atau hobi mereka (jika itu tidak merugikan orang lain) karena generalisasi. Apa lagi, akan sangat tak etis jika itu menimpa mereka yang menyambung hidup dari sana. Contohnya, kami para pekerja di balik media musik/alternatif. Satu hal yang mesti pembaca tahu adalah merajut hidup dari sini tak melulu soal menggelapkan royalti.

Tanpa bermaksud menormalisasi atau menetralisir kecacatan akhlak beberapa orang dalam kasus yang terjadi di lingkup ‘skena’ belakangan ini soal kekerasan, pelecehan, penggelapan dana, serta tindakan tak etis lainnya. Bagaimanapun ‘skena’ hanya potongan kecil dari masyarakat luas di Indonesia atau bahkan muka bumi. Lantas, apa yang membedakan kasus-kasus tersebut dengan berita ustadz cabul, guru pedofil, korupsi bupati daerah atau drama perceraian KDRT selebriti yang jika mereka muncul di depan mata tetap kalian ajak selfie?

Pada akhirnya, itu tetap hanya bagian kecil dari masyarakat. Setidaknya kegaduhan ini jadi penanda kalau bagian kecil tersebut sekarang sedang besar. Bisa jadi ini buah dari apa yang selama ini penggiatnya jaga agar tetap eksis dan mendapat lirikan dari dunia luar. Karena tak bisa dipungkiri, suatu hal besar ketika sudah menjadi inklusif dan bahkan berakhir jadi bahan olokan.

“Mungkin banyak yang lupa kalau banyak orang yang memang belajar dan bisa hidup berkat ‘skena'”
Oleh Prabu Pramayougha

Tanpa maksud menjadi heroik atau pun dramatis, tapi rasanya ada satu aspek yang saya rasa mulia dari ‘skena’ – bahwa tak sedikit individu di ruang lingkup saya yang kini mengemban identitas dan juga profesinya berkat skena.

Contoh terdekat dari pendapat saya di atas adalah kehadiran beberapa sosok kawan saya yang kini sedang kaliber berkegiatan di ranahnya masing-masing. Baik itu di ranah musik, film, seni atau bahkan fashion. Ah, harap dimaklum kalau lahan berkegiatannya masih terkesan edgy. Toh karena memang kebanyakan orang-orang yang telah lama berkecimpung di skena pada akhirnya akan parkir di bidang-bidang yang mereka memang minati dengan sedikit kompromi akan poros kehidupan populis.

Mari kerucutkan contoh tadi ke pola transformasi kehidupan yang disebabkan oleh ‘skena’. Tak sedikit beberapa kawan saya yang datang dari sirkel zine atau seni yang dulunya masih ber-skena-ria di tongkrongannya masing-masing dengan saling bertukar zine untuk dikoleksi kini menjadi salah satu orang penting di dunia percetakan alternatif dan bahkan literasi. Atau yang paling sederhana, banyak kawan-kawan dari sirkel band yang dulunya hanya naif ingin sekedar bermusik namun kini mereka akhirnya punya profesi yang masih berkaitan dengan musik – dan lucunya, mereka pun kini handal dalam pekerjaannya tersebut berkat pembelajaran dari pengalaman ber-skena-ria sebelumnya.

Tak sedikit kawan-kawan saya yang kini masih bisa berkegiatan sekaligus menjaga kekaryaan mereka dengan junjungan etos yang tinggi. Dan mungkin aspek ini yang seringkali luput dari semua bahasan liar soal istilah ‘skena’ hari ini, mereka semua bisa memahami etos kerja atau pun perspektif hidup sehingga ada di posisi sekarang lewat semua komunikasi dan jejaring yang mereka temui selama ber-skena-ria – serta rasanya patut diingat juga diapresiasi bahwa alur hidup mereka ketika berhasil menemukan identitas dan juga profesi lewat skena itu butuh waktu. Safe to say, people who actually came from the so-called scene actually know what they’re doing now.

“Tak semua ‘anak skena’ itu (ingin terlihat) gaul dan mencolok”
Oleh Sendhi Anshari Rasyid

Secara sederhana, kini frasa ‘skena’ ekuivalen dengan sesuatu yang gaul, keren, modis, dan anti-mainstream. Serangkaian stereotip hasil keberadaan jokes para content creator cringe yang memaksa lucu melalui observasi sekenanya. Mengakibatkan ‘anak skena’ kini sebagai salah satu basic archetype yang banyak diadopsi oleh para remaja tanggung untuk mengaktualisasikan diri mereka. Sehingga mendapatkan label tersebut adalah salah satu tujuan utama yang ingin dicapai sebagai bentuk validasi.

Namun, nyatanya tak semua ‘anak skena’ seperti itu. Di sisi lain, ada juga orang-orang yang sebenarnya sudah terjun dan berkontribusi di skena tapi tak begitu peduli terhadap pelabelan tersebut. Pada kesehariannya mereka cenderung lowkey dan membaur di antara kalangan awam tanpa perlu melulu bergerumul dengan sesama ‘anak skena.’ Bahkan kalau tak mengobrol dan berinteraksi cukup dalam, kita sendiri bisa terkecoh dan tak sadar bahwa dirinya adalah seorang sosok prolific di perskenaan. Hal tersebut sudah saya buktikan sendiri ketika berinteraksi dengan beberapa sosok yang secara sepintas terlihat biasa saja, tak terlihat mencolok. Tapi setelah ditelusuri ternyata jauh lebih ‘skena’ dibanding orang-orang yang self-proclaimed sebagai ‘anak skena’ itu sendiri. Baik dari segi pengetahuan, referensi, koneksi, atau hal lainnya. Hanya saja mereka lebih memilih untuk keberadaannya tak terlihat terlalu mencolok.

Fakta tersebut sedikit banyak bisa meruntuhkan stereotip kalau ‘anak skena’ itu selalu ingin tampil mencolok dan terlihat gaul di permukaan. Ada juga segelintir di antaranya yang memilih untuk tetap below-the-radar, tapi di saat bersamaan tetap aktif berkontribusi dengan caranya sendiri. Sesuatu yang tak banyak diketahui oleh para netizen awam yang hanya FOMO untuk menggunakan istilah ‘skena’ sebagai bahan cemoohan.

Tapi sebenarnya tak peduli apapun motifmu untuk mengklaim diri ataupun diberi label sebagai ‘anak skena,’ baik untuk dianggap keren atau apapun itu. Pastikan untuk tetap memberikan kontribusi terhadap skena itu sendiri. Dan ingatlah, menjadi ‘skena’ tak lantas membuatmu (terlihat) lebih gaul dan keren. Menjadi ‘skena’ tak membuat selera musikmu lebih superior dibanding kawanmu yang lain. Menjadi ‘skena’ tak seketika menjadikanmu (layak) dikagumi banyak orang. Tak ada yang istimewa dengan menjadi ‘skena.’


Semoga respon ini bisa diterima dengan kepala dan jari jemari dingin – karena pada akhirnya opini kami hanyalah butiran kecil dari seluruh dinamika soal skena ini. Tapi satu hal yang pasti – apapun identitas yang hendak diemban oleh seseorang dari segmen tertentu, jadilah jujur kepada diri sendiri.

Untuk menutup tulisan ini, rasanya akan sesuai dengan melampirkan musik yang sangat ‘skena’.

Tagged

#skena #opini