X

Rilisan Favorit Redaksi Consumed 2024

by webadmin / 4 weeks ago / 443 Views / 0 Comments /

15 rilisan lokal menarik kurasi kami di tahun 2024 yang sayang untuk dilewatkan.


Seperti tahun-tahun sebelumnya, 2024 juga menyimpan banyak rilisan lokal menarik  yang layak untuk disimak. Beberapanya muncul dari unit-unit musik yang sudah diprediksi, sementara sebagiannya lagi justru datang dari nama yang tak diduga-duga. 

Kali ini, redaksi kami memilih setidaknya 15 rilisan lokal favorit yang memberikan kesan lebih ketimbang lainnya. Hadir dari berbagai kota dan corak musik, tentunya akan lebih bersahabat untuk jadi salah satu wahana berselancar rilisan menarik di penghujung tahun buat kamu.

Agar lebih lengkap, kami juga menuliskan sedikit respon kenapa album ini punya nilai tersendiri di lubuk kami. Simak daftar dan impresi kami di bawah ini!

Freykarensa memilih: 

Swellow – pasang


Tahun ini, kayaknya album lokal yang jadi heavy rotation saya sehari-hari adalah pasang kepunyaan Swellow. Walaupun rilisnya hampir mepet tahun baru, rilisan ini dengan mudah mencuri hati dengan rasa sederhananya. 

Mengeksplorasi berbagai tema – mulai dari pengalaman pribadi, refleksi politik, hingga keseharian – yang dikemas melalui gaya musik indie rock slacker khas Swellow. Punya tujuh lagu termasuk kolaborasi dengan The Cottons dan Zeke Khaseli dalam lagu “Lagu” dan “Kamera”, susunan tracklistnya pun sempurna buat saya sehingga secara tidak sadar transisi dari lagu ke lagu lainnya sangat membangun emosi pendengarnya hingga track terakhir.

Sejujurnya pasang tidak menyuguhkan kebaruan yang kentara, namun seperti yang saya bilang di awal, kesederhanaan itu lah yang membuat album pasang spesial dan mudah nyangkut. 

Momentum album ini juga bertepatan dengan jadwal padat kolektif Asbun (Swellow, Texpack, Rrag) yang sedang sibuk menginvasi berbagai area, membuat gaungnya semakin kuat. Tak heran jika pasang jadi kandidat kuat rilisan terbaik – atau setidaknya favorit – buat banyak kalangan di tahun ini.


The Cottons – Harapan


Di balik banyaknya rilisan gitar berbahasa Indonesia yang muncul tahun ini,Harapan karya The Cottons adalah salah satu rilisan yang cukup mencuat dan menandai kembalinya duo asal Jakarta ini setelah delapan tahun vakum. Kaneko Pardede dan Yehezkiel Tambun akhirnya muncul di poster salah gigs paling ditunggu-tunggu yaitu Paguyuban Crowd Surf dengan menghadirkan gaya baru dan jauh berbeda dalam karya mereka yang saat ini sangat terasa kentalnya perpaduan antara indie pop, progressive pop era 70-an, soft rock, dan yacht rock.

Saya selaku penikmat mereka semenjak single pertamanya sangat terpuaskan dengan penulisan lirik dari EP “Harapan” yang padat rasa hangat nostalgia dan tema universal, menciptakan setiap kalimatnya terasa memiliki hubungan personal dengan kehidupan urban Jakarta. Musik ini digambarkan sebagai perpaduan antara nostalgia pop Indonesia era 70-an dan sensibilitas indie saat ini yang menjadikannya salah satu karya musik favorit saya di tahun ini.

BAP. – m. album tiga

Album ketiga BAP., m. album tiga, adalah karya yang sangat introspektif dan eksperimental, yang menunjukkan evolusi artistik dari seorang Kareem Soenharjo. Menggabungkan lanskap suara yang penuh kekacauan dengan narasi yang menyentuh, memadukan elemen dari karya-karyanya sebelumnya untuk menciptakan proyek yang paling personal hingga saat ini. Album ini merupakan bukti kemampuannya menciptakan cerita emosional yang mentah melalui musik, menyentuh tema seperti keraguan diri, hubungan keluarga, dan pertumbuhan pribadi.

Album ini menghadirkan lagu-lagu dengan nuansa emosional yang beragam, seperti “wake up! look alive!” yang penuh adrenalin hingga “bruxism or, why i’m afraid of earthquakes,” yang menyampaikan kecemasan yang mendalam berdasarkan perjuangan pribadi Kareem dengan stres dan mimpi buruk. Setiap lagu mencerminkan kerentanannya, memungkinkan pendengar untuk meresapi kompleksitas pengalamannya.

Berbagai media memuji m. album tiga atas pendekatannya yang tidak lazim. Album ini juga menyertakan penghormatan emosional, seperti “big sis,” yang didedikasikan untuk kakak perempuan Kareem, Ula Zuhra, dan “hokben,” yang mengeksplorasi tema insecure terhadap tubuh. Lanskap suara yang eklektik menantang konvensi, memunculkan perpaduan antara ketidaknyamanan dan dorongan, menjadikan album ini terapeutik sekaligus provokatif.

PORIS – Anak Kampung Lifestyle Rockstar

Tren dari musik hiphop opium saya rasa tak akan mati dalam waktu dekat, selama Playboi Carti, Ken Carson, dan Destroy Lonely masih ada. Karena itu, kita rasanya harus menyiapkan diri kalau akan semakin banyak artist opium lokal baru bermunculan.

Semangatnya yang saya rasa sangat kental bisa dirasakan adalah lewat album penuh perdana dari kolektif hiphop asal Jakarta yaitu PORIS. Album Anak Kampung Lifestyle Rockstar merupakan bukti mereka dengan paripurna menangkap apa saja yang dibutuhkan dari genre ini, mulai dari beat yang non-konvensional, pola drum yang repetitif, hingga suara distorsi yang luber ke mana-mana.

Dari segi estetika dan lirik pun mereka tidak tanggung. Vibes edgy, avant-garde, dengan sense counter culture terpampang jelas dari mood visual dan gaya berpakaian mereka selama campaign album ini yang merefleksikan fashion-forward dan goth inspired. Sedangkan dari segi lirik, mereka banyak membicarakan topik lavish lifestyle yang berputar di dunia party dan fashion serta ketidakpedulian mereka terhadap omongan orang sehingga lagu per lagu memang dipenuhi statement tegas seperti: “Jakarta sunyi kalau tak ada PORIS dalam club” atau “Gue ke Selatan gue bawa ombak”.

Yang membuat album ini menjadi suatu fenomenal menurut saya, PORIS juga berhasil membawa musik yang mungkin bisa disebut (maaf) alay-core ini dimainkan di club-club/venue gandrungan muda-mudi Jakarta seperti Krapela atau Zodiac. Bahkan event musik hingga fashion seperti Pestapora dan Urban Sneakers Society pun menyambut mereka. Persatuan Organisasi Ilmu Swag (PORIS) ini memang sudah bisa disebut sebagai tastemaker dengan menjadi salah satu yang mempopulerkan style ini di Indonesia.

White Chorus – do you guys wanna listen to some electro-pop music?

Duo electronic pop asal Bandung ini memang selalu berhasil mencuri perhatian jika merilis sesuatu, salah satu yang wajib disimak tahun ini adalah EP terbaru bertajuk do you guys wanna listen to some electro-pop music?

Didominasi dengan lirik-lirik bahasa Indonesia yang mudah dicerna serta dinyanyikan membuat do you guys wanna listen to some electro-pop music? gampang melekat dan relevan. Selain itu, yang menonjol dari sini juga kemampuannya menciptakan pengalaman sonik dinamis sambil menyesuaikan tingkatan lirikalnya. Saya bisa bilang, semua elemennya tepat guna. Membuat keputusan mereka melanjutkan gairah di musik elektronik pun rasanya bukan langkah keliru atau pretensius.

Karel Trinov memilih:

AmertaNodus Tollens

Amerta melangkah penuh percaya diri dengan album debut mereka, Nodus Tollens. Sebuah karya yang membuktikan bahwa metal tak harus melulu tentang agresi tanpa kompromi. Sebaliknya, mereka menawarkan pendekatan yang lebih subtil: penuh rasa, bernuansa sentimental, dan menghadirkan keanggunan musikal di berbagai lini. Di bawah tangan dingin Ricky Siahaan (Seringai, Step Forward) sebagai produser,  Amerta berhasil merancang sebuah karya dengan gaya produksi yang ciamik. Setiap elemen musikal dipoles hingga maksimal, memberikan ruang bagi para personel untuk mengeksplorasi kemampuan mereka tanpa batas. Ini bukan sekadar album post metal belaka; ini adalah manifesto musikal yang melibatkan hati, jiwa, dan pikiran.

Amerta bukan nama baru di lanskap musik lokal, meski baru mencuat di rentang waktu dua ribu belasan akhir. Di balik mereka ada individu-individu yang telah mengarungi belasan tahun perjalanan di ranah musik independen. Jam terbang tinggi jelas menjadi salah satu faktor yang membawa kematangan pada karya ini. Nodus Tollens hadir sebagai refleksi dari pengalaman mereka, sebuah album yang tidak hanya matang secara teknis tetapi juga emosional. Album ini mengangkat tema tentang absurditas hidup, kegelisahan eksistensial, dan dunia yang penuh dengan sistem yang meresahkan. Lewat lirik-lirik yang penuh perenungan, Amerta mengajak pendengar untuk menyelami sisi gelap dari kehidupan manusia. Namun, semua itu tidak disampaikan dengan muram semata; ada keindahan di balik kekacauan, sebuah perayaan akan kompleksitas hidup itu sendiri.

Dari awal hingga akhir, Nodus Tollens adalah perjalanan sonik yang menyihir. Sound yang mereka usung mampu berkelindan dengan baik, menciptakan harmoni yang menenangkan sekaligus menggetarkan. Amerta tidak takut untuk melangkah keluar dari zona nyaman dan mengeksplorasi wilayah baru dalam logam berat. Hasilnya adalah sebuah karya yang anggun namun tetap menghentak. Dengan segala keunggulannya, Nodus Tollens layak disebut sebagai album yang cepat atau lambat akan menjadi instant classic

Satu Per Empat – Semoga Beruntung Nasib Buruk

Semoga Beruntung Nasib Buruk dari Satu Per Empat adalah sebuah pernyataan personal yang terasa sangat intim, bahkan di tengah gemuruh rock alternatif yang seringkali lebih hingar-bingar. Album ini menawarkan perspektif manusiawi tentang kegamangan, terutama bagi mereka yang mulai memasuki usia 30-an—fase hidup di mana krisis identitas dan ekspektasi hidup sering kali bergulat dalam keheningan.

Berbeda dari pendekatan bombastis dalam rock alternatif modern, Satu Per Empat mengupas sisi rapuh dan rentan dari pengalaman manusia. Album ini tidak menawarkan solusi klise, melainkan refleksi jujur tentang bagaimana hidup kadang kala harus berjalan dengan reduksi ekspektasi, bukan sekadar resolusi kosong. Dalam setiap lirik dan nada, terselip narasi tentang pencarian makna di tengah kerapuhan.

Secara musikal, album ini mengingatkan pada lanskap yang pernah disentuh oleh Silverchair atau Stone Temple Pilots, namun tanpa nuansa bluesy yang menjadi ciri khas keduanya. Semoga Beruntung Nasib Buruk lebih fokus pada energi dan rasa yang mentah, menggambarkan emosi yang menggerogoti jiwa, layaknya grunge di era keemasannya. Setiap dentuman gitar dan lirik terasa seperti jeritan sunyi yang memadukan nostalgia dan rasa pedih. Tak berlebihan jika album ini disebut sebagai salah satu rock paling menyesakkan untuk tahun ini. Bagi mereka yang rindu akan musik yang jujur dan otentik, album ini adalah sebuah panggilan untuk mendengarkan dengan saksama dan meresapi dalam-dalam.

GrimoireEarth Cursed by the Sphere

Grimloc Records mengerti betul bahwa kawasan Bandung Selatan menyimpan banyak sekali mutiara terpendam, dalam hal ini eksotisme eksponen metal maupun crust punk. Keasrian lembah dan pegunungan sejuk seolah-olah menciptakan akselerasi bebunyian yang dingin, getir sekaligus menghentak dalam satu waktu. Marwah Panopticon atau Alcest seakan bermigrasi dan menumbuhkan energinya. 

Mereka menyadari ada kehadiran Grimoire di sana. Potensi yang sesungguhnya di bawah radar, namun layak simak. Apalagi tatkala EP perdana Earth Cursed by the Sphere mencuat. Atmosferik, depresif dan intens itu impresinya. Debut yang tidak sia-sia. Untuk ukuran mini album dengan total enam buah nomor dan berdurasi 40 menitan, Grimoire menawarkan dosis yang pas, tidak menjadi bosan melainkan membius. Coba datang saja sesekali ketika mereka melakukan aksi langsung di atas panggung. 

Padu padan black metal, neo crust dan shoegaze menyemut seimbang. Earth Cursed by the Sphere merupakan hunusan yang layak mendapat atensi lebih. Bayangkan Envy berjabat tangan dengan Fall of Efrafa lantas jamming melantunkan Darkthrone secara khusyuk ditemani Intisari di sebelah Marshall DCM 800. 

Ornament – A Sky So Black With No Stars

Fenomena kebangkitan sound metallic hardcore, saat ini sedang berada di level yang menggugah. Gaya bermusik dengan riff chugga-chugga, melodi tajam, dan vokal penuh emosi—baik serak parau maupun bernyanyi dengan nada melodius—menjadi elemen utama dalam genre ini. Tren ini menunjukkan kerinduan terhadap era ketika metalcore dan subgenre terkait mencapai masa keemasan.

Pandemi yang sempat membatasi mobilitas banyak orang menciptakan ruang eksplorasi musik ekstrem dari dekade-dekade sebelumnya. Generasi baru penikmat musik hardcore dan metal beralih ke estetika klasik yang membawa nuansa gelap dan intens, jauh dari suara modern yang serba sintetis. Mereka tidak hanya meromantisasi masa lalu tetapi juga menghidupkannya kembali dalam konteks modern.

Di Indonesia, kancah ini turut berdenyut dengan hadirnya nama-nama lokal yang solid. Salah satu yang mencuri perhatian adalah Ornament dari Surabaya. Band ini baru saja merilis album debut mereka, A Sky So Black With No Stars, pada akhir November 2024 melalui Greedy Dust Records. Debut ini adalah manifestasi sempurna dari metalcore tradisional yang sarat emosi, gelap, dan penuh dinamika. 

Mengadopsi semangat band-band legendaris seperti Martyr AD, Undying, dan Sky Came Falling, Ornament berhasil memadukan pengaruh klasik dengan pendekatan modern yang seimbang. Tidak hanya menghentak dengan amarah, tetapi juga menyisipkan melodi yang menyayat tanpa terjebak dalam klise atau berlebihan. Hal ini membuat album mereka relevan di era sekarang, bahkan ketika mereka menyentuh ranah gaya tradisional yang berpotensi dianggap usang.

Dengan kombinasi nostalgia dan inovasi, gelombang ini tidak hanya mengenang masa lalu tetapi juga menciptakan babak baru yang menarik untuk dieksplorasi. Ornament, dengan A Sky So Black With No Stars, adalah contoh nyata bagaimana semangat lama bisa menemukan relevansi baru.

Exhumation – Master’s Personae

Puritan. Purba. Bengis. Agresif. Lo-fi. Lima kata ini cukup untuk merangkum atmosfer yang dibangun oleh Exhumation, unit death metal purba asal Yogyakarta, dalam album terbaru mereka, Master’s Personae. Sebagai penerus dari katalog brutal sebelumnya, Eleventh Formulae, kuartet yang bernaung di bawah Pulverised Records (Singapura) ini membawa death metal ke level ekstrem yang tidak kepalang tanggung.

Keberanian mereka terletak pada perpaduan death metal mentah dengan kekasaran black metal, yang justru memperkuat daya tarik album ini. Riff-riff beracun berpadu dengan elemen rock and roll yang bergelombang, menghasilkan harmoni jahat yang memikat. Pilihan produksi yang unik—vokal diletakkan di latar belakang dan drum bergemuruh dengan ngeri—menciptakan pengalaman sonik yang tidak hanya menghentak tetapi juga mengintimidasi.

Tema besar dari Master’s Personae adalah kritik tajam terhadap distorsi budaya dan tradisi yang diabaikan atau dilecehkan oleh modernitas. Eksplorasi ini semakin kuat dengan kolaborasi dari musikus underground lintas benua, seperti personel dari Obliteration, Impiety, Possession, dan ZOM. Album ini adalah perwujudan gelap yang menolak untuk mengalah; setiap trek seperti cakar yang merobek batasan genre dan ekspektasi. Tahun 2024 jelas menjadi momen gemilang bagi maniak metal underground berkat mahakarya sonik yang mengguncang dari Exhumation ini. Master’s Personae adalah pengingat betapa kekal dan tak tergoyahkannya semangat metal bawah tanah.

Ilham Fadhilah memilih:

Gnarly Club – Face The Reaper (Guide To Gnarcissist Realm) 

Buat saya, hal yang sulit menilai mana rilisan hiphop brilian atau tidak, kecuali yang kepalang jelek. Simpelnya, saya memang tak luwes di ranahnya. Tapi kali ini, intuisi mengatakan kalau album debut milik Gnarly Club, Face The Reaper (Guide To Gnarcissist Realm) tak layak untuk masuk kategori buruk.

Kolektif rapper multi kota ini seakan menyuguhkan spirit baru yang segar dan vibrant. Populerkan gaya yang berakar pada Memphis rap dan kemudian hari disebut phonk dengan cerdik dan menggugah.  Muatannya juga terasa cukup intens buat kelasan album gembrot berisi lebih dari 20 trek. Banger after banger, all the way. 

Debut ini bisa dibilang modal menjanjikan buat Gnarly Club semakin bergerilya sebagai kolektif hiphop influensial dengan gaya phonk (istilahnya Indophonk) andalannya yang mungkin akan lebih mengekor. Catatan buat penggemar Three 6 Mafia, Project Pat, Lil Ugly Mane, bahkan $uicideboy$, saya yakin tak akan ada jalan sukar buat kamu untuk langsung nyangkut dengan mereka. 

Kanako Likes Fruit – Economics And Global Issues of Infectious Disease

Ultra raw energy. (Overdrive)bass dan drum saja sudah cukup buat duo asal Malang ini meluluhlantakkan satu rilisan penuh bising, keotik dan intens dengan cara paling primitif. Ya, dengan ini juga Kanako Likes Fruit semakin maju dalam saf makmum taat logo anti-music yang terdengar semakin busuk justru semakin baik.

Tahun ini, mereka kembali menelurkan album dengan judul Economics And Global Issues of Infectious Disease. Barang tentu isinya mentah, namun sudah lebih dari cukup untuk jadi 14 gerigi fatal yang siap menggiling telinga tanpa ampun (kecuali saat sample trek ke-7 berputar) selama 500 detik ke depan. Selebihnya, no comment, telan sendiri adrenalinnya. 

Skandal – Melodi

Setelah di daftar sebelumnya tersemat nama Swellow, The Cottons, hingga Satu Per Empat, kali ini saya juga akan men-highlight satu lagi unit musik gitar berbahasa Indonesia yang baru saja mengeluarkan album debut setelah menahun eksis. Adalah Skandal dengan Melodi yang jadi jaminan berikut kalau tahun depan (mungkin) akan jadi saat yang besar buat musik pop alternatif lokal.

Melodi adalah reinkarnasi musik pop gitar TV Indonesia yang terasa nostaljik dan segar secara bersamaan. Semangat mereka untuk menjadi alternatif di balik segala kemungkinan sebuah unit musik untuk terus keluar lajur adalah satu dan lain hal yang dirasa kawin dengan spirit personal. Lewat album ini, mereka membuktikan kalau stick to the basic bukan jaminan bakal terdengar basi, dan main aman tak selalu jadi keputusan keliru. 

Satu faktor yang membuat saya menyimpan kekaguman lebih pada Melodi adalah: mereka bisa-bisanya menulis musik berformula medioker dengan bagus dan tepat guna. Ketimpangan yang disempurnakan. Jika dulu kebanyakan musik pop gitar TV lebih mementingkan polesan suara ketimbang menulis lagu yang anti monoton, saya rasa Skandal memikirkan keduanya dalam Melodi. Sekali lagi, saya semakin positif kalau tahun depan adalah momen yang tepat musik gitar berbahasa Indonesia mencuri penuh lampu sorot kancah lokal. 

Karmax – Sambartaka 

Jika mencari nama crossover lokal yang bermuatan lebih sederhana dengan pakem-pakem hardcore klasik yang kental namun namanya tak bosan didengar, saya rasa Karmax adalah jawabannya dan Sambartaka-lah jejalan wajib santapnya. 

Terbentuk dari kepingan band-band macam Somebody Fool, Wrong Inside, Bridge dan banyak lagi, ini setidaknya jadi bocoran kalau sosok-sosok di baliknya tak asing lagi dengan olahan hardcore guna menjaga formula antara menjadi klasik tanpa terkesan terus-terusan mengulang. Melengkapi energi crossover lokal yang dominan metal dengan rilisan ber-attitude total hardcore. 

Majelis Lidah Berduri – Hujan Orang Mati

Not a fan. Saya sejujurnya bukan termasuk penikmat musik macam ini, namun hal yang membuat saya akhirnya terjun pada Hujan Orang Mati adalah dua aspek darinya: judul dan sampulnya. Tanpa mengetahui musiknya lebih dulu, impresi pertama adalah “Saya akan rugi jika terus mengalihkan pandangan dari Majelis Lidah berduri’.

Sudah sering jadi buah bibir di lingkungan sekitar hingga beberapa kawan merekomendasikan, namun sudah kepalang tanggung. Saya berniat untuk melewatkan segala hal soal Melbi, untungnya diurungkan. 

Hujan Orang Mati berangkat dari duka pada penggagasnya yang akhirnya berkelindan dengan narasi, musik, puisi dan suasananya. Album ini seakan tak memberikan celah untuk sekedar mendeteksi kekurangan atau ada cacat yang terasa. Semuanya dipoles mulus dan intens. Tiap treknya mewah dan alurnya pintar membolak-balikan emosi. Di satu sisi terasa ringkih, namun di saat yang bersamaan sangat tegar. Seakan mendung, namun tetap terasa hangatnya matahari. Terdengar pasrah, namun tetap mengemban spirit melawan.

Saking sarat kualitasnya, album ini sekaligus membuat ulasan ini terbaca payah untuk kelasan rilisan megah. Namun bagaimana pun mesti diupayakan, ini jadi bentuk angkat topi saya untuk Melbi karena sudah memberkahi kita dengan Hujan Orang Mati, paripurna bersama tajuk yang berani juga sampul foto “Ziarah Makam Terendam Banjir Rob” karya Aji Styawan yang top notch