Mengenalkan Kembali: The Locust
Di fase eksposur seseorang terhadap musik atau band baru, seringkali terjadi sebuah momentum kejut yang tak terduga ketika dihadapkan dengan penemuan sebuah band atau nuansa musik baru yang sama sekali belum pernah dirasakan sebelumnya. Entah karena memang belum pernah mendengarkan hal yang seperti itu atau pun efek kekaguman yang tak berujung karena belum ada pembandung tepat dengan musik yang baru saja ditemukan.
Momentum itulah yang saya rasakan ketika untuk pertama kalinya menonton penampilan The Locust di VCD bajakan Hellfest 2003 yang saya pinjam dari teman saya kala masih duduk di bangku sekolah.
Dengan pola pikir anak melodic punk yang mulai tertarik akan ceruk musik yang lebih keras macam hardcore, metal sampai thrash, kala itu saya sampai terbingung-bingung dibuat oleh penampilan band asal San Diego, California tersebut. “Musik naon ieu? Grasak grusuk teu puguh tapi kabeh personilna jiga nu bener main musiknya!” adalah kutipan langsung yang saya gumamkan ketika melihat mereka membawakan “File Under Soft Core Seizures” di video dokumentasi salah satu helatan musik rock arus bawah terbesar Amerika Serikat tersebut pada saat itu.
Belum lagi ketika memerhatikan para penonton yang mayoritas tidak bergeming sama sekali ketika menonton band yang kerap kali menggunakan kostum ala serangga itu di dalam rekaman video tersebut. Saya yakin banyak dari mereka pun memikirkan hal yang sama dengan saya.
Akan tetapi dari perkenalan awal dengan The Locust tersebut, saya mulai mencari lebih banyak informasi tentang mereka. Thanks to warung internet in the early 2000’s, saya pun perlahan mulai mendapatkan banyak informasi konkret tentang mereka dan pada akhirnya, I’m officially a fan.
Ah untuk kamu yang belum mengenal The Locust. Sini, saya akan kenalkan mereka sesederhana dan sepadat mungkin agar kamu tak melewatkan eksistensi salah satu band grindcore-mathcore-hardcore-whatevercore terbaik sepanjang hikayat kehidupan manusia ini.
Sejarah terbentuk
Kelahiran The Locust diawali dari berakhirnya kiprah band hardcore bernama Struggle – yang kebetulan digawangi oleh Justin Pearson (bass + vokal) dan Dylan Scharf (gitar + vokalis pertamanya) – di tahun 1994. Sampai akhirnya di tahun yang sama mereka berdua pun memutuskan untuk membentuk band baru bernama The Locust dengan mengusung musik thrashcore yang mungkin kerap kali diidentikan dengan terminologi powerviolence.
Kala itu mereka belum mulai menggunakan konsep kostum serangga dan masih sering bermain di lingkup kancah punk rock sekitaran California – yang memang sudah lebih dulu dihuni oleh Justin dan Dylan ketika masih aktif bermain bersama Struggle. Lambat laun mereka pun mulai mengembangkan konsep stage act yang lebih teatrikal dan akhirnya mereka pun menggunakan kostum serangga ikonik yang kini menjadi identitas visual mereka yang dikenal oleh khalayak ramai.
Setelah wara-wiri bermain di berbagai panggung, The Locust akhirnya menetaskan rilisan perdananya di tahun 1996 dalam format piringan hitam 10” dan berkoalisi dengan Man Is The Bastard sebagai tandem split EP-nya. Entah kerasukan apa, tak lama dari rilisnya split EP bersama Man Is The Bastard tersebut, Locust merilis kembali sebuah split EP bersama Jenny Picolo di tahun yang sama. Berkat kehadiran dua rilisan awal tersebut, gaung nama The Locust pun mulai terendus oleh sirkel-sirkel penggiat juga penggemar musik arus bawah di Amerika Serikat kala itu.
Rilisan-rilisan monumental
Setahun selang kedua rilisan split tersebut, The Locust menetaskan EP perdananya yang bertajuk Locust dalam format piringan hitam 7” di bawah naungan label Gold Standard Laboratories. EP tersebut memuat 9 lagu di dalamnya dengan durasi di bawah 16 menit – yang tentu sangat masuk akal mengingat musik yang mereka usung durasinya super duper singkat dan dimainkan dengan tempo supersonik. Kalau kamu menyangka rilisan EP itu cukup sinting, album self-titled perdana mereka yang dirilis tiga tahun setelahnya lebih membuat geleng-geleng kepala lagi: 20 lagu yang kalau diakumulasikan durasi keseluruhannya hanya di bawah 17 menit. Sinting.
The Locust pun sempat merilis split EP lainnya setelah lahirnya album tersebut: satu bersama unit chaotic asal Jepang Melt Banana dan band noise rock asal New York, Arab On Radar. Sekitar setahun setelah merilis split tersebut, The Locust merilis album sophomore mereka yang berjudul Plague Soundscapes. Konon album tersebutlah yang bisa dibilang album ‘tersukses’ The Locust dari segi eksposur – karena di era album tersebut didistribusikan, The Locust mulai makin masif bermain di berbagai acara dan festival musik yang masih berarsiran dengan etos musik band-nya sendiri.
Plague Soundscapes pun merupakan sebuah penanda penting bagi eksistensi The Locust. Pasalnya di album tersebut mereka digawangi oleh empat personil saja – namun mereka pun mampu membuktikan bahwa jumlah personil sama sekali tak mempengaruhi kualitas penggarapan musik mereka yang malahan semakin menjadi lebih intens dan bising.
Deskripsi musik
Benang merah musik yang The Locust mainkan sebetulnya ada di ceruk grindcore atau bahkan thrashcore. Namun berbeda dengan band-band lain yang mengamalkan format musik tersebut secara ‘tradisional’ dan lurus-lurus saja, The Locust mengimplementasikan ketukan drum ganjil, akor yang terkesan tak karuan dan raungan synthesizer di dalam musiknya. Sekilas musik yang mereka mainkan memang terkesan berantakan dan total hancur lebur. Tapi apabila disimak dengan lebih seksama justru seperti ada keteraturan dan disiplin permainan musik yang membutuhkan kemampuan musikalitas yang tinggi.
Bobby Bray (gitar + vokal) pernah menyatakan di sebuah wawancara bahwa musik The Locust adalah sebuah cerminan dari respon otak mereka sebagai orang dari budaya Barat yang kerap kali harus bereaksi untuk tetap bisa bertahan hidup di dunia yang mereka singgahi ini. Sang punggawa, Justin, pun sempat memaparkan di wawancara lainnya bahwa musik yang ia mainkan bersama The Locust diproyeksikan untuk merubah persepsi orang-orang akan konsep musik yang mereka yakini selama ini – bahkan dia pun memaparkan bahwa ia ingin menghancurkan pemahaman tersebut.
Kini The Locust hanya sebatas kenangan. Pasalnya semenjak mendiang Gabe Serbian (drummer) meninggal dunia pada bulan April di awal tahun ini, mereka memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan seluruh kegiatan mereka sebagai sebuah band. Sebagai ‘perpisahan’ mereka sempat merilis sebuah video klip untuk remix lagu “Cruel Compensation” – yang karya aslinya diciptakan oleh komposer seminal Danny Elfman.
Maka dari itu, sebelum nama mereka semakin tertumpuk oleh hadirnya banyak band baru yang tentu memiliki kualitasnya masing-masing, setidaknya nama The Locust harus tetap diabadikan selamanya. Tidak akan ada lagi band yang bisa menandingi posisi The Locust sampai sejauh ini.