Art ≠ Artist: Probabilitas akan Pemisahan Sosok Musisi dengan Karyanya
Apakah mungkin untuk memisahkan karya dengan sang musisinya? Kalau memang bisa, apakah itu sebuah hal yang buruk? Atau malah hal itu memang biasa saja?
Ini mungkin terdengar sangat klise tapi saya yakin bahwa saya tidak sendirian yang merasakan hal ini: musik adalah sebuah karya seni yang paling lentur dan paling efektif untuk mewakili perasaan personal di berbagai peristiwa hidup. Selalu ada lagu yang berkesan bagi setiap umat manusia di berbagai momentum hidup ini. Lagu yang pas diputar ketika senang, sedih, kasmaran, marah, frustrasi. Ah you name it. Selalu ada musik yang bisa menemani kita semua di kesempatan-kesempatan itu.
Juga tak sedikit individu di luar sana yang kala menggandrungi sebuah lagu, mereka akan turut mencari tahu tentang siapa sosok yang bertanggung jawab untuk menyanyikan atau bahkan menciptakan lagu tersebut. Informasi demi informasi mulai dicari. Baik dari tulisan selipan di dalam sebuah rilisan sampai sesi intens pencarian informasi di internet – semua bisa dilibas untuk menuntaskan rasa ingin tahu sang penikmat musik akan sosok di balik liukan melodi dan sayatan lirik yang terkoneksi sangat dalam dengan dirinya.
Akhirnya bukanlah tak lazim ketika para pendengar musik ini berujung mengidolakan sang pemilik atau penyanyi lagu. Kekaguman dan puja-puji kerap terhatur kepada sosok tersebut serta merta dengan dalih bahwa lagu yang ia usung terasa sangat relevan dengan kondisi pribadinya. Tentu semua hal itu terasa masih bisa dimaklum karena memang seperti itulah siklus penerimaan karya oleh publik ketika musisi sudah menetaskan karyanya.
Tapi beberapa tahun ke belakang ini muncul sebuah fenomena baru yang lumayan menarik sekaligus pelik – di mana sang artis yang awalnya disanjung bisa saja tiba-tiba dipertanyakan martabatnya (bahkan eksistensinya) berkat kesalahan (atau pilihan) yang ia lakukan di ranah kehidupan pribadinya. Biasanya hal tersebut berujung kepada liarnya opini publik akan ‘kesalahan’ sang artis yang bersifat paradoks dengan karya mahsyur yang terlanjur sudah menjadi torehan prestasi dari sosok tersebut.
Contoh konkret akan fenomena tersebut sebetulnya sudah banyak terjadi di dunia hiburan/berkesenian berskala internasional. Sebut saja macam Kanye West yang punya deretan album bagus tapi sudut pandang politisnya tentang memberi dukungan kepada Donald Trump yang problematik atau celotehan pro-sayap kanan yang kerap kali dilontarkan oleh Morrissey, sang punggawa The Smiths, di beberapa kesempatan. Tapi sialnya dua sosok mahsyur tersebut punya satu kesamaan yang tak bisa diganggu gugat: mereka berdua punya karya musik yang keren sekaligus aura kharismatik yang tak terkalahkan. Sehingga karya mereka pun tetap banyak dinikmati oleh khalayak ramai meski tak sedikit pula publik yang terganggu akan eksistensi mereka.
Di ranah punk rock, ada sosok yang kurang lebih masuk ke kotak penokohan seperti beberapa fitur yang sudah dipaparkan di atas. Dia adalah Fat Mike, sang punggawa dari band punk rock seminal bernama NOFX. Fat Mike dikenal sebagai persona yang seruntulan dan terlalu jujur di atas mau pun di luar panggung. Celotehannya kerap kali terasa kontroversial dan membuat banyak orang untuk berpikir kembali mendengarkan karya-karya musiknya. Beberapa tindakan dan pilihan hidup Mike pun sempat menuai kontroversi untuk banyak orang – seperti ketika ia memulai situs punkvoter.com untuk memberikan ‘kemawasan’ politik yang sempat dikecam banyak pihak karena menganggap Mike hipokrit karena banyak orang di masa itu yang masih berpikiran bahwa punk seharusnya anti-otoritas dan tak perlu terlibat langsung dalam urusan politik.
Namun kalau ditilik dari sisi lain, patut diakui bahwa NOFX adalah band yang berkualitas adalam aspek penggarapan lagu-lagu punk rock yang mumpuni dan cerdas dari penggubahan narasi liriknya – dimana tak banyak band punk rock di luar sana yang bisa memaparkan fakta akan situasi sosial dengan pemilihan diksi dan majas semenarik NOFX di lagu-lagunya. Tapi kembali lagi, some people actually think Mike is still an asshole in real life for being himself.
Jujur – sebut saya tak bermoral atau tak punya pendirian – untuk contoh kasus Fat Mike dan NOFX, saya masih bisa menikmati musik yang mereka rilis dari tahun ke tahun. Bahkan ketika Fat Mike masih kerap kali melontarkan beberapa ujaran yang bagi saya tak terpuji dan super kontroversial. Saya rasa dia hanya menjalani hidup sesuai kehendaknya dan apa yang dia lakukan tak menyakiti hati bahkan fisik saya sekali pun. Meski memang banyak tindakan darinya yang membuat saya mengernyitkan dahi bahkan kaget.
Apakah hal itu yang buruk untuk tetap bisa memisahkan karya dengan sang musisinya? Bagi saya dengan konteks macam Fat Mike, hal itu masih masuk akal untuk dihadapi dengan dewasa dan bijak. Pasalnya pilihan dan sudut pandang Fat Mike jelaslah sangat personal. Bukan untuk mempengaruhi banyak orang untuk turut berpikir sepertinya atau pun memaksakan kehendaknya. Setidaknya dia hanya mengekspresikan apa yang ia pikirkan di semua aspek kehidupannya – termasuk di lagunya.
Plus ini poin penting bagi saya: apa yang dia utarakan dan lakukan di atas serta luar panggung sebetulnya tidak mengganggu kemaslahatan hidup atau pola pikir saya. Karena saya pribadi tahu setiap musisi (bahkan manusia pada umumnya) punya pandangan pribadi akan semua aspek di dalam kehidupan. Tentu penerimaan akan hal itu akan kembali lagi kepada pribadi masing-masing – apakah yang sang musisi lakukan dan ucapkan memang bisa dicerna juga diproses baik-baik oleh nalar tiap individu. Toh everyone is entitled to their own opinion. Apalagi kalau parameternya sebuah karya dan penokohan seorang seniman, musisi atau apa pun itu.
Bagi saya pribadi, akan beda ceritanya apabila sang musisi melakukan hal yang fatal dan benar-benar goblog macam pemerkosaan, pelecehan seksual atau tindakan kriminal lainnya. Baru saya benar-benar akan merasa terganggu untuk bisa menerima karyanya dan pastinya orang-orang macam itu layak untuk diproses lebih lanjut juga diadili seadil mungkin.
Kalau dipikir-pikir, sebetulnya paparan akan sosok dilematis Fat Mike di atas mengingatkan saya tentang peristiwa ketika publik digemparkan oleh Delpi dari band Dongker yang fotonya terpampang besar di sebuah baligo kampanye pemilihan caleg beberapa waktu lalu. Banyak orang yang kecewa akan peristiwa tersebut dan berusaha untuk ‘memboikot’ Dongker dengan melontarkan berbagai opini di sosial media. Rata-rata respon dan opini yang muncul terhadap peristiwa tersebut adalah kekecewaan mereka tentang ketidak selarasan narasi lirik lagu Dongker yang konon dianggap lagu ‘perjuangan’ bersifat politis dengan apa yang Delpi lakukan di kehidupan nyata.
Bahkan opini miring akan Dongker pun semakin liar dengan munculnya anggapan bahwa kegiatan bermusik Dongker hanyalah kendaraan untuk kampanye politik saja guna memenangkan suara nanti di masa pemilihan caleg. Lihat? Ini adalah salah satu contoh kasus dimana banyak khalayak yang akhirnya meleburkan sosok musisi dengan musiknya tanpa memperhatikan (atau mempunyai) batasan jelas antara dua dimensi tersebut.
Tapi tentunya, kembali lagi, semua itu kembali ke penerimaan nurani masing-masing orang. Mungkin saja suara yang paling lantang ketika momen ‘pemboikotan’ Dongker beberapa waktu lalu memang milik dari pihak yang merasa dikhianati oleh karyanya atau aspek-aspek lain yang membuat relevansi karya Dongker tak lagi masuk ke nurani mereka. Atau mungkin mereka tak pernah merasa ada konstruksi batasan antara sang pencipta karya dengan karyanya. Jadi semuanya dipukul rata. Bebas.
Kalau saya pribadi sebetulnya menerima peristiwa tersebut dengan tertawa saja – karena jujur profesi caleg bukanlah hal yang masuk akal di nalar orang-orang macam saya yang memilih untuk menggeluti bidang kreatif di ranah budaya pop dan arsiran sekitarnya. Tapi di sisi lain, saya pun tak peduli dengan pilihan Delpi – atau siapa pun itu – untuk berjalan menuju jalur tersebut.
Saya pun masih bisa mendengarkan musik dari Dongker tanpa perasaan bersalah dan melontarkan asumsi liar akan pilihan alur profesi Delpi yang tersirat dari baligo itu. Call me ignorant piece of shit or a jerk for choosing that. Karena bagi saya pribadi, karya-karya Dongker hanya sebatas karya katarsis dan pengekspresian akan konflik di hidup mereka. Nothing more. Tapi ya, pilihan siapa pun untuk mengemban profesi sebagai wakil legislatif, apalagi kalau yang umurnya masih relatif muda, masih lumayan membuat nalar saya terheran-heran. Jangan diambil hati kawan-kawan yang memang sudah berada di jalur itu. Mungkin ini cuma saya saja yang tidak paham.
Dengan semua perspektif personal yang saya sudah paparkan di atas, saya pun tak akan serta merta mengajakmu untuk mengamini konsep pemisahan sosok artis dengan karyanya seperti yang saya imani seperti sekarang. Mungkin kamu punya metode sendiri untuk bisa menghadapinya. Tapi saya yakin bahwa semua pilihan di dalam hidup harusnya dilandasi akan momen kontemplasi yang matang dan sudut pandang yang dewasa – bukan sekedar hantaran arus untuk ditunggangi demi aktualisasi diri. Karena tak sedikit orang di luar sana yang bisa langsung menghakimi seseorang tanpa ada upaya untuk mengetahui latar belakang atau beberapa sudut pandang lain guna menemukan titik tengah pengambilan sebuah keputusan.
Pada akhirnya, semua itu akan kembali lagi kepada siapa dirimu sebenarnya dan seperti apa sosok yang ingin kamu proyeksikan sebagai cerminan dirimu di tengah berbagai dinamika di dalam hidup ini. Let the artist do their thing and let yourself be the best version of you by utilizing your sense to the fullest for understanding things.